Kerang Mutiara dalam lumpur telah muncul


Wow! Rasanya lega sekaligus puas bisa melihat Mas Haza anemia. 

Ya, anemia. Gerik Mas Haza jadi lesu, wajahnya langsung pucat, bahkan kepalanya pasti sedang sakit karena memiliki tunggakan kartu kredit sebanyak 50 juta.

Mimpi apa semalam kamu, Mas-Mas. Uang yang selama ini kamu irit-irit hingga pelit, akhirnya ludes hanya untuk baju si Maya? 

Puas! Senang! Bahagia rasanya! Dan untuk para lelaki, jangan lah kalian pelit-pelit pada istri. Itu hanya akan membuat rezekimu tidak berkah. Malahan jika hasil jerih payahmu di berikan pada istri dan anakmu, Insya Allah rezekimu akan Barokah, sekaligus bertambah.

Jangan contoh Mas Haza. Manusia zalim seperti itu pantas di beri azab senista-nistanya. 

Ups! Sepertinya sudah tak pantas aku memanggil manusia itu dengan sebutan Mas. Untuk apa aku menghormati orang yang angkuh dan sudah semena-mena padaku? Toh, sebentar lagi dia resmi bukan suamiku lagi.

Kutolehkan kepala ke jendela mobil yang sedang Mama kendarai ini, dan kata Mama, kami akan menuju klinik kecantikan tempat Mr. Choi berinvestasi.

Nak, naafkan Mama. Bukan tak mau Mama mempertahankan Papa kamu untuk tetap menjadi orang tua yang utuh untukmu. Tapi, Papamu sendiri yang ingin pergi. Dan Mama harap, suatu saat kamu akan mengerti. Mama tidak ingin kamu memiliki Papa yang tidak punya hati. Biarlah Mama yang merawatmu seorang diri.

Kuusap perutku yang rata ini, kutolehkan kepala untuk melihat Mama yang sedang fokus mengemudi.

Ralat, Nak. Mama tidak akan membesarkanmu seorang diri. Sekarang kamu sudah punya Oma. Kenalkan, itu Oma Rania. Kita tidak sendiri, Nak. Kita punya Oma yang akan memberikan Papamu itu pelajaran.

“Kania? What’s wrong? Kok kamu senyum-senyum sambil nangis?” Mama telah memperhatikanku.

Kuhapus air mata haru bahagia ini. “Gak papa, Ma. Aku sedih anakku akan lahir tanpa seorang Papa. Tapi aku senang karena bisa bebas menjadi budak si Haza.”

“It’s good, Kania. Kamu tidak sendiri. Ada Mama. Mama akan tetap membela kamu dari menantu kurang ajar itu.”

“thanks, Ma. Sekarang Kania akan berdiri. Kania sudah capek merangkak.”

“Good. Up semua kualitasmu. Mama tahu, kamu itu pintar, Kania. Dari DS sampai SMP, kamu selalu juara 1 peringkat umum. Kamu itu cerdas, cantik, apalagi kamu lulusan sarjana ... sarjana apa, Kania?”

“Komunikasi, Ma.”

“Wow. Tuh, kan. S.I.Kom. Kania Surya Pranata S.I.Kom. tentu kamu punya public speaking yang bagus. Keluarkan semua yang sudah terkubur gara-gara Haza. Up lagi, lingkup kehidupanmu sudah berbeda sekarang. Kamu bukan Kania si penjual kue lagi. Kamu pengusaha sukses now.”

“Terimakasih, Ma. Mama sudah menggali kemampuanku yang selama ini terpendam karena harus patuh pada perintah suami yang tak tahu diri. Kania gak tau gimana nasib Kania jika tidak ada Mama. Aku bersyukur bisa di pertemukan dengan Mama lagi.” Air mata bahagia ini meluncur lagi.

“But, ingat pesan Mama, sayang. Walaupun hidupmu sudah di atas awan, jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan congkak, jangan angkuh, ok?”

