Mentari menatap Gara yang tertidur nyenyak dengan air mata mengalir. Hatinya terasa pedih dengan nasib putranya, yang tidak mendapat kasih sayang ayahnya. Sekarang dirinya seorang singel mother, tak mudah menjalani hal ini. Dia harus menjadi ayah sekaligus ibu. Dan dia harus kuat menghadapi pandangan orang lain tentang dirinya yang memegang predikat janda.
Tadi Gara, bertanya tentang ayahnya yang tidak pulang kerumah. Mentari merasa bingung harus menjelaskan apa. Anak usia tiga tahun, tak mungkin di jelaskan tentang penceraian kedua orang tuanya. Anak-anak hanya butuh kedua orang tuanya ada, dan
hubungan kedua orang tuanya terjalin harmonis.
"Gara, maafkan Mama, Nak. Karena tidak bisa memberikan keluarga yang utuh dan bahagia untukmu," ucap Mentari di tengah rasa pilu yang mendera.
Seandainya saja Erick mau membuka hati untuknya, mungkin dirinya bisa belajar mencintai dan berusaha mempertahankan pernikahannya. Tapi dari awal, Erick sudah menutup diri. Lahirnya Gara, ternyata tidak memberikan perubahan apapun.
Setelah penceraian ini, dia harus bangkit menjadi perempuan kuat, demi Gara sebagai poros hidupnya. Dan dia berjanji untuk bisa keluar dari rumah ini secepatnya. Tak ada lagi kenangan bersama Erick. Kembali membangun sesuatu dari awal lagi, jauh lebih baik.
Mentari bangkit dari kasur tempat putranya tidur, lalu dia meraih ponsel di nakas dan menelpon seseorang.
"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya seseorang.
"Aku sangat yakin. Dan dirasa ini keputusan yang tepat," jawab Mentari.
"Ya sudah, kamu persipkan semuanya dulu ya, jangan terburu-buru. Biar nggak ada yang curiga. Nanti kalau sudah selesai semuanya kasih tahu.
"Thanks, atas bantuannya."
"Sama-sama. Jaga dirimu baik-baik, jangan sampai kamu sakit."
Mentari mengangguk, meski ia tidak yakin bahwa lawan bicaranya dapat melihat anggukannya. Lalu setelah itu Mentari menutup teleponnya.
Mentari beranjak menuju balkon, menatap langit Jakarta di malam hari. Angin sepoi mengibarkan rambut sebahunya yang bergelombang. Mengirimkan kesunyian pada hatinya yang luka. Dia sungguh butuh seseorang yang menguatkan. Keluarga yang diharapkan hadir mengobati ke hancurannya, malah menjauhinya. Mentari merasa seperti keping puzzle yang berserak. Dirinya dibutuhkan hanya karena uang. Pernikahan yang di jalaninya pun adalah pernikahan bisnis. Dua orang yang tidak cinta di paksa hanya untuk sebuah keuntungan.
***
Besoknya, Erick datang kerumahnya bersama dengan pengacara. Mereka membicarakan harta yang akan jadi milik Mentari bersama Gara. Karena Mentari wajib mendapatkan harta bersama dari pernikahan mereka. Erick memberikan rumah yang kini di tempati Mentari, sebuah mobil Jaguar kesayangan Erick, dan laki-laki itu berjanji akan memberi Mentari nafkah yang cukup banyak untuk dirinya selama masa menjalani iddah dan nafkah untuk Gara. Lagi-lagi Mentari hanya diam, dia sudah tidak memiliki keinginan untuk bicara dengan mantan suaminya itu.
"Aku ingin bertemu Gara," ujar Erick. Dan Mentari mengangguk saja, lalu mengantarkan mantan suaminya menuju tempat putranya sedang bermain lego di belakang rumah.
"Gara…" panggil Erick. Putranya mendongkak ke arah panggilan ayahnya.
