“Ayo, Kania. Dengan senang hati akan kuantar kamu sampai tujuan.”
Entah apa yang membuat Adi sampai sebaik ini kepadaku. Padahal dia tahu, aku ini sedang hamil. Apa dia suka padaku? Jika iya, berarti dia orang baik. Buktinya dia tidak mempermasalahkan statusku yang hamil.
“Kania? Let’s go! Tunggu apa lagi? Adi menunggu.” Mama memegang bahuku dengan senyum senang.
“Mama gak papa kalau Kania tinggal?” Kasihan juga Mama. Malam-malam begini harus ke bengkel. Lagian itu ban kenapa harus bocor, sih?!
“No Problem, Mama akan panggil orang bengkel itu ke sini. Dan kalau lama, Mama bisa call Driver untuk jemput Mama.” Sepertinya Mama senang, melihat aku pulang di antar Adi. Dari tadi senyum-senyum sendiri.
“Tapi, Mam—“ kasihan Mama.
“Go, Kania! Tunjukan pada Haza kalau Kania yang dia sebut dekil itu sudah sangat cantik now”
“Hmmm, yaudah Kania pulang ya, Ma.” Kucium pipi Mama, lalu kami pun berpelukan untuk berjumpa lagi besok.
“Silahkan Putri Kania ....” ternyata sedari tadi Adi sudah membukakan pintu mobil sport merahnya yang hanya ada dua pintu.
“Nama saya Kania saja, Mas Adi. Tidak ada putrinya.” Aku pun masuk ke dalam mobilnya.
Bugh!
Adi menutup pintu, lalu berlari ke arah pintu kemudi.
“Sampai ketemu besok, Ma. Bye ...!” kulambaikan tangan pada Mama yang juga melambai, setelah mobil ini mulai berjalan perlahan.
“Good job, Kania!” Mama berteriak dengan mengacungkan ibu jari ke udara.
Hening ....
Ini kali pertamanya aku berduaan bersama lelaki selain Mas Haza. Ya, karena lelaki bermulut tajam itu adalah cinta pertamaku hingga kami menikah.
Dan benar kata orang, cinta pertama itu tak selalu indah. Contohnya dia. Huh! Tak sabar rasanya ingin melihat reaksinya, ketika melihat penampilanku yang sudah wow ini.
Apalagi ....
Kutolehkan kepala ke kanan untuk melihat Adi yang sedang mengemudi. Benar-benar tak sabar. Bagaimana ekspresi wajahnya nanti jika melihat aku pulang dengan di antar pria sekeren dan setampan Adi? Haha ...! Mendebarkan juga.
Kuambil ponsel dari dalam tas mahal yang ada di pangkuan, lalu bercermin melalu kamera depan yang kunyalakan.
Masya Allah ... ternyata aku benar-benar cantik. Lihat saja, bibir yang tak pernah dibelikan lipstik ini jadi berwarna merah muda. Bulu mata yang tadinya biasa, kini tebal menjentik ke atas. alis yang tadinya tak tersusun, jadi terlihat lebih tegas. Dan wajah yang dulunya kusam, kini terlihat lebih bercahaya.
Rambut? Seumur-umur aku tak pernah menyangka kalau akan memiliki rambut berwarna yang stylish seperti ini.
Bayangkan saja, Kania yang dulunya sering memakai daster dengan rambut di gelung asal, kini telah bertransformasi menjadi Lisa Black Pink. Itu hanya perumpamaan.
Cekrek!
Satu foto telah kuambil dengan sempurna. Dan dengan cepat pula, kuapload foto ini ke sosial media, dengan caption ....
[Alhamdulillah, akhirnya aku sudah kembali seperti Kania yang dulu lagi. Terima kasih atas anugerah ini.] Up.
“Ehem! Ambil foto kok gak ajak-ajak?” Adi berdehem beberapa kali.
Ups! Aku lupa. Karena terlalu senang dengan perubahan fisik, aku jadi melupakan Adi yang mungkin sedari tadi sudah memperhatikan.
“Memang Mas Adi suka foto?” aku menoleh padanya.
“Suka, dong.” Matanya fokus mengemudi.
“Hmmm, kalau begitu, ayo kita selfie.” Kesempatan bagus bisa foto bersama Adi. Akan kutunjukkan kepada Haza nanti. Agar dia lebih sakit hati.
Cekrek!
Satu foto dengan tangan membentuk huruf V kompak.
Cekrek!
Foto kedua dengan kami sama-sama senyum bahagia.
