"Kiki anak banci. Kiki anak banci."
Sorak sorai terdengar bergemuruh di salah satu kelas di SMP Jaya Bangsa. Derai tawa kencang sesekali terdengar nyaring hingga ke luar kelas.
Salah satu anak laki-laki berumur tiga belas tahun bernama Kiki, terlihat berjongkok di lantai. Tangannya dengan cepat memungut kembali dua puluh lima buah kue donat berlapis plastik bening, yang kini berserakan di lantai.
Kudapan itu awalnya ia bawa dari rumah untuk dibagikan kepada teman-teman sekelasnya, karena Kiki tepat berulang tahun hari ini. Bundanya dengan semangat membuat donat itu sejak subuh dan menghiasnya secantik mungkin, agar terlihat menarik di mata teman-temannya.
Namun sayang, yang terjadi malah sebaliknya. Bukannya ucapan selamat dan terima kasih, yang ia dapat malah penolakan. Bahkan bagi sebagian teman-teman Kiki, donat itu sama sekali tak ada harganya.
"Ki, emang bener ibu kamu laki-laki, ya?" tanya seorang anak bertubuh tinggi tegap dengan potongan rambut cepak.
"Iya, bener. Aku pernah lihat, kok. Ibunya Kiki punya kumis," jawab siswa lain yang mengenakan kaca mata sambil menahan tawa.
"Kalau ibunya Kiki laki-laki, jangan-jangan ayahnya Kiki perempuan," ejek seorang siswa bertubuh tambun bernama Seno, yang sejak awal memang menjadi profokator.
Kiki memejamkan mata. Kedua tangan yang sedang memegang bungkusan donat sampai gemetar karena menahan marah. Semua hinaan itu tentu saja membuat telinganya panas.
Kiki kemudian mengambil napas panjang. Mencoba mengatur irama jantungnya yang sedang berdetak cepat. Ia tak boleh sampai hilang kesabaran, atau bundanya akan semakin dicap orang-orang tak bisa mendidik anak.
Melihat penindasan yang tak imbang itu, seorang anak perempuan bangkit dari duduknya dan ikut berjongkok di samping Kiki.
"Aku bantuin, ya," ucap Siswi bernama Amanda itu sembari tersenyum lebar. Tangannya yang lembut, ikut membantu memungut beberapa donat yang masih berserakan di lantai.
"Jangan dengerin mereka, Ki. Anggap aja nggak ada," ucap Amanda sambil mengembalikan donat-donat itu pada Kiki dengan wajah riang.
Kiki mengangguk pelan. Kehadiran dan kata-kata Amanda sedikit bisa meredam amarahnya. Mereka berdua lalu bangkit berdiri, dan menuju bangku Kiki yang terletak di baris ke tiga dari empat barisan yang ada di kelas itu.
"Ki, donatmu ketinggalan satu," teriak Seno sambil mengacungkan sebuah donat dengan taburan kacang di atasnya. Namun bukannya mengembalikan makanan itu pada Kiki, Seno malah sengaja mengendus-endus donat itu dengan memasang wajah jijik.
"Donat bau gini nggak pantes buat dimakan. Bagusnya dibuang aja," tukas Seno sambil melemparkan donat itu ke dalam tong sampah yang berada di dekat pintu.
Melihat itu seketika rahang Kiki mengeras. Terbayang wajah letih bundanya yang kurang tidur demi membuat makanan untuk dibagikan pada teman-temannya. Terbayang tiap tetesan keringat yang disembunyikan bundanya dalam setiap senyuman.
Sejujurnya, itu bukan donat biasa. Bagi Kiki donat itu sangat istimewa, karena terdapat cinta sang bunda di dalamnya.
Kiki mengepalkan kedua tangan. Ia menatap Seno dengan mata nyalang. Tidak! Sungguh, kali ini ia tak tahan lagi!
Kiki bergerak cepat. Ia menarik kerah baju seragam Seno disertai mata yang mulai memerah. Percuma! Sampai kapanpun, orang seperti Seno tidak akan bisa mengerti ketulusan hati bundanya.
Tanpa menunggu lama, Kiki melayangkan tinjunya ke arah pipi kiri Seno untuk memberinya pelajaran. Namun naas, tepat saat bogem mentahnya menyentuh pipi siswa gendut itu, Bu Fatma wali kelasnya sudah lebih dulu berdiri di depan pintu.
