Kukuras rekeningnya


Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan butik berlogo internasional. Dan asal kalian tahu, selama ini aku hanya bermimpi ingin memasuki butik ini. Tapi kini—

“Kania? Kok diem aja? Ayo masuk, sayang. Kita cari baju di butik milik kamu sendiri.” Mama membukakan pintu mobil, karena aku tak kunjung keluar dari kendaraan nyaman dan mewah ini.

Aku terpana shock akan pemberitahuan Mama. “Miliku? Maksudnya apa, Ma?” aku telah keluar dari mobil.

“Ini butik Mama, Sayang. Dan mulai saat ini, butik ini akan menjadi milik kamu. Ayo masuk.” Mama menggandengku.

“Mama serius?” langkahku pelan karena mengingat sesuatu tentang butik ternama ini. 

Dulu, sekitar satu tahun yang lalu, aku meminta di belikan baju di butik ini karena hari itu adalah hari ulang tahunku. Dan bukan Mas Haza namanya jika dia menuruti permintaanku.

Dan sejak saat itu, aku tak pernah mau bila melintasi butik ini. Bukan apa-apa, hatiku nyeri karena dari dulu aku ingin membeli baju di tempat ini, tapi tak pernah kesampaian.


“Bu Rania? Kami turut berduka cita atas meninggalnya Mr. Choi. Maaf kami tidak bisa hadir karena kami baru tahu.” Pria yang wajahnya seperti berkebangsaan Korea ini menghampiri aku dan Mama yang baru masuk.

“Its ok. No problem. Perkenalkan, ini anak saya. Namanya Kania. Dan Kania, perkenalkan ini Manager yang menghandle butik ini. Namanya Kim Tae Hun.” Mama memperkenalkan kami, dan kami pun berjabat tangan.

Sumpah, tubuhku panas dingin. Baru pertama kali aku memasuki tempat belanja se-elit ini. Bukan takut atau apa, aku hanya minder. Wanita berpakaian murah sepertiku ini rasanya tidak pantas memasuk tempat semewah ini.

“Tae Hun, mumpung masih pagi dan belum banyak pengunjung, tolong kumpulkan semua karyawan di ruang meeting.” Mama memerintah, dan pria Korea ini mematuhi.

Dan sampailah aku dan Mama di lantai atas, kami telah masuk ke ruangan bertuliskan ‘Meeting Room’.

“Kania, ayo duduk.” Mama mempersilahkanku duduk di kursi paling besar yang sepertinya ini kursi Bos.

 Sedangkan Mama, ia berdiri di sampingku. Kami pun sedang menghadap meja panjang layaknya ruang meeting.

“Untuk apa aku duduk di sini, Ma? Aku malu. Lihat pakaianku. Aku seperti gembel, Ma. Tidak pantas aku duduk di sini.” Aku hendak beranjak namun di tahan oleh Mama.

“Duduk, Kania. Mulai sekarang kamu harus terbiasa duduk di kursi seperti ini. karena kamu yang akan mewarisi semua harta dan aset Mama. Ini baru lingkup kecil, Nia. Hitung-hitung latihan. Besok kamu harus duduk di kursi kebesaran ruang meeting pabrik, kan?”

“Tapi, Ma—“

“Dan karena sekarang kamu sudah latihan, besok kamu harus tampil maksimal. Buktikan pada suamimu yang kejam itu kalau kamu itu pantas jadi Bos dan kamu adalah Direktur utama di tempat kerja suamimu sendiri. Paham, sayang?”

Aku mengangguk-angguk meskipun tidak yakin kalau aku bisa. Untuk menjadi staf HRD lagi pun pasti akan kaku, apa lagi menjadi Direktur utama? 

Hufh! Sudah 2 tahun hidupku banyak di habiskan di dapur. Meskipun aku memiliki ijazah sarjana dan sudah pernah bekerja di dunia Office, tetap saja semuanya sudah kaku termakan waktu.

“Selamat pagi, Bu Rania?” banyak orang memakai seragam butik sudah memasuki ruangan dan menyapa Mama dengan hormat.