“Sudah, Mas. Fokus lagi mengemudi. Takut nabrak nanti. Hehe ...” suasana sudah tak setegang tadi.
“Kalau aku nabrak, yang salah itu kamu, Kania.” Ia berkata tanpa menoleh.
"7Kenapa aku yang salah?”
“Ya karena kecantikanmu telah mengalihkan mataku, hingga aku tak bisa fokus mengemudi. Jadi kalau di tanya polisi kenapa mobilku bisa nabrak. Kamu sebagai tersangkanya ya, Kania ....” dia senyum-senyum.
Ternyata Adi ini orangnya humoris. Berbanding terbalik dengan Haza yang galaknya macam serigala.
“Hahaha! Dari kata-katamu, sepertinya kamu sudah sangat ahli dalam merayu wanita ya, Mas.” Kumasukkan ponselku lagi.
“Jujur, belum banyak aku mengenal wanita, Kania. Selama aku hidup, aku hanya pernah mengenal 2 wanita, dalam hal pasangan kekasih.”
“Oya?” obrolan mulai hangat.
“Iya, pacar pertamaku namanya Dewi. 3 tahun kami pacaran dari kelas 7 sampai kelas 9 SMP.”
“Loh, cinta monyet dong, Mas.” Aku tertawa.
“Iya, tapi akunya gak kaya monyet kok, sumpah!” dia menanggapi dengan bercanda.
Aku pun ikut tertawa karena candaannya itu lucu, menurutku. “Terus yang kedua?” aku mulai tertarik.
“Kalau yang kedua, Namanya Arimbi. Kami berpacaran dari jaman SMA hingga 2 tahun yang lalu.” Tiba-tiba mimiknya berubah menjadi tak ceria.
“Kenapa putus?” sedari tadi aku memperhatikan wajah tampannya diri samping. Dan hidung itu terlihat indah jika di lihat dari sini.
“Kami putus karena dia lebih memilih hidup bahagia di surga, Kania.”
“Innalillahi! Maksudnya pacar kamu yang bernama Arimbi tadi sudah meninggal?” dadaku tiba-tiba berdebar.
“Ya.”
“Maaf.” lirih.
“Untuk apa minta maaf? Kamu gak salah apa pun, Kania.”
“aku minta maaf karena sudah mengungkit masa lalu."
“Kamu memang sudah mengungkit masa laluku, Kania.”
“Tuh kan, benar.”
“Ya, wajahmu yang mirip Arimbi itu telah membuatku mengingatnya kembali.”
Dan aku terkejut. “Jadi pacar kamu mirip denganku?”
“Yes, hampir serupa tapi tak sama, kan?”
“Tentu, aku bukan dia. dan dia bukan aku.”
Sekarang aku paham kenapa dia bersikap baik padaku. Pasti karena aku mirip wanita yang pernah ia cintai. It’s okay. Sekarang aku mengerti.
Dzzzz ... Dzzzzz ....
Ponselku yang ada di dalam tas sepertinya bergetar. Segera kuambil ponsel lama ini, dan benar Mama video call.
“Hi, Ma? Ada masalah? Mobil Mama sudah di perbaiki belum?” sudah kuterima panggilan video call-nya
Dan ternyata Mama sudah mengendarai mobilnya kembali. Sepertinya Mama meletakan ponselnya di dekat setir karena kedua tangannya memegang kemudi.
[Hi, Kania. Sorry jika Mama mengganggumu. Mama cuma mau kasih tahu. Baju kamu yang dari butik tadi tertinggal di mobil Mama, loh.]
“Hi, Tante Rania?” Adi nimbrung dengan melambaikan tangan ke kamera.
[Hi, Adi. Thanks sudah antar Kania pulang.] Mama tersenyum pada Adi dan Adi pun mengacungkan ibu jari.
Kuarahkan kembali VC ini agar menangkap wajahku utuh. “Kania lupa, Ma. Terus gimana besok dong, Ma? Kania harus ke office pakai pakaian itu, kan?”
[Yes, itu sebabnya Mama memberitahu. Kalau begitu pagi-pagi sekali kamu ke rumah Mama, ya? Siap-siap ke pabriknya di rumah Mama saja, ok. Biar Driver Mama yang jemput--]
“Tante, biar saya saja yang antar Kania ke rumah Tante. Kebetulan besok saya libur, Tan.” Adi nimbrung lagi.
[That’s a great ide.] ucap Mama yang sedang menggunakan aerphone.
“Tidak merepotkan nih, Mas?” tanyaku.
“Dengan senang hati aku akan mengantarmu, Kania.” Adi tersenyum.