“Haha, tinggi hati, sombong, congkak dan angkuh artinya sama Mama.”

“Yes, Mama tahu. Itu artinya apa?” Mama menoleh padaku.

“Kania tau, Ma. Walaupun aku sudah punya segalanya, tidak akan aku sombong kecuali pada Mas Haza dan Maya. Aku akan tetap jadi orang baik pada siapa pun.” Kuambil tisu yang ada di hadapanku, lalu mengusap pipi yang sedikit basah.

“Good. Harta itu hanya untuk duniawi, Kania. Bila perlu, gunakan harta itu untuk bekal kita di akhirat nanti. And you know? Mama dan Alm. Mr. Choi merupakan donatur tetap di banyak panti asuhan kota ini. And you, kalau bisa kamu harus menjadi donatur tetap di panti jompo.” Mama berucap sambil memberi 2 lembar rupiah merah pada penjual koran yang baru saja menjajakan korannya di lampu merah.

“Tidak ada kembaliannya, Tante. Ini kebanyakan.” ucap si anak penjual koran.

“It’s ok, for you. Buat kamu.”

“Makasih, Tante.” Anak itu pun pergi dengan suka cita.

“Dan perlu kamu tahu, Kania. Mama menyesal telah meninggalkan Ayah kamu demi harta.” Mama meletakan koran yang baru saja ia beli di dekat setir, lalu melaju lagi karena lampu merah telah hijau.

“Menyesal? Apa Mama masih mencintai Ayah?” aku menyelidik penasaran.

“Yes, cinta Mama memang selalu untuk Ayah kamu. Bagaimana tidak, Mama dan Ayah berpacaran selama 6 tahun sampai kami menikah dan memiliki kamu yang berusia 15 tahun tapi memilih pergi.” Terdapat mimik sesal di wajahnya.

“Kenapa Mama pergi? Apa Mama mencintai Mr. Choi juga?”

“No! Di dalam lubuk hati Mama yang paling dalam, Mama sangat mencintai Ayah kamu  tidak mencintai Mr. Choi sama sekali hingga detik ini. Dan kalau Mama mencintai pria Korea tua itu, untuk apa Mama mau di tugaskan menetap di Korea selama 7 tahun demi menghandle perusahaan yang ada di sana?”

“Lalu Mama dan Mr. Choi pure menikah karena harta?”

“Benar, karena harta dan malu. Mama malu pada teman-teman kantor Mama karena Mama punya suami seorang supir angkot. Mama tidak berpikir, siapa yang membiayai Mama kuliah kalau bukan Ayah kamu?” matanya berkaca-kaca.

“Jadi Ayah membiayai Mama kuliah sampai sukses?”

“Yes, Ayah kamu itu sangat berjasa untuk hidup Mama. Dulu dia punya 2 angkot, dan dia rela menjual 1 angkot untuk Mama kuliah agar bisa sukses. Tapi setelah Mama sukses, Mama malah tergoda oleh rayuan Mr. Choi karena jika Mama menikah dengannya, Mama akan menjadi pewaris hartanya. Dan bodohnya, Mama menerima tawaran itu sampai kabur dari rumah. Hingga pada akhirnya Mama mengajukan gugatan cerai pada Ayahmu, lalu menikah resmi dengan Mr. Choi untuk meninggalkan kamu. Maafkan Mama.” Air matanya deras bak hujan dan langsung kusodorkan tisu padanya.

“Semua manusia pasti punya khilaf, Ma.”

“Tapi itu yang membuat Mama menyesal sampai detik ini. Mama sampai rela meninggalkan Ayah kamu yang baik dan sabar demi lelaki dan kehidupan duniawi. Dan Mama baru sadar, kamu itu sama seperti Ayah, dan Haza itu sama seperti Mama. Haza rela meninggalkan kamu demi wanita cantik yang lebih dari segala-galanya.” Ia mengemudi dengan tangan sibuk menghapus air mata.