“Selamat pagi, silahkan duduk.” Mama memerintahkan karyawannya untuk duduk, termasuk pria bernama Kim Tae Hun tadi yang ikut duduk.

“Ok, semua. Kalian semua pasti sudah tahu kan, kalau Mr. Choi sudah tidak ada?” ucap Mama yang berdiri di hadapan kami semua.

Mereka semua mengangguk dengan mimik sedih.

“Dan perkenalkan, ini Bu Kania. Bu Kania ini yang akan menggantikan posisi Mr. Choi sebagai atasan kalian.”

“Memangnya Bu Kania siapa, Bu?” ada salah seorang yang bertanya. 

“Bu Kania ini anak saya. Dan mulai saat ini, Bu Kania adalah pemilik butik ini.”

“Selamat pagi Bu, Kania?” semua orang menyapaku dan jantungku langsung berdebar.

 Aku ini sedang mimpi atau apa? Baru kemarin aku keliling komplek untuk berjualan kue dan gorengan. Sekarang sudah jadi pimpinan sekaligus pemilik butik?

“Selamat pagi? Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik. Dan saya harap, kalian tetap bekerja dengan semangat layaknya Mr. Choi masih ada. Bahkan di tangan saya, kalian dan butik ini harus lebih maju dari sebelumnya. ok!” aku tersenyum. Meskipun pakaianku tak pantas di panggil Bos, setidaknya gayaku jangan memalukan.

“Siap Bu Bos!” semua orang hormat padaku. 

Astagfirullah ... aku baru ingat. perasaan semalam aku hanya mimpi mendapat ikan di empang, kenapa jadi dapat karyawan?

Dan semua orang pun pergi dari ruangan setelah menunduk hormat kepadaku. Ya Allah! Apa aku kebanyakan gaya? Gayaku tadi over tidak, ya?

“Kamu keren, Kania! Kamu memang anak Mama.” Mama memelukku dari belakang setelah semua karyawan keluar.

“Ma, gayaku tadi kampungan sama seperti bajuku yang kampungan ini ya, Ma?” aku mengangkat dada bajuku.

“Siapa yang bilang kamu kampungan?”

“Mas Haza sering bilang aku kampungan, Ma.” Aku menunduk.

“Enak aja katain anak Mama kampungan! Belum tau dia, siapa itu Kania!”

“Memang Kania siapa, Ma? Kania hanya orang biasa.”

“Kamu bukan orang biasa, Kania. Kamu anak Mama.”

Dan aku pun bangkit. Air mata ini jatuh karena merasa haru. Dan lagi-lagi kupeluk Mama karena selepas kata talak yang telah kudengar, hidupku jauh lebih baik saat ini.

“Udah, ah! Ayo kita turun! Kamu harus ambil baju mana pun yang kamu suka. Bahkan kamu boleh ambil berapa pun baju yang kamu mau.”

“Serius boleh, Ma?” kuusap air mata yang membasahi pipi.

“Why not? Ini kan butik kamu.” 

Dan akhirnya, kami pun tergelak bersama dalam linangan air mata. Terima kasih, ya Allah. Engkau telah mengembalikan Mamaku.

**

Dan ketika kami sudah turun ke lantai bawah, Mama pun mempersilahkanku untuk mengambil baju mana pun yang aku mau. Sedangkan Mama, ia tiba-tiba sakit perut dan ingin ke toilet. Hingga pada akhirnya, aku pun berjalan sendiri untuk melihat baju-baju ini.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu Kania?” salah pegawai bertanya dengan ramah.

“Oh, iya. Saya ingin ambil baju. Kira-kira baju mana yang cocok untuk saya?” tanyaku sambil memilah-milah baju yang mengantung di hadapan.

“Hmmm, kalau yang ini harganya paling murah, Bu. Hanya 1 juta. Tidak cocok untuk Ibu. Ibu bisa cari di seberang sana.” Karyawan wanita ini menunjuk blok baju yang kelihatannya bukan KW-KW.

“Memangnya ada apa di sana?” mataku menyelidik ke sana.