“Okay, Ma. Besok Adi akan mengantarku ke rumah Mama.”
[Okay, Bye, sayang ...!]
“Bye, Mam.”
Video call pun di akhiri.
“Kalau Mas Adi sibuk gak papa kok, Mas. Saya bisa pesan taxi online.”
“No, besok saya libur, Kania. Pagi-pagi aku akan menjemputmu ke rumah Tante Rania. Okay?”
Hufh! Jika Adi menjemputku besok, setidaknya Haza akan semakin percaya kalau dia telah kukhianati. Dan semuanya akan impas. Aku merasakan sakit karena di selingkuhi, dia pun harus merasakannya juga.
**
Dan beberapa menit kemudian, mobil yang Adi kemudikan pun telah sampai di depan halaman.
Kulihat keadaan luar melalui kaca mobil yang masih tertutup, ternyata Haza telah mengundang teman-teman kantornya untuk bakar-bakar di depan rumah.
Ya, sepertinya mereka sedang barbeque. Banyak asap panggangan di sana. Ada beberapa orang yang sedang kipas-kipas panggangan juga. Dan di antara mereka ada yang kukenal, mereka semua teman office-ku dulu.
Suasana sangat ramai seperti sedang merayakan sesuatu. Dan tidak hanya itu, aku pun melihat Haza dan Maya sedang duduk di ambang pintu.
Sebelum mereka melihat mobil yang Adi kendarai ini berhenti, mereka tengah asyik bercengkerama sambil tertawa.
Tapi setelah melihat mobil mewah milik Adi, mata mereka langsung tertuju ke arah sini.
“Pak Haza, mobil siapa itu? Bapak undang orang lain? Dari mobilnya terlihat orang kaya, tuh.” ucap Lusi pada Haza yang sedang memindai mobil Adi.
“Wah, Pak Adi hebat! Ternyata Bapak punya teman orang kaya!” Kukuh si staf compliance dulu, memuji.
“Sayang? Mobil siapa itu? Kamu kenal?” Maya bertanya pada Haza.
“Tenang semua, lanjutkan lagi pestanya! Ini adalah hari pertunangan saya dengan Maya. Nikmati saja hidangannya.” ucap Haza, tetap memindai mobil Adi.
Oh, jadi acara ini di buat untuk merayakan perpisahannya denganku? Jadi mahkluk serasi itu telah bertunangan? Hahaha! Cepat sekali langkahnya.
“Kania, kok belum turun? Ini benar rumah suami kamu?” tanya Adi.
“Iya, Mas.” Mataku tetap menyorot wajah Haza dari balik kaca. Wajahnya pun terlihat bingung. Bagaimana tidak bingung, dia kan tidak punya teman yang tajirnya melintir.
“Siapa sih, di dalam mobil mewah itu? Kok gak keluar-keluar?” ucap semua orang seraya memperhatikan.
“Kania? Ada apa? Suami kamu yang mana?” tanya Adi. Mungkin dia bingung melihatku yang hanya memperhatikan mereka.
“Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suamiku, yang pakai baju merah, Mas. Yang sedang merangkul wanita di ambang pintu.”
Adi pun ikut memperhatikan. “Lalu wanita itu siapa?”
“Pacarnya.”
“Astaga! jangan bercanda dong, Kania. Kalian belum resmi bercerai di mata negara, kan?” Adi yang buru kukenal pun shock. Apa lagi aku.
“Mereka sudah menjalin hubungan kekasih bagai suami istri sejak 2 bulan pernikahanku.”
“Ya Alllah! Sampai detik ini? Berarti sudah berapa tahun kamu di khianati?”
“2 tahun. Dan baru pagi tadi aku mengetahuinya.” Mataku tak mau lepas memandang Haza dan Maya. Mereka sangat lengketnya bak permen karet yang menempel di rambut.
“Ya Allah, tega sekali suamimu itu, Kania. Kamu pantas hidup bahagia tanpa dia.”
“Tidak sudi juga jika aku kembali menjadi istrinya lagi, Mas. Dia sudah banyak menghinaku.”
“Lalu sekarang, rencanamu apa, Kania? Kamu mau tetap tinggal di rumah itu?”
“Apa aku boleh minta tolong sesuatu?” baru aku menoleh pada Adi yang ikut mengintip ini.
“Minta tolong apa, Kania? Jika kubisa bantu, pasti akan kubantu.”
“Maukah Mas Adi menjadi pacarku?” wajahku sangat serius.
“Astagfirullah! Kamu bercanda, Kania?”