"Ayah…" ada binar rindu dimata anak itu. Karena sudah satu minggu tidak melihat wajah ayahnya, namun urung untuk mendekat. Ada jurang pemisah tak kasat mata di antara mereka. Dan ini membuat Mentari sesak. Diam-diam dia mengundurkan diri dan masuk ke kamar mandi, menangis lama di sana.
Erick berusaha membangun kedekatan dengan putranya yang lucu. Dia harus berusaha untuk menjadi ayah yang baik. Jangan sampai putranya jadi korban dari perpisahan ini. Benar kata Mentari, jika ia ayah yang tidak pernah dekat dengan anaknya. Ayah yang buruk. Tapi Erick berjanji, setelah ini akan berusaha meluangkan waktunya untuk Gara. Laki-laki menemani putranya bermain lego. Menemani balita lucu yang ceria membuat hatinya menghangat.
Ah, kemana dirinya selama ini? Terlalu sibuk melampiaskan segala kekecewaan akibat pernikahan yang dipaksakan ini. Padahal dirinya dan Mentari adalah korban dari sebuah keegoisan orang tua. Menikah dipaksakan itu memang tidak selamanya berjalan buruk, tapi tidak baik juga, jika salah satu dari pasangan susah move on dari masalalu. Akan ada pihak yang dikorbankan.
Cukup lama Erick bermain dengan Gara. Dan akhirnya dia harus pamit.
"Baik-baik di rumah sama Bunda ya, sayang. Nanti Ayah akan kemari lagi menemani Gara main."
'Dan ketika kau datang kesini, kami sudah pergi jauh.' Batin Mentari dalam hati.
"Jangan sungkan hubungi aku, jika kalian ada kesulitan," ujar Erick berusaha bersikap baik dengan mantan istrinya.
"Iya," jawab Mentari singkat.
"Ada apa denganmu, sepertinya kau tidak suka dengan kehadiranku, Tari."
"Tidak."
"Iya. Dari tadi kau terlihat seperti ingin menelanku."
"Itu hanya perasaanmu saja."
"Kamu tidak bisa bersikap begitu sama aku, meski kita sudah tidak punya ikatan, tapi ada Gara yang harus kita pedulikan perasaannya."
Owh…Mentari ingin tertawa saja. Kenapa manusia di depannya ini baru sadar? Ingin saja ia menggetokan palu pada kepala manusia yang sok peduli di depannya ini. Tapi cukup, ia sudah tidak ingin berdebat.
"Sudahlah. Aku tidak enak dengan para tetangga, mereka akan mendengar pertengkaran kita. Mereka sudah tahu kita bercerai, karena kemarin aku mengundang mereka syukuran penceraianku. Nggak enak juga kalau mereka melihat kamu masih berkeliaran di sini."
Erick mengepalkan tangannya berusaha menahan segala amarah. Hanya wanita ini yang begitu bahagia dengan penceraiannya, di saat perempuan lain menangis. Jujur harga dirinya merasa terusik.
"Kamu waras?" kata Erick.
"Seratus persen waras. Bahkan akan jadi perempuan paling bahagia tahun ini."
"Ya…ya…terserah kamu. Aku pulang. Tolong jaga putraku dengan baik," ujar Gara sambil mencium Gara penuh sayang.
"Aku ibunya, sudah pasti aku lebih bisa menjaganya."
Erick menatap Mentari lama, setelah itu pergi. Ada sesuatu yang hilang ketika meninggalkan rumah yang pernah di huninya bersama Mentari. Entah perasaan apa, hampa dan kehilangan. Tapi ia berusaha menepisnya. Ada masa depan yang harus segera di jalani. Adelia wanita yang sangat di cintainya. Dia adalah masa depan sesungguhnya. Bulan depan mereka akan melangsungkan pernikahan. Tak peduli orang tuanya menentang rencana pernikahan ini. Baginya ia sudah terlalu lama mengorbankan perasaan hatinya. Dia berhak bahagia dengan orang yang di cintainya. []