“Di sana ada baju yang harganya 10 juta ke atas, Bu. Bahkan lengkap, ada sepatu, tas dan aksesoris lainnya. Para artis Indonesia juga sering belanja di sini loh, Bu.”

“Oya? Kalau begitu saya mau kesana.”

“Mari, Bu. saya antar.” Kami pun melangkah. Dan sebelum kami sampai di tempat yang kami tuju, tiba-tiba langkahku terhenti karena melihat seseorang yang baru masuk.

“Ayo, Sayang. Sesuai janjiku, kamu boleh belanja apa pun yang kamu mau. Mumpung aku baru gajian.” Itu Mas Haza. Ternyata dia membawa Maya berbelanja di butik ini?

“Mba?” kupanggil pegawai yang akan melayaniku tadi.

“Ada apa, Bu?” aku sangat di hormati oleh pegawai ini.

“Kamu lihat pria dan wanita itu kan, Mba?” aku menunjuk Mas Haza dan Maya yang sedang pilah-pilih baju.

“Iya, Bu. Kenapa?”

“Tolong kasih harga mahal untuk mereka. Jangan kasih diskon dan jika dia beli baju yang harganya 1 juta. Naikkan harga baju itu menjadi 10 juta, ok?” 

“Baik, Bu. Perintah Bu Kania akan saya laksanakan.” 

Dan tiba-tiba Mas Haza dan Maya telah melihatku yang berdiri agak jauh dari posisi mereka. 

Mereka mengusap mata, lalu melangkah untuk mendekat. Dan aku tahu, pasti mereka tak percaya karena aku bisa berada di butik ini.

“Kania? Kamu Kania, kan?” Mas Haza menunjukku dengan tampang meledek. 

“Kalau aku Kania, memang kenapa?” mataku mengangkat sebal.

“Kamu mengikuti kami, ya?! Tadi di rumah Bu Rania ada kamu. Sekarang di butik ini juga ada kamu. Kamu mau beli baju atau menguntit kami?! Ups! Kamu kan gak punya uang, ya? Mana bisa kamu beli baju di tempat ini.” Suara Mas Haza sangat lantang di tengah para pembeli yang mulai berdatangan.

“Hahaha! Untuk apa kamu ada di tempat elit ini, Kania? Kamu mau melamar kerja, ya? Ops, kamu kan akan resmi menjadi janda. Pasti kamu butuh pekerjaan, kan?” Maya ikut mengejek.

“Hei, yang sopan kalau bicara! Kalian tidak tahu ibu Kania ini siapa?!” pegawai perempuan tadi marah mendengar ejekan mereka.

“Memang dia siapa, Mba? Dia itu gembel! Kenapa gembel bisa masuk sini sih, Mba? Cepetan panggil Satpam sebelum perempuan ini maling!” Maya berkata di ikuti Mas Haza yang tertawa terbahak-bahak.

Tertawalah sepuas hati, sebelum kusumbat bibir kalian dengan kenyataan. Aku yakin kenyataan yang akan kalian ketahui bisa membuat kalian tercengang-cengang bahkan sampai pingsan!

“Tolong hormati pemilik butik ini!” ucap pegawai yang masih di sampingku.

Dan tiba-tiba tawa mereka pun terhenti. “Pemilik butik?” Mas Haza dan Maya saling tatap melongo. "Hahahaha!” meteka terbahak-bahak lagi.

 “Pemilik butik dari Hongkong!” mereka tertawa sampai matanya berair.

“Ada apa lagi ini? Haza, Maya? Kenapa kalian di butik saya?” Mama telah datang.

“Nah, kalau Bu Rania pemilik butiknya saya baru percaya, Mba. Mba pegawai ini halu, Bu. Masa bilang kalau Kania ini pemilik butik.”

“Memangnya kalau Kania pemilik butik ini kenapa, Haza?” Mama menyelidik.

“Ya saya tidak akan percaya, lah, Bu. Kalau Bu Rania pemilik Butik ini baru saya percaya. Ya sudah, Bu. Kami mau cari-cari baju dulu. Permisi ya, Bu ....” Mas Haza menggenggam tangan Maya untuk pergi.