“Sepertinya kamu terkena karma karena ulah Mama, Nia. Mama meninggalkan orang yang mencintai Mama. Dan kamu pun di tinggalkan orang yang kamu cintai. Sekali lagi i’m so sorry, Kania.”

“Cukup, Ma. semua ini bukan salah Mama. Kania seperti ini pasti sudah tersurat dalam takdir. Malah Kania bersyukur, Kania jadi tahu. ternyata Kania sudah memilih jodoh yang salah. Jadi please, jangan salahkan diri Mama sendiri. Mau bagaimana pun Mama, Mama tetap wanita hebat yang telah bertaruh nyawa untukku. Kania sayang Mama.” Kupeluk tubuhnya dari samping.

“Thanks, Kania.” Mama mengusap-usap lenganku dengan tangan yang tidak memegang kemudi.

“Jangan sedih, Ma. semua itu sudah di gariskan oleh Tuhan." Kulepas pelukanku, lalu tersenyum manis pada ibu yang telah melahirkanku.

“Ok, Kania. Kamu harus jadikan kesalahan Mama sebagai pelajaran. Intinya, jangan meninggalkan cinta demi harta. Because, harta tak bisa membeli cinta. Tapi dengan kita bersama orang yang kita cinta, kita bisa mengumpulkan harta bersama-sama.”

“Benar, Ma.” Aku mengangkat telapak tangan ke udara, dan ...

Plak!

Kami high five lagi alias, TOS!

“Ok, misi kita sekarang harus membuat orang seperti Mama yaitu Haza kecewa, sadar dan menyesal telah meninggalkan kamu.” Mama menambahkan kecepatan mobilnya.

“Kalau balas dendam boleh gak, Ma?” aku senyum-senyum.

“Boleh, tapi jangan banyak-banyak, ok! Niatkan semua itu agar suami kamu itu sadar telah meninggalkan kerang mutiara demi ikan buntal!”

“Hahaha! Mama bisa aja.”

“Benar, kan?”

“Iya, Ma. Memang benar.  Dulu Kania masih kerang yang bersembunyi di dalam lumpur. tapi sekarang, Kania akan menunjukkan mutiara yang indah.”

“Hahaha!” Mama tertawa setelah tadi menangis. “Kamu cerdas, Sayang.”


**

Dan beberapa saat kemudian, setelah menaiki mobil dengan jarak yang lumayan panjang, akhirnya kami sampai di sebuah klinik kecantikan.

Aku dan Mama pun sedang mengadakan pertemuan di lantai atas klinik tersebut. Bukan dengan semua pegawai seperti di butik, tapi hanya dengan Bapak pemilik klinik kecantikan ini.

“Maaf, Bu Rania. Kami baru tahu kalau Mr. Choi telah meninggal dunia.” Pria bernama Adi ini terkejut ketika Mama memberitahukan kabar duka.

“It’s ok, Mas Adi. Baru sekarang kami bisa memberi tahu, karena baru semalah Mr. Choi meninggal. Dan Mas Adi sudah beberapa kali bertemu saya, kan? Tahu kan, saya ini siapa?”

“Tentu, meskipun Ibu sangat jarang berkunjung ke Indonesia, tapi kita pernah berjumpa. Dan saya tahu kalau Ibu ini Istrinya Mr. Choi yaitu Ibu Rania.”

“Yes, thanks masih mengingat saya. Dan saya kesini ingin memberitahukan bahwa predikat Mr. Choi yang tadinya sebagai Investor di klinik ini, sudah berpindah tangan ke tangan anak saya.” Mama mengejutkanku yang sedang meneguk mocca latte.

Dengan cepat kuletakan cangkir ini hingga kembali ke tempatnya. Lalu aku tersenyum pada pria yang tak kalah tampan dari Kim Tae Hun si Manager butik tadi.

“Selamat siang, Pak. Maaf saya minum terlebih dahulu karena tenggorokan saya kering.”

“Oh, tidak papa. Minum ini di sajikan memang untuk di minum bukan di pajang.”

