“Mama? Jadi Mama istrinya Mr. Choi?” aku telah melepaskan pelukannya.
Mama mengangguk dengan air mata yang tak berhenti tumpah. “Maafkan Mama, Nia. Mama yang salah. Mama telah meninggalkan Ayah kamu, demi menikah dengan Bos Mama.” Suaranya begitu lirih.
“Jadi Mama pernah kerja di PT. Eagle World?”
“Iya, Nia. Mama pernah kerja di pabrik itu. Mama meninggalkan kamu dan Ayahmu demi Mr. Choi.” Tangisnya tambah kencang.
“Maafkan Mama, Nia. Sebelum Mama menetap di Korea, Mama selalu mencari kamu. Tapi kata tetangga, kamu dan Ayahmu sudah pindah kontrakan. Tolong maafkan Mama, Nak. Mama mau melakukan apa saja untuk menebus dosa-dosa Mama karena telah menelantarkan kalian.” Wanita yang telah melahirkanku ini terisak-isak.
Kutatap wajah tua namun masih cantik ini, terdapat gurat penyesalan yang terlukis di wajahnya. Dan aku belum percaya, ternyata Mama yang selama ini aku cari adalah istri dari mantan Bosku sendiri.
Aku belum bisa berkata apa-apa? Namun, apa pun alasan Mama yang telah meninggalkanku dan Ayah, semua itu tak lantas membuatku kecewa atau pun benci padanya.
Dia tetap ibuku. Manusia yang telah melahirkanku. Dan selama ini Ayah selalu menasihatiku agar selalu sayang pada Mama walaupun Mama pergi begitu saja. Ayah juga selalu mewanti-wantiku agar jangan benci pada wanita yang telah bertaruh nyawa untuk melahirkanku ke dunia.
Dan aku tak menyangka. Ternyata meninggalnya Mr. Choi telah mempertemukan aku dengan Mama. Mama yang selalu kurindukan, Mama yang selalu kucari-cari, dan Mama yang selalu kunanti-nanti kedatangannya.
“Kania? Kenapa kamu diam? Pasti kamu membenci Mama, ya?” Mama menyelidik karena aku diam saja.
Aku menggeleng, mengusap air mata, tersenyum, lalu memeluknya. “Aku gak benci sama Mama. Aku kangen Mama. Sudah lama aku ingin peluk Mama.” Tangisku pecah, di sambut tangis Mama yang bertambah pecah.
Dan untuk kali pertama dalam 10 tahun, aku merasakan pelukan Mama. Terima kasih, Allah. Aku sudah kehilangan Mas Haza, tapi aku telah mendapatkan gantinya yaitu Mama.
“Masya Allah, Nia. Kamu sudah dewasa. Ketika Mama pergi kamu masih SMP, kan? Lalu dimana Ayah? Dia sehat?” Mama mengusap pipiku, lalu merangkulku untuk melangkah.
“Ayah sudah gak ada, Ma.” Langkahku pun di hentikan Mama.
“Maksudnya apa, Nia?” dadanya naik turun.
“2 tahun yang lalu setelah pernikahanku, Ayah meninggal, Ma.”
“Innalillahi wainnailaihi rojiun ....” Mama mengelus dada dengan mata berkaca-kaca.
“Sudah, Ma. Jangan sedih. Ayah sudah bahagia di surga.” Aku menggandeng Mama untuk melangkah lagi.
“Mama belum sempat minta Maaf.” Mimiknya sangat menyesal.
“Ayah itu orang baik, Ma. Ayah sudah memaafkan Mama. Dan aku punya kabar gembira buat Mama.”
“Apa, sayang?” kami melangkah lagi.
“Sebentar lagi Mama akan punya cucu.” Aku tersenyum dalam batin nyeri.
“Astagfirullah!” Mama terkejut dan menghentikan langkah kami sebelum menginjak teras.
“Kenapa istigfar, Ma?”
“Jadi kamu sedang hamil, Nia?”
Aku mengangguk. Aku akan hamil tanpa seorang suami. Dan tiba-tiba aku mengingat pengihanatan Mas Haza lagi.