Namun sebelum pergi, Mas Haza berbisik sesuatu di telingaku. “Kania, urusan kita belum selesai. Kamu pasti mengikutiku dan Maya sampai kesini, kan? Dasar perempuan dekil tak tahu malu! Kutunggu di rumah, bawa semua baju-baju bututmu itu enyah dari rumahku!” Mas Haza pun pergi setelah mengatakan itu.

Ok, dengan senang hati aku akan pergi dari rumah itu. Untuk apa aku tinggal di rumah Kalagondang kalau sudah ada rumah Raden Kian Santang? 

Untuk kali ini kubiarkan mereka tertawa. Tapi lain waktu, pasti kalian akan menangis menyembah-nyembahku, bahkan sampai mencium telapak yang kalian sebut Nenek Lampir.

“Kania? Kamu gak papa? Haza bilang apa?” Mama merangkul pundakku.

“Mas Haza bilang, dia menungguku di rumah untuk mengambil baju-baju bututku, Ma.”

“Astaga! Amit-amit Mama punya menantu seperti itu. Pokoknya Mama mau kamu berubah, Kania. Tunjukan pada mereka kalau kamu itu siapa.”

“Iya, Ma. Tekatku semakin bulat. Aku ingin mereka menyesal untuk selama-lamanya.”

“Nah, gitu, dong. Orang-orang seperti itu jangan di beri ampun, Kania. Dan sekarang, ayo kita pilih-pilih baju.” Mama pun merangkulku untuk menuju blok pakaian yang harganya sangat mahal.

Kutolehkan kepala untuk melihat mereka, ternyata Mas Haza sedang membatu Maya untuk melihat baju yang cocok di pasangkan dengan tubuhnya.

**

“Wah, kamu cantik sekali, Kania?” Mama terkaget sampai termelongo-melongo melihat penampilanku.

Bagaimana tidak melongo, Kania yang tadinya hanya memakai gamis hari raya yang warnanya sudah pudar, kini sudah berganti wujud memakai dress berwarna peach yang begitu lembut di kulit tubuhku.

Tidak hanya dress yang telah kupakai, aku pun sudah memakai aksesoris lainnya, seperti sepatu high heels, tas branded original, kalung, gelang, cincin dan perhiasan yang kupakai itu merupakan berlian jenis Cape Diamond, kata Mama.

“Tuh, kan. Mama bilang juga apa? Kamu itu hanya butuh polesan sedikit pasti akan cantik. Baru di pakaikan pakaian seperti ini saja sudah cantik apa lagi kalau sudah dandan?”

“Ini yang kupakai mahal-mahal, Ma. Tasku aja harganya bisa membeli satu unit motor. Apa gak berlebihan nih, Ma?”

“Loh, kok berlebihan? Justru kamu itu layak dapat yang lebih dari ini, Kania. Udah, mulai sekarang kamu harus PD. dan yuk, kita ke klinik.” Mama menarik tanganku.

“Ke klinik? Aku gak sakit, Ma.”

“Siapa bilang kalau ke klinik harus sakit, Sayang. Hahaha! Kamu itu lugunya lucu, Sayang. Kita ke klinik kecantikan, Kania. Yuk!” Mama menggandeng tanganku untuk melangkah.

Dan setelah kami menuruni anak tangga, aku melihat Mas Haza dan Maya sedang marah-marah di Resepsionis.

“Suami kamu itu kenapa lagi, Kania?” Mama bertanya.

Aku tahu, pasti mereka marah karena komplain soal harga.

“Mba! Ini gimana, sih! Kami ambil baju di blok itu, loh!” Mas Haza menunjuk blok baju yang harganya 1 juta. 

“Kita pelanggan tetap di sini! Biasanya tidak semahal ini, kok! Kami hanya beli 5 pics, Mba! Kenapa harganya sampai 50 juta?!” Mas Haza memukul-mukul baju yang sudah ia pilih.