"Rizkiiiiiiiii!" jerit Bu Fatma sambil berlari masuk ke dalam kelas, dan buru-buru melerai perkelahian anak didiknya.
"Ada apa ini? Jam istirahat kalian malah bikin ribut. Kenapa kalian berkelahi?" tanya Bu Fatma dengan nada tinggi. Wanita berjilbab cokelat itu menatap Kiki dan Seno secara bergantian. Namun kedua siswa itu hanya bisa diam sambil menunduk.
Kehadiran Bu Fatma langsung membuat suasana kelas menjadi hening. Anak-anak yang ada di dalam kelas bahkan tak berani bergerak. Termasuk dua anak lainnya yang tadi ikut mem-bully Kiki. Mereka semua mengambil jalan aman dengan tetap diam.
Bu Fatma mencoba mengatur napasnya. Menghadapi kondisi seperti ini, sebagai guru dirinya tak boleh bertindak gegabah. Ia harus lebih dulu tahu akar permasalahannya sebelum bertindak. Apalagi selama ini Kiki dikenal sebagai anak yang baik dan pintar. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai anak pendiam seperti Kiki berkelahi di dalam kelas.
"Seno. Rizki. Kalian berdua ikut Ibu ke kantor! SEKARANG!"
Bu Fatma mengapit Seno di sebelah kiri, dan Kiki di sebelah kanan. Setelah Bu Fatma, Kiki, dan Seno menghilang di balik pintu, kelas pun kembali riuh. Beberapa anak sibuk bertanya-tanya sendiri, kira-kira hukuman apa yang akan didapat kedua teman mereka itu.
Amanda duduk di kursi Kiki sambil memasukkan kembali donat ke dalam kantong yang ada di atas meja. Amanda benar-benar khawatir pada Kiki. Walaupun memang sudah sepantasnya jika Kiki akhirnya marah dan melampiaskan kekesalannya. Sebab ini bukan yang pertama kalinya Seno dan teman-teman yang lain menghina orang tua Kiki. Mungkin jika berada di posisi seperti itu, ia juga akan melakukan hal yang sama.
Amanda mengembuskan napas panjang. Ia ingin sekali membantu, tapi dirinya tak bisa melakukan apapun. Ia hanya bisa berdoa semoga Bu Fatma tidak mengambil keputusan keliru dan menghukum orang sebaik Kiki.
🌺🌺🌺afrilia_athaara🌺🌺🌺
Esok paginya, suasana kelas 2-B kembali riuh. Dengan cepat tersiar kabar bahwa Kiki dan Seno dihukum skorsing selama tiga hari sebagai akibat dari perkelahian mereka kemarin. Namun yang lebih membuat heboh adalah kehadiran Mama Seno di sekolah. Ia datang untuk mengajukan protes atas hukuman yang diterima putranya.
"Pokoknya, saya tidak setuju kalau Seno ikut dihukum. Yang salah itu kan si Rizki. Berani-beraninya dia memukul Seno. Harusnya dia bukan cuma dihukum skorsing tiga hari, tapi langsung diberhentikan saat itu juga!" protes Bu Rita-Mama Seno, dengan nada berapi-api.
"Tapi, Bu Rita. Menurut pengakuan siswa yang lain, Seno yang lebih dulu sengaja menjatuhkan donat-donat milik Rizki. Tidak hanya itu, banyak saksi yang mengatakan kalau Seno seringkali terang-terangan menghina dan memfitnah ibunya Rizki."
"Memfitnah? Bu Fatma, apa yang dikatakan anak saya itu sama sekali bukan fitnah. Itu kenyataan kalau ibunya Rizki itu memang seorang laki-laki. Badannya tinggi besar, berkumis tipis, dan bahunya lebar. Melihat dari fisiknya saja sudah jelas kalau dia itu pria yang menyamar menjadi wanita. Atau sering kita kenal dengan wari ... ah, saya rasa Bu Fatma juga lebih paham tentang hal ini."
