15 Juli, tiga belas tahun lalu.
Sebuah mobil taxi meluncur diantara padatnya kendaraan yang memenuhi jalan raya. Di kursi pengemudi, sang supir terlihat mahir mengendarai si kuda besi. Taxi itu tampak meliuk-liuk lincah saat menyalip beberapa kendaraan di depannya.
Di bangku belakang, Ana duduk sendirian ditemani ponselnya. Ia menatap benda keluaran Nokia itu sambil menggigit bibir.
Sejujurnya ia mulai gelisah. "Kenapa HP Mas Bambang masih nggak aktif?" gumamnya pelan.
Sudah satu minggu sejak kepergiannya ke ibu kota, sejak itu pula kekasihnya itu tak bisa dihubungi. Tidak biasanya Bambang bersikap seperti ini. Bahkan saat kepergiannya ke Aceh enam bulan lalu, Bambang lah yang selalu tak henti menelpon untuk menanyakan kabarnya.
Batin Ana mulai gelisah. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Bambang. Namun sedetik kemudian, Ana segera menepis kerisauannya. Ia yakin Bambang pasti punya alasan kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi, dan tidak datang menjemput dirinya di Bandara.
"Mas Bambang pasti kewalahan mengurus salon sendirian," ucap Ana tetap berusaha berpikiran positif.
"Maaf, Mas. Setelah simpang empat ini, kita belok kemana, ya?" tanya supir taxi sambil melirik Ana dari kaca spion dalam.
"Belok kanan, Pak," jawab Ana dengan senyum kecut.
Ya. Dirinya tidak bisa menyalahkan si supir taxi yang memanggilnya dengan sebutan "Mas". Potongan rambut yang pendek dan ikal, bahunya yang lebar, wajahnya yang memiliki kumis tipis, bibir yang dibiarkan alami tanpa olesan lipstik, serta kaos dan celana jeans yang ia kenakan, semakin membuat siapapun yang melihat Ana akan menyangka bahwa dirinya adalah seorang pria tulen.
Ana bukannya tak mau berdandan ataupun memakai gincu seperti kaum hawa pada umumnya. Ia tahu betul, itu adalah perbuatan yang sia-sia. Orang-orang akan tetap saja melihatnya sebagai seorang pria yang menyamar menjadi wanita.
Ana mengembuskan napas panjang. Setidaknya hal itu tak akan berlangsung lama. Sebentar lagi dirinya akan menjalani operasi. Sesuatu yang sudah ia nantikan sejak dulu. Uang tabungannya sudah cukup untuk biaya operasi dan perawatan pasca-operasi.
Bambang juga sudah mengatakan bahwa ia akan membantu Ana mengurus semua keperluannya, termasuk dalam masalah administrasi. Bahkan dua hari sebelum keberangkatannya ke ibu kota, dengan bantuan Bambang, Ana sudah menandatangani surat pernyataan dari rumah sakit, bahwa ia setuju untuk melakukan operasi dengan segala resikonya.
Akhirnya sebentar lagi ... sebentar lagi semua mimpi buruk ini akan segera berakhir.
Ana mengelus foto Bambang yang ada di dalam dompet. Pria ini sudah menemaninya selama dua tahun terakhir. Bambang adalah satu-satunya lelaki yang sanggup mencintai dirinya apa adanya, tanpa sedikitpun mengeluh tentang kondisi fisik Ana yang berbeda. Setelah dirinya operasi, Bambang berjanji akan menikahinya.
Hal itu membuat Ana yakin, bahwa Bambang lah cinta sejatinya ....
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam dari bandara, taxi bercat biru yang ditumpangi Ana akhirnya berhenti tepat di depan sebuah ruko berlantai tiga. Dibantu oleh supir taxi, ia mengambil koper dari dalam bagasi. Dirinya baru saja hendak menarik koper hitam itu masuk ke dalam ruko, tapi sesuatu yang aneh menghentikan langkahnya.
Ana berdiri mematung sambil menatap papan nama besar yang terpasang di bagian depan ruko dengan cat berwarna biru muda. Hatinya gelisah saat membaca papan nama bertuliskan "Salon Kenanga" itu.
Ana mencengkeram gagang kopernya dengan perasaan tak menentu. Ia ingat betul satu minggu lalu papan yang tergantung kokoh di sana masih berukirkan namanya. "Salon Ana". Tetapi kenapa sekarang salon miliknya tiba-tiba sudah berganti nama?
Dengan raut wajah kebingungan dan penasaran, Ana menyeret kopernya masuk melewati pintu kaca yang terbuka. Ia menyapukan pandangan ke setiap sudut salon itu. Dahi Ana seketika berkerut. Keadaan di bagian dalam salon ini jelas jauh berbeda dari saat terakhir kali ia tinggalkan.