“Terus yang tadi di katakan staff itu, kamu, kan? Kamu telah di cerai oleh Manager HRD karena wanita lain?! Lalu jika kamu hamil?”
“Suamiku namanya Mas Haza, Ma. Dulu kami saling cinta. Ketika kami sama-sama bekerja di pabrik Mr. Choi, Mas Haza sangat memuja-muja Kania. Tapi tadi, aku melihat dengan bola mata Kania sendiri, ternyata 2 tahun setelah Mas Haza menikahiku, dia berkhianat dengan Maya. Staff payrol di Office.” Air mataku meluruh lagi.
“Astagfirullah!” Mama terkejut. Ia pun menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumah megah ini.
Dan setelah pintu utama terbuka, mataku melebar dengan jantung berdebar. Seumur aku bernyawa, baru kali ini kakiku menginjak lantai rumah bak istana.
Ini rumah atau kerajaan, sebenarnya? Seluruh dinding dan isinya berwarna emas seperti sebuah keraton. Ruang tamunya saja begitu besar, bahkan ukurannya hampir sama dengan rumahku yang bertype standar.
“Ma, ini rumah Mama dan Mr. Choi?” mataku tak berkedip karena memindai setiap inci ruang tamu.
“Iya, ini rumah Mama. Tapi itu tidak penting.” Mama menarik lenganku dan mendudukkanku di sofa empuk.
“Yang paling penting, Mama ingin tahu, apa suami kamu tahu kalau kamu sedang hamil? Kenapa dia menceraikanmu di saat kamu hamil, Nak?”
Kulupakan sofa yang nyaman di duduki ini, lalu kutatap mata Mama yang tergambar rasa khawatir. “Mas Haza tidak tau kalau aku hamil, Ma.”
“Terus? Kamu mau diceraikan? Kamu tidak kasihan pada anakmu?”
“Tidak, Ma. Justru aku kasihan pada anak ini, aku tidak mau anakku punya Ayah yang tak memiliki hati.” Aku memegang perut ketika mengatakan itu.
“Kenapa kamu tidak mau mempertahankan rumah tanggamu, Nia? Seharusnya kamu lawan wanita itu. Jika kamu mundur, wanita itu akan merasa menang!” Mama meremas tanganku tanda gemas.
“Untuk apa aku mempertahankan pria murahan seperti dia, Ma? Dia kejam. Kasar. Hanya memandang wanita dari penampilan. Selama aku menjadi istrinya, dia selalu menuntutku agar melayaninya seperti Raja. Tapi, dia memperlakukanku seperti budak, Mam.”
Rasa cinta yang dulu besar kini telah berubah menjadi benci karena pengihanatan.
“Dan tadi pagi, dia menghinaku, Ma. Dia mengataiku jelek! Kumel! Hitam! Dekil! Bau! Gak bisa merawat diri! Bahkan yang lebih menyakitkan, dia sudah menghina Ayah miskin, Ma.”
“Benarkah?”
“Dan selama dia menikahiku, tidak sekalipun aku mengatur keuangan layaknya ibu rumah tangga. Dia tak pernah memberiku uang. Dan ok, setiap gajian, dia memang selalu belanja keperluan bulanan, tapi yang di butuhkan wanita tidak hanya itu kan, Ma?”
Mama serius mendengarkan.
“Di tambah lagi dia begitu mengekangku, Ma. Dia menyuruhku jangan bekerja dan harus diam di rumah. Tapi jika aku minta uang untuk kebutuhan yang habis, dia selalu mengumpatku kasar dan mengataiku boros.”
Mama melongo seolah tak percaya.
“Dan dengan terpaksa, akhirnya untuk menutupi semua kekurangan, aku harus sembunyi-sembunyi berjualan kue dan gorengan hingga kulitku jadi gosong seperti ini.” Kutunjukkan lengan yang dulu putih terawat, sudah menghitam karena terbakar matahari.
“Astagfirullahaladzim ...!” Mama menangis seolah merasakan penderitaanku.
Tok! Tok! Tok!
“Permisi?” ada orang yang datang. Sepertinya aku mengenal suara itu.
“Masuk!” ucap Mama sambil mengelap air mata.