Bibir Bu Rita yang berlapis gincu merah tak hentinya berceloteh. Bahkan sesekali ia tak segan mengarahkan kipas mini bergambar doraemon miliknya ke arah wajah. Membuat tingkahnya kian terlihat menjengkelkan. Kipas itu juga seolah menegaskan bahwa situasi sudah kian memanas.
"Bu Rita. Terlepas dari benar atau tidaknya hal itu, Seno tetap tidak boleh menghina orang tua siswa lain. Sebab itu termasuk tindakan bullying yang tidak dibenarkan dalam sudut pandang manapun. Atas pertimbangan itu maka tidak hanya Rizki yang mendapat hukuman, tapi juga Seno dan siswa lainnya yang terlibat dalam perkelahian. Karena mereka semua telah terbukti melakukan pelanggaran peraturan sekolah."
"Aneh banget, sih. Ada anak yang mengatakan kebenaran kok malah dihukum," gumam Bu Rita dengan bibir yang bersungut-sungut. "Bu Fatma, saya bicara seperti ini karena perduli dengan nama baik sekolah. Anak nakal dan doyan berkelahi seperti Rizki memang harus dikeluarkan biar nama sekolah tidak tercoreng."
"Maaf Bu Rita. Tapi seluruh sekolah tahu kalau Rizki anak yang baik dan pintar. Ibu lihat lemari di samping meja ini. Semua piala yang ada di rak paling atas adalah hasil sumbangan Rizki. Piala itu jadi bukti kalau Rizki sering mengharumkan nama sekolah."
Bu Rita melirik lemari setinggi dua meter yang berdiri kokoh di sebelah kanan kursi Bu Fatma. Ada sekitar tujuh piala dari berbagai kategori lomba yang dipajang di rak teratas. Itu artinya Kiki telah menyumbang tujuh piala dalam dua tahun terakhir.
"Cuma piala gitu aja, Seno juga bisa beli sepuluh kali lipat lebih banyak," gerutu Bu Rita. Ia seakan tak terima saat Bu Fatma menjelaskan prestasi yang diraih oleh bocah miskin yang sudah sejak lama ia benci itu.
"Dengar ya, Bu Fatma. Pokoknya Rizki harus segera diberhentikan dari sekolah ini. Apa jadinya kalau berita ini sampai tersebar keluar sekolah? Apa yang akan dikatakan orang-orang kalau tahu SMP Jaya Bangsa memiliki wali murid seorang waria."
Bu Fatma menarik napas panjang. Wali kelas 2-B itu hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap wali murid yang "ajaib" seperti Bu Rita. Bu Fatma paham betul, orang seperti Bu Rita tak akan mengerti jika dijelaskan dengan kata-kata sopan dan lemah lembut.
"Maaf, Bu Rita. Tapi pihak sekolah tidak bisa memberhentikan Rizki dengan alasan latar belakang orang tuanya. Sama seperti kami yang tidak berhak memberhentikan Seno, dengan alasan Papanya yang ditahan KPK karena tersandung kasus korupsi."
Ucapan Bu Fatma yang to the point sontak membuat Bu Rita terkejut. Wajahnya yang dilapisi bedak putih tebal, seketika berubah kemerahan. Entah karena marah atau malu. Yang jelas, ia tak pernah menyangka bahwa kasus korupsi yang mendera suaminya akan dijadikan sebagai peluru balasan oleh Bu Fatma.
"Ya, sudah. Kalau nggak mau dikasih saran," ucap Bu Rita kesal sembari menyimpan kipas doraemonnya ke dalam tas. "Terima kasih atas waktunya. Saya permisi."
Tanpa menunggu waktu lama, Bu Rita bangkit berdiri dari kursinya, dan berlalu pergi tanpa bersalaman dengan Bu Fatma. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu melenggang keluar dari ruangan kantor SMP Jaya Bangsa. Raut wajahnya yang masam jelas berbanding terbalik dengan dirinya yang datang penuh keangkuhan.
Bu Fatma berdiri di depan pintu kantor sambil melipat kedua tangannya. Semoga saja peristiwa yang terjadi hari ini bisa membuka mata hati Bu Rita agar tak lagi memandang rendah kepada sesama.
🌺🌺🌺afrilia_athaara🌺🌺🌺
Pukul sembilan malam.
