Keputusan
Gara harus dibawa ke rumah sakit, karena panasnya tidak kunjung turun. Dan Mentari dengan di temani oleh sopir pribadinya segera membawa putranya ke rumah sakit. Erick sebagai suami sudah tidak bisa diharapkan lagi. Mungkin laki-laki itu tidak peduli kalau anaknya kenapa-napa. Mentari sudah tidak berharap lagi akan kedatangannya. Poto kemarin malam yang dikirimkan oleh wanita selingkuhannya  membuat dirinya merasa muak. Sudah cukup ia bertahan dalam pernikahan yang berpenyakit ini.

Tetapi akhirnya laki-laki itu datang menyusul ke rumah sakit, setelah satu jam Gara di rawat. Mentari memilih diam, tak ada sama sekali keinginan untuk menyapanya.

"Maaf aku tidak membaca pesan yang kamu kirim. Semalam aku kelelahan, pekerjaan di kantor sedang banyak-banyaknya. Dan aku memilih tidur di sana."

Mentari tetap diam. Ini adalah salah satu kebiasaanya dari dulu, jika ia sedang kecewa pada seseorang, maka diam adalah pilihan terbaik.

"Tari, bicaralah. Aku tidak suka  didiamkan seperti ini."

Mentari menatap Erick dengan ketenangan luar biasa. "Lalu, menurutmu, aku suka diselingkuhi oleh kamu?" lirih Mentari. Ia tidak ingin anaknya terbangun. 

"Apa maksudmu, Tari? Kamu menuduhku berselingkuh? Ini tuduhan sangat keterlaluan!"

"Kita bicara di kantin sekarang!" Menatari mengajak suaminya keluar setelah menitipkan Gara pada suster.

Erick mengikuti langkah Mentari. Meski perasaannya mulai dag-dig-dug. Apa Mentari sudah mencium perselingkuhannya dengan Adelia?

"Apa yang ingin kamu katakan?" tanya Erick, ketika mereka berdua sudah duduk di bangku kantin.

"Apa ponsel kamu datanya aktif?" tanya Mentari. Ia ingin memastikan kalau poto yg sudah dikirim Adelia bisa dikirim pada Erick juga saat ini. Agar laki-laki itu tahu, bahwa perselingkuhannya sudah tidak bisa disembunyikan lagi.

"Kenapa? Data selulerku sedang aktif saat ini."

"Baguslah." Mentari berusaha bersikap tenang, sudah cukup ia menangis semalam. Kali ini, ia harus segera memutuskan, langkah apa yang bakal diambil.

Mentari pun segera mengirimkan poto-poto yang dikirimkan Adelia kepada ponsel Erick melalui watsap, "Bukalah, poto-poto yang telah aku kirim, pasti mengandung kebenaran. Bukan lagi kebohongan yang selama ini selalu kamu tutupi."

Mata Erick terbeliak lebar. Semua kebobrokannya, sudah terbongkar. 

"Darimana kamu dapatkan poto-poto ini?" Erick terlihat malu campur geram.

"Seorang perempuam yang mengaku selingkuhanmu, mengirimkannya padaku. Mungkin mengirimkannya pas kamu sedang terbuai nafsu, atau sedang tidur nyenyak."

"Ini tidak seperti dugaanmu, Tari. Aku…"

"Masih mencoba mau menyangkalnya? Sudahlah Erick, akui saja. Seperti kata kamu, pernikahan kita sangat dipaksakan. Dan kamu pernah bilang, tidak akan pernah bisa mencintaiku sampai kapan pun. Jadi, lebih baik kita akhiri pernikahan ini. Agar aku bisa bebas dan bahagia dengan hidupku. Dan kamu bahagia dengan pilihan kamu."

"Tapi aku tidak mau ibu dan Bapak kecewa."

"Lalu dengan kamu menyakitiku, apakah tidak membuat aku kecewa. Aku sudah lelah berusaha. Tapi kamu tidak pernah mempunyai kesempatan untuk belajar menjadi suami dan ayah yang baik."

"Lalu, Gara?" 

"Gara akan bahagia bersamaku, ketimbang kita hidup bersama, tapi setiap hari dia harus menyaksikan pertengkaran kita. Dan itu akan merusak mentalnya, akibat dari hubungan kita yang tidak sehat."

"Baiklah, jika kamu merasa penceraian menjadi jalan terbaik, aku akan segera mengurus surat cerai kita. Karena jujur, aku belum bisa mencintaimu sampai saat ini."

Mentari hanya mengangguk, ia berusaha tampil kuat di depan Erick, padahal hatinya sedang hancur. Ketika laki-laki itu pergi, ia memilih menangis sendirian. Memilih bertahan dalam pernikahan yang pondasinya sangat rapuh. Tidak akan ada kebaikan di dalamnya. []