"Amelia!"
Ibu menarikku dari berdiri, dia menatapku marah dan malu.
"Apa yang kamu lakukan?" bentaknya.
"Dia tahu yang sebenarnya."
"Dia memang tahu yang sebenarnya, lihatlah ini!"
Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan, mungkin dia kakak pria itu tanpa diduga melemparkan sebuah alat tepat mengenai wajah dan jatuh ke kaki ibu yang berhadapan dengan kakiku.
Aku menunduk cepat meraih alat itu dan memperhatikannya dengan seksama. Ini alat tes kehamilan dengan dua garis.
"Kamu hamil, kan? Kalau saja adikku sebajingan yang terlihat dia pasti sudah meninggalkanmu." Aku menatap wanita itu tak percaya.
Aku hamil?
"Berhenti membuat drama karena itu akan semakin membuat keluarga kami malu!"
Malu?
Akulah yang dibuat malu tanpa alasan!
Aku menatap pria itu dengan tak mengerti, kuremas alat itu perlahan hingga membuat telapak tanganku terasa sakit. Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku? Bagaimana bisa dia masuk ke dalam hidupku dan menghancurkannya dalam sekejap.
Apa yang dia rencanakan?
"Ayo nikahkan mereka cepat!"
Suara warga mulai terdengar heboh, aku ingin memukul pria itu setidaknya aku ingin membangunkan dia dari mimpi buruk yang baru saja dibangunkan untukku, tapi Ibu menahan dia mengamit lenganku kuat, penuh peringatan.
Apa yang kusesali dalam hidup?
Bukan terkahir dari keluarga miskin, bukan berasal dari kampung, bukan kesalahan karena memasang ekspektasi terlalu baik pada hidup ini, tapi karena memutuskan untuk merantau ke sini.
Ke ibu kota dengan banyak lowongan pekerjaan yang gajinya lumayan, dengan banyaknya hal-hal positif yang yang bisa dipetik tentang kehidupan, tapi aku mengabaikan bagian terburuk dari sebuah perkotaan.
Bekerja di swalayan dengan dua sift pagi dan malam memang membuatku tak banyak teman. Hanya teman satu pekerjaan, dan satu tempat kossan. Aku bahkan tak kenal pria-pria di luar lingkungan kerja.
Ternyata jalan hidupku begini, tergores dengan menakutkan, menyakitkan dan memalukan.
Aku terus menangis, bahkan kadang kala terisak. Pernikahan itu terjadi dengan diwakilkan oleh petugas agama setempat dengan disaksikan ratusan warga.
Setelah akad selesai masjid itu perlahan sepi, sempat kudengar sindiran yang menyakitkan hati, dan mereka mengatakannya dengan tertawa seakan mensyukuri apa yang terjadi padaku.
"Nah sekarang bisa ena-ena sepuasnya." Lalu yang lain menyambut dengan cekikikan.
Aku masih saja bersimpuh di masjid dengan pakaian pernikahan seadanya. Entah punya mungkin punya orang yang merasa kasihan dengan keadaanku.
Bukan kasihan, tapi jijik buktinya tidak ada yang mengambil kain ini kembali.
"Ayo." Ibu menyentuh bahuku, suaranya serak. Aku tahu yang ada saat ini hanya kekecewaan dan kemarahan padaku.
"Ibu." Aku merangkul tubuh kurus itu erat, rasanya seperti pelukan terakhir yang dibalasnya tak kalah erat.
"Maafkan aku," bisikku di sela tangis. Kalau saja Ibu menaruh sedikit rasa percaya padaku dan mau melakukan tes keperawanan pernikahan ini takkan terjadi, dan Ibu tak pernah mennggung malu sepanjang masa.
Apa boleh buat sekarang semua sudah kabur, aku seperti melangkah ke dalam kegelapan.
"Ayo." Ibu mengulangi lagi kalimatnya melepaskan pelukan dan menarik tanganku berdiri. Dia tidak menatap mataku, dia masih sangat marah mungkin untuk waktu yang tak ditentukan.