“Permisi, Bu. Saya lupa. Sebenarnya ada berkas yang harus Mr. Choi tanda tangani. Tapi berhubung Mr. Choi sudah tidak ada, saya minta ibu sebagai pengganti Mr. Choi untuk menandatangannya.” Orang itu sudah masuk, dan ketika kepalaku menoleh, ternyata dia Mas Haza.
“Kania? Kenapa kamu ada di sini? Tidak sopan! Ini rumah Bos, tau!” Seperti biasa Mas Haza menghardikku lagi meskipun suaranya tidak sekeras di rumah.
“Why? Kalian saling kenal?” Mama memandang kami bergantian.
“Dia Mas Haza, Ma. Suami yang kuceritakan tadi.” Aku berbisik di telinga Mama.
“Kania! Kamu tidak sopan bisik-bisik seperti itu di telinga Bu Rania!” seperti biasa, dia melotot seperti burung hantu.
“Hei, jaga bicara kamu. Jangan kasar seperti itu. Kania itu anak—“ kubungkam bibir Mama dengan tangan agar tidak melanjutkan perkataan.
Aku tidak ingin Mas Haza tahu siapa aku. Belum waktunya. Pokoknya dia harus tahu pada waktu yang tepat.
“Tuh, kan. Bu, Maafkan wanita ini. Dia tidak sopan sampai menutup bibir ibu seperti ini. Dan saya hanya minta tanda tangan untuk pembayaran BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan saja, Bu. Mohon di tanda tangani.” Mas Haza meletakan sebuah map di atas meja sambil tersenyum pada Mama. Lalu menarik tanganku untuk keluar.
**
“Kania! Kenapa kamu bisa masuk ke rumah Bu Rania, sih! Bikin malu!” Mas Haza marah setelah membawaku keluar rumah.
Dan tiba-tiba Maya keluar dari mobil yang ada di samping kami. “Jadi Kania ada di dalam, Mas?”
“Iya! Sumpah bikin malu saja si Kania ini! Argh!” Mas Haza mengarahkan tangan ke wajahku seolah ingin mencakar tapi tak jadi.
“Ngapain kamu di rumah Bu Rania, Nia? Oh, mau melamar jadi pembantu, ya?!”
Astagfirullah! Aku baru tahu kalau sifat asli Maya seperti ini. Kukira dia ini sahabat yang baik. Tapi ternyata—
“Jawab, Kania! Kenapa kamu bisa masuk rumah Bu Rania! Atau jangan-jangan kamu ngadu tentangku yang tidak-tidak, ya?! Apa kamu dendam?!” Mata Mas Haza tak henti-hentinya menganga lebar.
Dan aku hanya diam. Bingung juga harus bilang apa. Belum saatnya mereka tahu kalau Bu Rania yang mereka hormati itu adalah Ibu kandungku.
Jika kuberitahu sekarang, sepertinya mereka tidak akan pingsan. Sedangkan aku ingin melihat mereka kejang-kejang sampai pingsan karena tahu siapa aku sebenarnya.
“Kania! Kalau di tanya itu, jawab! Jangan bengong kaya orang b*go! Atau jangan-jangan kamu stres karena di cerai Mas Haza, ya? Hahahaha!” Maya tertawa.
“Ada apa ini? Kedengarannya ribut sekali?” Mama datang. Terdapat map yang tadi Mas Haza bawa di tangan Mama.
“Eh, Ibu. gak papa kok, Bu.” Maya bersikap ramah pada Mama.
“Bagaimana, Bu. Tanda tangannya sudah?” tanya Mas Haza.
“Sudah, siapa namamu?” Mama memberikan map itu pada Mas Haza.
“Nama saya Haza, Bu. Saya Manager HRD di Office.”
“Kalau kamu?” Mama menunjuk Maya.
“Saya Maya, Bu. Staff Payrol kepercayaan Mr. Choi.” Maya tersenyum manis.
Dan bola mataku mengangkat sebal ketika mendengar Maya mengaku-ngaku sebagai staff kepercayaan Mr. Choi. Padahal dulu aku lah staff kebanggaan Mr. Choi. Sedangkan Maya, setiap hari dia selalu di teriaki karena kerjanya lambat.
