Selamanya?

"Astaghfirullah ...." Seru Ratih. Piyama biru yang dikenakannya acak-acakan. Di sebelahnya terbaring lelaki tampan, rambut cepak, tubuh kukuh  tengah mendengkur halus, tangan kukuhnya memeluk pinggang ramping miliknya.

Setelah menghela napas lega berkali-kali, Ratih tersenyum. Lelaki di sebelahnya adalah pangerannya, lelaki itu adalah suaminya.

Dengan hati-hati, Ratih berusaha melepaskan diri dari pelukan tangan kekar suaminya. Agar lelaki bermata elang itu tidak terjaga dari lelapnya.

Tapi usahanya percuma, sia-sia, suaminya malah mendekap erat, seolah tak mau melepas pelukan barang sebentar, meski matanya masih memejam rapat.

"Mas, bangun. Udah siang, matahari sudah tinggi." Ujar Ratih sembari membelai rambut cepak milik pangeran tercintanya. Pangeran yang telah mengikat janji untuk setia selamanya di pelaminan kemarin.

"Hmm ...." Ratno menggumam, malas.

"Mas, bangun! Udah siang." Kata Ratih lagi. Kali ini dengan volume lebih keras.

"Nggak mau. Mas mau melukin kamu. Memelukmu Selamanya." Ratno menggumam dan semakin mengetatkan pelukannya.

"Peluk selamanya?" Gertak Ratih, pura-pura melotot, pura pura marah.


"Mas, aku mau masak, mau bikin kopi."

"Aku nggak mau semua itu.Nggak ada urusan sama kopi, nasi, aku maunya kamu di sini selamanya." Lanjut suaminya, nadanya santai, tegas, tidak mempan gertakan. Khas prajurit.

"Mas udah jam tujuuuh ...." Canda Ratih.

Terpaksa dirinya berbohong. Bukankah prajurit lekat dengan disiplin.
 Padahal masih jam enam kurang.

"Tadi kamu bilang jam berapa?" Lonjak Ratno. Ratih tidak berkata apapun. Pura-pura ngambek.

"Jam tujuh? Apa?" Ratno segera bangkit dari tempat tidurnya.

"Iya jam tujuh. Tuh matahari udah tinggi."

"Serius?"

"Nih." Ratih menunjukan jam dari hapenya.

"Ih mengapa baru bangunin sih? Mas belum subuh. Astaghfirullah."

"Ya makanya bangun, wudhu!. Dan semoga nggak terulang  ya Mas."

"Aamiin." Ucap Ratno, lirih.

Ratih menyiapkan tempat salat. Sementara suaminya tengah bersih - bersih dilanjutkan berwudhu.

Ratih menyiapkan tempat salat dengan rasa campur aduk. Tapi dari semua rasa, yang paling dominan adalah bahagia. Bahagia karena berkesempatan mengecap bahtera rumah tangga. Ratih tahu, di luar sana banyak perempuan-perempuan yang mungkin usianya matang tapi belum ketemu pangeran tak berkuda. Pangeran impiannya.