"Bunda, baju jahitan pesanan Nek Yati sudah Kiki masukin ke dalam kantong," ucap Kiki dengan semangat sambil menunjuk sebuah kantong plastik hitam di atas meja.
Bunda Ana yang sedang sibuk berkutat dengan mesin jahit, sejenak menghentikan pekerjaannya dan tersenyum lebar pada Kiki.
"Terima kasih, Nak," ucap Bunda Ana. Telapak tangannya yang lebar mengelus pelan rambut Kiki yang hitam. "Kiki istirahat, ya. Dari pagi sudah bantuin Bunda jahit dan susun baju. Kiki pasti capek. Besok kan mau sekolah."
"Bunda lupa, ya? Kiki kan sudah bilang. Mulai hari ini, besok, sama lusa, Kiki nggak sekolah dulu soalnya ada rapat guru. Bunda lupa, ya?" jelas Kiki sambil pura-pura tertawa.
"Oh iya, Bunda lupa. Maaf ya, Nak. Bunda udah tua."
"Tapi Bunda tetep cantik, kok."
"Ah, kamu memang pintar merayu." Bunda Ana mengambil dua lembar uang lima ribuan dari dalam kantong daster, dan memberikannya pada Kiki.
"Makasih, Bunda. Ini upah buat bantuin kerja apa buat ngerayu?"
"Kiki!"
"Hehehe. Bunda cantik kalau lagi marah." Kiki memasukkan uang itu ke dalam saku piyama, dan hendak pergi masuk ke kamar.
"Oh iya, Ki. Bunda lupa tanya. Gimana donatnya? Temen-temen kamu suka nggak?"
Kiki yang sudah berada di depan pintu kamar mendadak diam mematung. Masih teringat jelas perlakuan Seno dan beberapa siswa lain yang dengan berani telah menghina bundanya.
Namun, ia tentu saja tak bisa menceritakan kejadian itu. Sama halnya seperti ia yang tak bisa jujur telah diskorsing pihak sekolah karena telah berkelahi membela sang bunda.
Kiki memejamkan mata. Tidak. Apapun yang terjadi ia tidak akan biarkan bundanya tahu tentang masalah ini.
Kiki kemudian perlahan berbalik. Wajahnya yang tirus segera ia hias dengan senyuman yang tentu saja palsu.
"Iya, Bunda. Temen-temen sekelas pada suka. Katanya donat buatan Bunda enak. Mirip donat mahal yang ada di Mall," kata Kiki dengan penuh semangat.
"Oh ya? Syukurlah kalau mereka suka. Nanti kalau ada rezeki lebih, Bunda buatin lagi, ya," ucap Bunda Ana dengan wajah semringah.
"Ok, Bunda," ucap Kiki lalu buru-buru berbalik masuk ke dalam kamar. Ia tidak bisa lama-lama berbohong pada Bunda Ana, karena pasti nanti dirinya akan ketahuan.
Di dalam kamarnya yang berukuran 2x3 meter, Kiki duduk di lantai sambil memegangi lutut. Punggung dan kepalanya ia sandarkan di pintu kamar.
Entah mengapa masih saja ada orang-orang yang membenci ia dan bundanya. Padahal mereka tidak pernah berbuat jahat pada orang lain.
Kenapa? Kenapa orang-orang membenci mereka hanya karena kondisi fisik bundanya yang berbeda?
Kiki meraih selembar surat dari dalam tas. Surat resmi dari pihak sekolah tentang hukuman skorsingnya ini, seharusnya ia berikan pada Bunda sejak kemarin siang. Namun cinta Kiki yang terlalu besar pada bundanya, membuat bocah laki-laki itu tak bisa melakukannya. Ia tak akan tega melihat raut kekecewaan di wajah bundanya jika sampai tahu tentang kejadian yang sebenarnya.
Kiki lalu putuskan untuk menyimpan kembali surat itu didalam lipatan buku tulisnya. Di dunia ini, ia hanya punya Bunda Ana. Orang-orang di luar sana boleh menyakitinya, tapi tidak dengan bundanya. Kiki sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan melakukan apapun agar sang bunda tetap bahagia.