“Haza?” Mama menunjuk Mas Haza.
“Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?”
“Tidak ada. Saya cuma mau tanya. Apa kamu kenal Kania? Kenapa kamu membawa Kania keluar dari rumah saya?”
“Oh, enggak, Bu. Mana mungkin saya kenal perempuan dekil seperti ini. Saya cuma mau tanya sama dia, apa dia mau jadi asisten rumah tangga di rumah saya? Cuma itu saja kok, Bu.”
Astagfirullah, pintar sekali sandiwaranya. Tapi ucapannya tadi terdengar bod*h.
“Loh, sepertinya sewaktu di dalam tadi kamu sudah tahu nama Kania. Kok sekarang tiba-tiba tidak kenal?” Mama menginterogasi dan batinku tertawa puas. Tuh, kan. Ketahuan kalau kamu itu bod*h, Mas!
Rasain kamu, Mas! Entah kenapa hatiku senang melihat wajah mereka yang tiba-tiba pucat.
“Ah, mungkin ibu salah dengar. Kalau begitu kami permisi dulu ya, Bu. Permisi ....” Mas Haza pun menyeret Maya untuk terbirit pergi.
Dan setelah mobil Mas Haza tak terlihat lagi. Barulah aku dan Mama tertawa. Terpingkal-pingkal aku tertawa karena merasa lucu melihat wajah kikuk Mas Haza.
“Jahat sekali suamimu itu, Nia.” Mama memelukku.
“Dia lebih jahat dari itu, Ma.” Kubalas pelukannya.
“Lalu Mama harus bagaimana? Apa perlu Mama memecat mereka?”
Aku meremas masker yang sedari tadi kugenggam. Dulu aku sangat mencintai Mas Haza sampai rela menelan pil pahit demi bisa bertahan menjadi istri untuk selamanya. Tapi, setelah kutahu dia menghianatiku dengan Maya, aku jadi benci pada mereka.
Jadi kebaikanku selama ini di anggap apa? Hanya lelucon, kah? Haza dan Maya, aku ingin hati kalian hancur seperti hatiku saat ini.
“Apa pemecatan solusi terbaik?” pelukan kulepas.
“Apa Mama boleh memberi saran?”
“Tentu boleh, Ma. Aku senang bertemu Mama. Itu artinya aku tidak sendiri lagi dalam menghadapi hidup ini. Dan apa saran Mama? Apa Mama punya solusi?”
Mama memegang tanganku. “Suami kamu itu Manager HRD di pabrik, kan?”
“Iya, Ma. Memang kenapa?”
“Hmmm, kalau kamu yang menggantikan posisi Mr. Choi sebagai Direktur utama, bagaimana?” mimik Mama sangat serius dan aku tergelak.
“Ih, Mama bisa aja, deh. jangan bercanda, Ma.” Aku tertawa dalam otak yang sedang berpikir.
“Ih, Mama tidak bercanda, Nia. Mama serius. Kalau kamu jadi Direktur utama di pabrik, Mama yakin suami kamu itu akan menyesal telah melepaskan kamu.” Mama serius lagi dan aku tambah tergelak.
“Memang bisa, Ma?” tawaku berubah menjadi mimik serius.
“Loh, ya bisa, dong. Seluruh harta, rumah, mobil, aset, pabrik, dan semua bisnis yang ada di Indonesia dan Korea kan, milik Mr. Choi. Suami Mama.”
“Terus?”
“Kok kamu gak paham sih, Nak? Mr. Choi kan sudah meninggal.”
“Lalu?”
“Masih belum paham?”
“Belum, Ma.” Kugaruk kepala karena gagal paham.
“Mr. Choi itu tidak punya keluarga. Istri pertamanya pun sudah meninggal dan tidak punya anak karena mandul. Dan kamu tau, Sayang? Mama adalah pewaris satu-satunya. Dan kamu anak Mama. secara otomatis, harta Mama harta kamu juga, kan?”
“Maksudnya?” kali ini aku sudah paham. Hanya saja belum percaya.