“Iya, Mba. Biasanya baju di blok itu harganya 1 juta, kok. Kok jadi naik 10 kali lipat?” Maya ikut protes.

“Maaf, Bu. Memang segitu harganya. Jika ibu tidak bisa bayar, silahkan pergi dari sini.” Pegawai wanita yang sudah kukompromikan mulai bertindak mengusir. Bagus.

“Apa semua ini ada hubungannya dengan kamu, Kania?” Mama berbisik padaku. Dan aku senyum-senyum.

“Hehe, iya, Ma. Gak papa kan kalau aku menaikkan harga? Khusus untuk mereka saja kok, Ma.”

“Loh, No problem, sayang. Kalau begitu kamu cerdas.” Mama menepuk-nepuk bahuku dengan senyum puas.

“Mba! Kita ini pembeli, ya! Pembeli itu adalah Raja! Kenapa Mba usir kami?!” kekeh Mas Haza.

“Ya kalau begitu bayar saja barang yang sudah Bapak ambil, Pak. Totalnya 50 juta. Jika tidak bisa bayar, harap pergi sekarang juga. Atau, apa mau saya panggilkan Security?” pintar akting pegawai itu.

“Ada apa lagi, Haza? Kenapa buat onar di butik saya?” Mama meninggalkanku dan menghampiri mereka.

“Eh, Bu Rania. Gak papa kok, Bu.” Nyali mereka langsung ciut ketika berhadapan dengan Mama. Dan aku hanya bisa mengintip mereka dari balik pakaian.

“Ini, Bu. Bapak dan ibu ini marah-marah. Dia protes akan harga yang kita banderol.” Si pegawai mengadu pada Mama.

“Benarkah?” Mama menyelidik Mas Haza dan Maya dengan tangan melipat di dada.

“Tidak, Bu.” Di bawah sana Mas Haza dan Maya sedang cubit-cubitan. 

“Ya sudah, kalau begitu bayar pakaian yang sudah kalian ambil ini. Ini pakaian untuk pacar kamu?” Mama melihat-lihat baju yang ada di meja kasir.

“Iya, Bu. Itu untuk Maya. Calon istri saya.”

“Kalau begitu bayar. Jika tidak bisa bayar, silahkan keluar.”

“Baik, Bu. Akan saya bayar.” Mas Haza tersenyum sambil mengambil dompet dengan tangan gemetar.

“Ini, Mba. Saya bayar pakai kartu kredit.” Sebuah kartu berwarna biru keluar dari dompet yang selama ini selalu terkunci untukku.

“Tidak pakai kartu debit?” tanya Mama.

“Tidak, Bu. Kebetulan saldo debit saya hanya ada 40 juta.” Mereka sungguh mengerut di hadapan Mama.

“Oh, its ok.”

“Ini Pak, kartu kreditnya. Dan ini belanjaannya.” ucap si kasir. 

“Ya sudah, kalau begitu kami permisi dulu ya, Bu.” Mas Haza dan Maya menunduk hormat pada Mama.

“Ok, sampai jumpa di pabrik.” Mama pun pergi ke arahku bersembunyi.

Plak!

Aku dan Mama high five atau yang sering di sebut dengan TOS, alias adu tangan.

“Hahaha!” aku dan Mama tertawa sampai sakit ini perut.

“Akting Mama bagus, gak?” tanya Mama di tengah gelak tawa.

“Mama bukan hanya pantas jadi pengusaha, tapi pantas jadi Artis juga.”

“Oya? Hahahaha!” tawa kami sangat renyah ketika melihat Mas Haza pergi dengan rekening terkuras.

Rasain kamu, Mas! Selama ini kamu selalu pelit dan irit jika keluar uang untukku. Tapi sekarang, rasakan itu. Habiskan lah uangmu untuk wanita murahan itu! Hahaha! Bangkrut-bangkrut kau, Mas!

Next?

Baca juga karya Author yang lainnya. Rekomendasi banget untuk baca SUAMIKU MANTAN SEORANG WANITA dan MENIKAHI BOCAH 🖒

Di jamin keren dan akan ketagihan baca 🖒❤