🌺🌺🌺afrilia_athaara🌺🌺🌺
Di luar kamar, Bunda Ana masih terus menjahit meskipun malam kian mencekam, dan Kiki sudah terlelap jauh di dalam mimpinya. Suara mesin jahit itu mengalun merdu di malam yang sunyi. Suara itu lebih dari cukup untuk menyembunyikan isak tangis Bunda Ana, ditengah wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.
Ya. Dirinya bukan tidak tahu peristiwa yang terjadi pada Kiki. Namun, senyuman putranya yang berusaha menyembunyikan kenyataan, telah membuatnya terharu.
Kemarin sore saat dirinya mengantarkan pesanan jahitan ke rumah Bu RT. Tanpa disangka Putri sulung Bu RT yang bernama Siska, menceritakan hal mengejutkan yang terjadi pada Kiki di kelas.
Dari mulai tentang donut yang dibuang ke tong sampah, hingga tentang Kiki yang berkelahi dengan Seno dan berujung hukuman skorsing yang harus didapat putranya.
Jangan tanya bagaimana hancur hatinya mendengar kejadian itu. Sedih, marah, terharu, melebur jadi satu. Sedih karena ia sama sekali tidak tahu bahwa ternyata selama ini, sang anak telah menjadi korban bullying di sekolah. Marah karena putranya telah diperlakukan tidak adil. Terharu karena tidak perduli apapun yang terjadi, Kiki akan tetap mati-matian membela bundanya.
Bunda Ana kembali terisak. Salahkah jika dirinya miskin? Salahkah jika dirinya berbeda? Salahkah jika orang berkelamin ganda seperti dirinya memiliki seorang putra?
Air mata yang jatuh membawanya kembali pada kenangan tiga belas tahun lalu. Saat dirinya yang tengah putus asa dengan kehidupan, dipertemukan dengan seorang malaikat kecil yang menangis kencang di dekat tempat sampah.
Tanpa keraguan sedikitpun, ia memeluk bayi tampan yang tengah kedinginan itu. Memberinya kehangatan yang selayaknya didapat. Ia lalu putuskan untuk merawat dan memberinya nama Rizki. Sebab bayi itu sejatinya adalah sebuah rezeki besar yang telah diberikan Tuhan padanya.
Selama belasan tahun ia merawat Kiki dengan penuh kasih. Apa yang diberikan seorang ibu yang tidak ia berikan pada Kiki? Dirinya bahkan sering kali rela kelaparan asalkan bayi mungil itu tetap kenyang. Ia rela kedinginan, agar Kiki bisa tidur nyenyak. Ia rela kerja keras banting tulang siang malam, agar putranya itu dapat terus mengenyam pendidikan.
Tanpa sedikitpun mengharap pamrih, ia berikan semua yang dimiliikinya agar Kiki bisa tumbuh besar seperti anak normal pada umumnya.
Bunda Ana mencengkeram ujung baju yang baru selesai dijahitnya. Tidak. Tidak ada satupun orang yang meminta untuk dilahirkan dengan kelamin ganda. Tidak juga dirinya. Namun keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang hal ini, membuat orang-orang yang bernasib sama seperti dirinya acap kali merasa diasingkan dan tak diterima.
Bahkan tak jarang orang-orang menyebut Bunda Ana sebagai waria. Meskipun ia sudah berkali-kali menjelaskan bahwa walaupun ia terlahir dengan kelaminan ganda dan fisiknya mirip dengan pria, tapi dirinya tetap memiliki rahim dan mengalami menstruasi, sebagaimana wanita normal pada umumnya.
Namun tentu saja, penjelasan Bunda Ana tak mampu merubah sudut pandang dan cara berpikir orang-orang disekitarnya. Mereka lebih memilih untuk tidak perduli, dan menganggapnya tidak normal.
Setiap kali ada orang yang mencaci maki dirinya, Bunda Ana selalu bertanya-tanya. Siapakah yang sebenarnya layak disebut sebagai seorang ibu? Dirinya yang nekat membesarkan Kiki meskipun memiliki kelamin ganda? Ataukah wanita yang telah melahirkan Kiki, tapi dengan tega telah membuang bayi tak berdosa itu di tempat sampah?
Biarlah ...
Biarlah waktu dan kasih sayangnya pada Kiki yang akan menjadi jawabannya.
🌺🌺🌺Bersambung🌺🌺🌺