“Mama akan serahkan pabrik itu untuk kamu. Kamu yang akan menjadi pemilik tunggal pabrik itu. Dan bukan hanya pabrik, Nia. Seluruh harta dan aset yang Mama punya, akan Mama serahkan pada kamu.”
“Lalu Mama?”
“Mama sudah tua, Nia. Mama sudah capek. Mama ingin menikmati hidup bersama cucu Mama.” Mama memegang perutku sambil tertawa.
“Mama gak lagi bercanda, kan? Semua aset Mama dan Mr. Choi akan menjadi milikku?” semalam aku mimpi apa? Aku lupa.
“Wajah Mama kelihatan bercanda, gak?”
“Enggak.”
“Terus kamu percaya gak? Mama akan serahkan semuanya sama kamu karena mama sudah tua. Gak nyangka Mama akan menjadi Nenek.” Mama tertawa lagi, dan kami pun tergelak bersama meskipun otakku masih berputar memikirkan mimpi apa aku semalam?
“Jadi gimana?” pertanyaan Mama menghentikan tawa bingungku.
“Gimana apa, Ma?”
“Kania mau kan, ambil alih semua bisnis dan aset Mr. Choi? Kamu harus buktikan pada lelaki berengs*k dan wanita murahan itu. Kamu akan menjadi atasan mereka. dan injak-injak lah harga diri mereka, seperti mereka menginjak-injak harga diri kamu sebelumnya. Mau kan?”
Dan dalam hati yang telah mantap, kuluruskan punggung agar terlihat tegap. Dan dengan napas yang mengentak-entak, aku mengangguk dengan anggukan yang mantap.
“Siap!”
“Alhamdulillah ...! Nah, gitu dong. Itu baru anak Mama. Ayok!” Mama menarik tanganku.
“Kita mau kemana, Ma?”
“Selama ini kamu selalu memanjakan suami tak punya hati itu, kan?”
Aku mengangguk.
“Dan sekarang, waktunya kamu memanjakan diri kamu sendiri. Kamu itu memiliki dasar yang cantik, Nia. Hanya butuh modal, kamu akan terlihat sempurna.”
“Maksudnya apa, Ma?” aku menggaruk bahu karena tak mengerti.
“Aduh, sayang. Kamu itu gak tau atau lugu? Intinya, pemilik PT. Eagle World harus tampil cantik dan sempurna.”
Aku mengangguk.
“Nah, kalau gitu, ayo kita belanja. Mama ingin melupakan kesedihan Mama karena meninggalnya Mr. Choi dengan merombak penampilan anak Mama agar semua orang terpana.”
“Memang bisa, Ma?”
“Bisa, sayang. Yuk!” Mama mengambil kunci mobil dari saku celananya, lalu menarikku.
“Tapi kita mau kemana, Ma? Mr. Choi baru saja meninggal, memang Mama gak sedih?” tanyaku dalam tangan yang di tarik.
“Nanti Mama ceritakan. Dan kamu harus tahu, Nia. Mr. Choi juga punya usaha butik dan telah berinvestasi di klinik kecantikan.”
“Mr. Choi sekaya itu kah, Ma?”
“Kamu akan tahu setelah kuasa hukum Mama membalik nama semua aset atas nama kamu. Yang jelas, kamu harus cantik dulu, Nia.” Mama tetap menarik tanganku.
“Memangnya aku bisa cantik dalam waktu singkat, Ma?” langkah kami berhenti di samping mobil.
“Anak Mama belum percaya? Kalau gitu kita langsung ke TKP. Mama yakin kamu pun akan pangling dengan diri kamu sendiri. Buat suamimu itu menyesal telah membuang Kania si intan berlian. So, Lets go!” Kami pun masuk mobil.
Benarkah aku bisa cantik dalam waktu singkat? Kalau begitu aku harus pulang ke rumah dalam keadaan cantik. Lihat saja, Mas. Apa kamu tidak menyesal telah membuangku demi Maya?
--Bersambung--
Baca juga karya Author yang lainnya. Rekomendasi banget untuk baca SUAMIKU MANTAN SEORANG WANITA dan MENIKAHI BOCAH 🖒
Di jamin keren dan akan ketagihan baca 🖒❤