“Baik kalau begitu, Pak. Perkenalkan, nama saya Kania. Saya investor pengganti Mr. Choi yang akan berinvestasi di klinik Bapak. Semoga kita bisa menjadi partner kerja yang baik.” Kami berjabat tangan.

“Tentu. Selama ini investasi dari Mr. Choi sangat membantu hingga klinik kami jadi lebih maju seperti ini. Kami akan menyiapkan segala surat-surat alih namanya, dan selamat bergabung di klinik saya, Mba Kania.”

“Terima kasih atas kepercayaan Pak Adi.” Aku tersenyum dan Mama memperhatikan kami dengan ikut senyum.

“Apa saya terlihat tua?” tanya Pak Adi dengan wibawanya.

“Kenapa Bapak berbicara seperti itu?”

“Itu, Mba Kania panggil saya Bapak. Saya bukan Bapak-Bapak, loh. Saya masih single. Usia pun masih 28 tahun.”

“Maaf, Pak. Eh, Mas. Kalau begitu saya panggil Mas Adi saja, ya?”

“Nah, itu lebih santuy.” Ya Tuhan, ternyata Adi ini orangnya Santuy. Hahaha! Ingin tertawa tapi harus jaim. Akhirnya mesem-mesem sendiri.

“By the way, anak saya ini single loh, Mas Adi. Siapa tahu tertarik gitu.” ucap Mama.

Puk!

Kutepuk paha Mama. “Mama jangan gitu. Aku malu.” Wajahku sepertinya langsung memerah.

“Tapi anak saya ini sedang mencari suami yang tepat, loh. Siapa tahu Mas Adi berminat?” Mama menawarkanku lagi.

“Mas, Maaf. Mama saya bercanda. Jangan mau sama saya. Saya cuma perempuan hamil yang sebentar lagi jadi janda.”

“Janda?” mimik tampannya semringah.

“Why? didn’t like janda?” tanya Mama.

“Hahaha! Siapa bilang saya tidak suka janda, Bu Rania. Mau gadis atau janda jika hatinya baik saya pasti suka.” tertawanya saja sangat berkelas.

“Ok, kalau begitu panggil saya Tante Rania saja ya, Adi. biar lebih akrab.” Dari wajah Mama seperti ada niat terselubung.

“Ok, Tan. Dan kapan Kania akan resmi bercerai dari suaminya, Tante?” Adi bertanya.

“Secepatnya.” sahut Mama.

“Ma ... jangan genit, deh.” kucubit lengan Mama sambil tersenyum pada Adi.

“Kenapa, Kania. Gak papa, dong? Why not?” ucap Mama.

Puk!

Kutepak paha Mama lagi, tetap tersenyum pada Adi. “Ma, kita pulang, yuk. jadi aneh gini suasananya.” Kukipas-kipas leher dengan tangan karena merasa ada sesuatu yang panas.

“Kenapa, Kania? Gerah? Biar kubesarkan volume AC-nya.” Adi hendak beranjak dari kursi kerjanya.

“Gak perlu, Mas Adi. Kami mau pulang saja. Ayo, Ma,”

“Loh, kok pulang, Sayang? Kamu harus perawatan di klinik ini dulu.” Mama mengingatkan.

“Ide bagus tuh, Tan. Tenang, klinik ini ada produk dan alat yang aman di pakai ibu hamil, kok. Tapi by the way, berapa usia kandungan kamu, Kania? Kok terlihat langsing?”

What? Kok bicaranya jadi intim begini? Kulihat Mama, ia malah senyum-senyum seolah senang dengan kedekatan kami.

“Baru 2 bulan, Mas.”

“Apa boleh aku menjadi Papa dari anakmu, Kania?” wajahnya sangat serius dan terlihat seperti iba padaku.

“Boleh!” sahut Mama. 

“Mama?!” mataku memicing.

Dan tiba-tiba Mama berbisik. “Kata Mr. Choi Adi ini orangnya baik, loh.”