Ibu membimbingku ke luar dari masjid, sepasang suami istri yang umur sebaya Ibu sudah menunggu di halaman dekat teras. Sementara keluarga pria itu yang lainnya menunggu dekat mobil begitu juga pria itu. Sekilas kulihat dia bersandar di pintu mobil dengan mengalihkan pandangan dariku.
"Amelia, sudah semu akan baik-baik saja sekarang." Wanita paruh baya itu menyentuh kepalaku dengan tersenyum.
"Semua sudah terjadi, tidak ada gunanya memandang ke belakang lagi. Tinggal bagaimana kita menata mas depan yang lebih baik." Pria paruh baya itu juga angkat bicara.
"Ya, benar," jawab Ibu terdengar tersendat.
"Kami minta maaf atas perlakukan anak kami," bisik wanita itu merangkul Ibu.
"Semu tidak akan terjadi bila perlakuan anakmu saja yang tidak baik," balas Ibu semakin membuat kepedihan dalam dadaku.
"Amelia mulai sekarang anak kami juga, dia akan pulang bersama kami ...."
"Tidak!"
Ibu mencekal tanganku, dia menatap tajam kali ini mencegah kubicara atau menolak.
"Kutitipkan anakku." Suara Ibu bergetar, tapi itu terdengar penolakan padaku, terdengar sebuah keputusan kalau Ibu benar-benar sudah membenciku.
"Bu," bisikku memelas.
"Sekarang kau menantu mereka, kau harus ikut dan tinggal bersama mereka," bisiknya kamu tak menghiraukan permohonan yang terselip diucapanku.
"Aku, aku tidak mengenal mereka."
"Nanti kau juga akan mengenal kami. Tentu saja kamu sudah tahu ini Papa dan Mama, dan yang tadi itu Farah, dia kakaknya Satria," senyum wanita paruh baya itu terlihat asing meski tak pungkiri berusaha menenangkan.
"Satria?" gumamku.
"Ya, Satria suamimu. Jangan katakan kalau kamu benar-benar tak mengenalnya," goda pria yang sekarang adalah Papa Mertuaku itu.
Satria, dia benar-benar takkan kumaafkan!
Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana ucapan lelaki paruh baya itu, karena memang aku tidak tahu siapa nama anak tukang fitnahnya ini sebelumnya.
Namun, percuma bersikeras toh semua sudah terlambat. Aku akan membuat perhitungan dengan dia, tidak peduli bagaimana caranya dia harus mengakui kalau dia yang telah menjebakku nanti.
"Aku pulang bersama Ibu saja untuk beberapa waktu," bisikku lagi berharap ibu mengerti atas ketakutan yang kurasakan.
"Tidak." Ibu menggeleng tegas dan itu benar-benar merontokkan hatiku.
"Ibu akan segera kembali ke kampung, karena adikmu pasti sudah menunggu Ibu. Kamu baik-baiklah bersama keluarga barumu."
Napasku tercekat, aku tidak berdaya. Saat ini aku merasa seluruh dunia menolakku kecuali kekuatan baru yang tak kukenal ini.
Ibu mengibaskan tangan memanggil ojek yang mangkal tak jauh dari teras masjid. Dia tak peduli betapa aku sangat berharap dia mengajakku, dia bahkan tak memelukku lagi.
Setelah berpamitan kepada kedua pasangan paruh baya yang berada di sampingku dia pergi. Masih sempat kulihat dia menghapus air mata ketika ojek itu membawa dia pergi.
Ibu akan memaafkanku secepatnya.
"Ayo." Mama mertua itu menarik tanganku untuk segera mendekati mobil.
Terpikir ingin menolak, atau mungkin memaku mereka saja sekalian. Namun, semua tidak akan menyelesaikan masalah aku akan semakin tak tentu arah.
Dengan langkah gontai aku mengikuti mereka, kedua pasangan itu masuk ke bangku belakang sementara untukku tersisa satu kursi di samping supir, dan sepertinya pria yang berdiri membukakan pintu ini adalah supirnya.
Aku menatapnya tajam, tapi mata itu cenderung menghindari tatapanku khas ketika seseorang melakukan kesalahan.
"Kehancuran pertama yang kau ciptakan untukku adalah membuat ibuku membenciku," desisku. "Dan, tidak akan ada balasan yang setimpal untuk itu."