“Ya, aku bercanda karena kita hanya pura-pura.”
“Maksudnya?” dia tambah tak mengerti.
“Lelaki itu telah menyakitiku dengan berkhianat, Mas. Aku pun ingin dia merasakan bagaimana rasanya di khianati.” Mataku berkaca-kaca karena sangat sakit hati.
Adi pun seperti berpikir sejenak dengan duduk normal lagi. Dan tiba-tiba dia menoleh ke wajahku ini. “Aku mengerti, Kania. Aku akan membantumu. Wanita sebaik kamu tak pantas dikhianati seperti itu.”
“jadi Mas Adi mau membantuku?”
“Tentu.” Dia tersenyum.
“Terimakasih, Mas.” Jika dia wanita, pasti sudah kupeluk karena senangnya hati ini. Sayang Adi pria. Tampan pula.
“Ok, kita mulai.” Adi mulai melepas dasi dan membenarkan rambutnya. Dia tak memakai jasnya lagi. karena hanya menggunakan kemeja panjang putih pun, sudah terlihat macho alias jantan.
Ok, Camera ... rolling ... action!
Aku dan Adi pun keluar dari mobil. Dan ketika kami sudah menutup pintu mobil masing-masing, semua orang yang tadinya duduk pun langsung berdiri.
Termasuk Haza dan Maya. Tampangnya langsung melongo. namun dari mimiknya, seperti sedang menerka-nerka siapa aku yang sedang mendekat sambil menggandeng tangan Adi si pria sempurna ini.
“Astaga! Benar orang kaya! Lihat saja tampilannya!” ucap salah satu dari mereka.
“Mas perempuan itu siapa? Kok wajahnya kaya gak asing?” Maya menyikut Haza.
Dan setelah wajahku dan Adi tersorot cahaya, barulah mereka tahu aku ini siapa.
“Mba Kania?!” seru semua staf dengan bibir menganga lebar. Begitupun Haza dan Maya. wajah kedua makhluk itu shock, dengan mata melotot hampir copot.
“Tidak mungkin!” Haza melepaskan tangan Maya yang sedari tadi menggelayut manja.
“Selamat malam semua ....” aku menyapa para staf dengan senyuman puas.
“Selamat malam, Mba Kania ....” mata kaum Adam tak mau berkedip ketika memandangku.
“Sedang apa kalian ada di rumah cicilan mantan suami saya?” Kupertinggi nada pada kalimat terakhir.
“Ini, Mba. Pak Haza dan Mba Maya mengundang kami untuk menjadi saksi pertunangan mereka.” ucap Lusi.
“Oh, sudah bertunangan, ya? Selamat ya, Maya. Sahabatku tercinta.” Aku menjulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Namun, setelah Maya mulai menjulurkan tangan untuk menjabat tanganku, kutarik lagi tangan ini sebelum menyentuh jarinya.
“Ups! Maaf ya, Maya. Cat kukuku masih basah. Takutnya tanganmu kotor. Maklum lah, tangan Farida tidak boleh menyentuh tangan Nenek lampir, kan?” aku tersenyum dengan tangan melipat di dada.
Haha! Puas rasanya!
Kulihat tangan Maya, ternyata sedang mengepal di bawah sana. Kulihat tampang Mas Haza yang dulu aku cinta, ia masih melongo seolah tak percaya.
Dan ketika dia sadar aku tengah memperhatikannya, mata burung hantunya mulai muncul. Bahkan, sepertinya hidung dan telinganya itu sedang keluar asap karena sedang marah.
“Kania! Siapa lelaki ini?!” Dia menunjuk Adi.
“Saya Adi. Calon suaminya Kania.” Tangan Adi melipat di dada. Sempurna, Adi terlihat gagah perkasa.
Ternyata Adi pintar, padahal aku hanya memintanya untuk menjadi seorang pacar. Punya inisiatif dari mana hingga punya ide brilian?
Ku lihat Haza, dada yang tadinya menonjol bidang pun jadi kempes bak balon yang di tusuk jarum.
"Calon suami?" Matanya berkaca-kaca.
"Ya, secepatnya kami akan segera menikah. Dengan atau pun tanpa surat perceraian." tegas Adi.
I LOVE THIS GAME.
--Bersambung—
Yang belum klik Subscraibe, jika berkenan tekan Subscraibe dulu ya, kak.
Bantu Kania dan Mama Rania up dengan Subscraibe dan bintang 5 ❤
Jangan lupa tinggalkan like dan komen juga 😘 lup lup ❤❤ hatur nuhun banyak-banyak. ❤