“Terus?!” kujawab dengan nada yang agak tinggi.

“Ya siapa tahu, gitu. Ya kan, Di?” Mama senyum-senyum.

“Iya apa, Tan?”

“Iya aja, Di.”

“Oh, iya aja, Tan.”

Duh, Mamaku ini. Aku kan malu. Belum resmi aku bercerai sudah main jodoh-jodohkan.

“Kania? Boleh minta nomor Whatsapp?” tanya Adi.

“Oh, ya boleh, dong.” Sahut Mama. Mama pun mengambil ponsel yang sedang kugenggam. “Ini nomornya, Di. Mama juga minta nomor kamu, Kania.”

Dan aku hanya diam. Memperhatikan mereka yang sedang tukar nomor Whatsapp pribadiku. 

Hufh! Ok, Aku ikuti permainan Mama. Pasti Mama punya niat baik di balik ini semua. Tidak mungkin juga kalau Mama akan menjerumuskanku.

**

Dan akhirnya aku terbebas juga dari Mama dan Adi yang bersikap layaknya Menantu dan Mertua. Terlihat lucu memang. Tapi tetap, selagi rumah tanggaku dan Haza belum bercerai resmi, aku tak ingin memikirkan suami pengganti.

Misi dan motoku tetap membuktikan pada lelaki brengs*k itu kalau aku ini wanita yang tidak patut di buang. Pokoknya akan kubuat Haza menyesal.

Dan kini, aku dan Mama sedang sama-sama menjalani treatment rambut. Ternyata klinik ini memiliki fasilitas yang lengkap. Tidak hanya khusus untuk merawat kulit saja. Rambut pun bisa.

Aku dan Mama pun sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbagai  perawatan facial hingga kulit wajahku yang tadinya agak kusam menjadi lebih glow walaupun belum terlihat putih sempurna.

Kami pun sudah melakukan manikur pedikur hingga kuku kaki dan tanganku yang tadinya tidak terawat, jadi terlihat indah dengan hiasan warna lembut.

Kami juga sudah melakukan spa dan lulur, agar tubuh kami menjadi relax, segar dan kulit tubuhku yang tadinya tertutup sel kulit mati, jadi bersih tak kusam lagi. Malahan terlihat lebih bercahaya. Apalagi wajahku. Bila terkena cahaya lampu, terlihat lebih berkilau.

Dan hair treatment pun sudah selesai. Sekarang rambutku yang kusam juga sangat berkilau dan tentunya harum. Tidak lupa Hairsylits-ku tadi membubuhkan sedikit warna dark honey blonde hingga rambutku terlihat creamy. 

Di tambah lagi rambut panjangku sudah di bentuk model multy layered mix yang membuat rambuku agak sedikit ikal di ujung. Memang terlihat simple, tapi jika di pandang, ini sangat elegant.

“Wow! Impossible. Apa ini Kania?” Mama mendekat setelah aku siap.

“Ini Kania, Ma. Siapa lagi?” aku berputar agar Mama melihat seluruh perubahanku.

Dan Mama masih melongo takjub. Dia yang sedang menungguku sambil membaca majalah pun, tiba-tiba menghempaskan majalahnya karena terkejut melihat perubahanku.

“Astaga! Kania! Mama kira siapa?! Sumpah! Tadi Mama sempat tak kenali kamu! Astaga-astaga!” Mama mengambil majalah yang tadi ia lemparkan lalu mengipasi lehernya dengan majalah itu.

“Kenapa, Ma? Apa berlebihan?”

“Ini bukan berlebihan, Kania! Ini spektakuler! Dahsyat! Pokonya Mama harus berterima kasih sama Adi.”

“Kok Adi? Sama pegawai yang sudah merubah Kania dong, Ma?”

“Tapi ini klinik siapa?”

“Adi.”

“Ya Mama harus berterima kasih pada Adi, dong. Kalau tidak ada Adi, mana ada pegawai yang profesional seperti itu. Oh my god!”

Hmmm, mulai deh, Mama. Membangga-banggakan pemilik klinik itu. Hihi. Mama-Mama, kentara sekali jika Mama ingin menjodohkanku dengan Adi. Aku tahu gelagat itu.

“Ok, deh! Let’s go! Kita pulang. Kamu harus pulang. Kamu mau pulang kemana? Ke rumah Mama atau Haza?”

“Aku bingung, Ma. Dalam agama, perempuan yang baru mendapat kata talak, katanya masih harus tinggal di rumah suaminya. Tapi lihat saja nanti, Mam. yang jelas aku mau pulang. Mau kuambil baju-baju yang masih layak untuk di berikan pada orang yang lebih membutuhkan. Dari pada di buang.”

“It’s ok, kalau begitu Mama akan antar anak Mama yang cantik ini untuk pulang. Go!"

Dan ketika kami keluar klinik, Mama pun mulai panik. Ternyata ban mobil Mama bocor. Ya Allah, ada-ada saja.

“No problem, Kania. Ini uang dan credit card untuk kamu. Mama mau ke bengkel itu.” Mama menunjuk bengkel yang ada di depan klinik. Dan ini sudah pukul 7 malam. Masih untung bengkel itu belum tutup.

“Untuk apa uang dan credit card ini, Ma?” kuterima segepok uang yang Mama sodorkan.

“Ya untuk anak, Mama. Mau naik taxi ofline atau taxi online?”

“Biar aku saja yang antar Kania pulang, Tante.” Adi si pria tinggi ini nimbrung tiba-tiba.

“that's a good idea!” Mama mengacungkan ibu jari. “Kania pulang sama Adi saja, Ya. Dan Adi, tolong antar anak Tante sampai tujuan, ok?”

“Siap, Tante! Pokoknya kalau Kania sampai lecet, Tante boleh protes ke rumah saya. Tante tau rumah saya, kan?” pria yang sedang menenteng jas ini tersenyum.

“Pernah sekali Tante berkunjung ke rumah kamu bersama Mr. Choi. Sudah agak lupa, sih. Tapi Tante ingat betul, rumah kamu itu seperti rumah Sultan. Thats true?”

“Yes, Tante bisa aja.” 

Sumpah, mereka ini memang cocok jadi ibu dan anak.

“Gimana, Kania? Mau kuantar?” Adi memandangku.

Aku pun mematung sejenak untuk berpikir. Salah tidak ya, jika aku pulang di antar pria lain?

Tapi, aku dan Adi ini kan tidak ada hubungan apa-apa. Sah-sah saja mungkin.

“Kania? Mau, kan?” Mama bertanya dalam raut yang berharap aku mau.

Aha! Apa kupergunakan Adi untuk membuat Haza sakit hati? Dia telah bermain dengan Maya, kenapa tidak kubalas saja? Akan lengkap rasanya jika Haza merasakan di khianati seperti apa yang kurasa. Tapi, apa Adi ini mau kumanfaatkan?

“Aku mau, Ma.” Aku tersenyum pada Mama. “Mas Adi, tolong antar aku pulang, ya?” giliran senyum pada pria berwajah bersih ini.

 Aku tak sabar ingin melihat wajah suamiku yang kejam itu ketika melihatku pulang dalam keadaan cantik namun bersama pria lain. Sebentar lagi dia akan merasakan apa yang kurasakan ketika di khianati.

--Bersambung—

Baca juga karya Author yang lainnya.
 Rekomendasi banget untuk baca SUAMIKU MANTAN SEORANG WANITA yang bisa membuat sakit jantung. 

Dan baca juga MENIKAHI BOCAH yang bisa membuat cengir-sengir sendiri  seperti orang kurang setengah ons  😂 🖒

Di jamin keren dan akan ketagihan baca 🖒❤ tinggalkan jejak dengan like dan komen santuy tapi elegant, ya kak.❤❤ lup-lup❤ 😅