Di tengah kebingungannya itu, seorang wanita muda dengan rambut panjang dan tubuh molek, datang menghampiri Ana dengan penuh senyuman.
"Selamat datang di Salon Kenanga," ucap wanita itu dengan ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"
Ana tidak menjawab. Ia memandangi wanita berkemeja ungu itu dari atas sampai bawah. "Maaf, anda siapa?" tanya Ana sopan.
"Saya pemilik salon ini," jawab wanita berambut keriting itu tetap ramah, meskipun wajahnya mulai menampakkan sedikit keheranan.
"Pemilik salon ini?" tanya Ana dengan mata terbelalak. Kepalanya menggeleng cepat. "Nggak. Nggak mungkin. Ruko ini adalah peninggalan orang tuaku. Salon ini juga aku yang merintisnya sejak tujuh tahun lalu. Bagaimana mungkin bisa berpindah tangan secepat itu?"
Tak jauh berbeda dengan Ana, wanita itu juga terlihat kaget. Tanpa bicara, ia berlari masuk ke balik tirai, dan kembali dengan sebuah map hijau di tangannya.
"Silahkan lihat surat ini. Disini tertulis jelas kalau aku sudah sah membeli ruko ini lima hari lalu."
Mendengar penjelasan itu, Ana cepat-cepat memeriksa lembaran dokumen yang ada di dalam map hijau. Ia baca satu per satu huruf di sana dengan teliti. Memastikan apakah dokumen yang diberikan wanita itu benar-benar asli.
"Silahkan kamu baca sendiri. Jelas-jelas saya sudah membeli ruko ini secara tunai dari Pak Bambang."
"Dari ... siapa?" tanya Ana dengan wajah pucat.
"Bambang."
"Maksudnya Mas Bambang menjual ruko ini beserta isinya kepada Mbak?"
"Iya. Kalau nggak percaya silahkan hubungi Pak Bambangnya langsung."
Mendengar penjelasan wanita berambut cokelat itu, sekujur kaki Ana serasa lemas seolah tak bertulang. Terjawab sudah pertanyaan kenapa pria itu tak bisa dihubungi dan tidak datang menjemput dirinya di bandara. Ternyata, ada hal keji yang diam-diam sudah dilakukannya.
Mata Ana tampak berkaca-kaca. Wajahnya bertambah pucat seputih mayat. Mas Bambang! Benarkah pria yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun itu telah tega menghianatinya?
Dengan pikiran kacau, Ana pergi meninggalkan salon itu dan segera menuju rumah kontrakan Bambang yang hanya berjarak satu kilometer dari salonnya.
Hatinya masih sulit untuk percaya dengan semua yang telah terjadi. Namun surat-surat dalam map hijau itu berkata sebaliknya. Dokumen itu jelas-jelas telah menjadi bukti bahwa pria yang sangat dicintainya itu telah menusuknya dari belakang.
Setibanya di rumah kontrakan Bambang, tanpa banyak bicara Ana segera masuk ke dalam rumah yang memang dalam keadaan tidak dikunci. Ia segera menerobos masuk dan menemukan pria itu sedang berada di dalam kamar.
"Mas Bambang! Kamu mau kemana?" jerit Ana saat melihat Bambang sudah siap pergi dengan membawa dua buah koper besar. "Jelaskan. Apa benar Mas yang sudah menjual ruko peninggalan orang tuaku?"
Di luar dugaan, Bambang malah tersenyum sinis. Ia tidak terlihat panik sama sekali dengan kedatangan Ana. Di wajahnya yang dulu penuh kasih sayang, kini tersungging senyuman jahat.
"Ya. Memang aku yang sudah menjualnya," jawab Bambang dengan raut wajah tanpa dosa.
"Teganya kamu!" Ana mendorong Bambang sekuat tenaga hingga tubuh pria itu membentur lemari kayu di sudut kamar. "Kenapa? Kenapa kamu tega melakukan hal ini? Apa salahku sama kamu, Mas?"
"Salah kamu cuma satu, An. Kesalahan terbesarmu adalah ... percaya padaku," jawab Bambang dengan tawa tanpa penyesalan.
"Asal kamu tahu. Berkas yang kamu tanda tangani sebelum pergi, bukanlah berkas dari rumah sakit untuk pengajuan operasi. Itu hanya akal-akalanku untuk bisa mendapatkan tanda tanganmu. Dan dengan ditambah satu materai saja, aku sudah bisa menjalankan rencanaku untuk menjual rukomu yang berharga beserta isinya. Mulai detik ini, kamu sudah resmi menjadi gelandangan."
"Dasar kurang ajar!"
Tangan Ana bergerak untuk menampar Bambang, tapi sayangnya mampu di tahan oleh pria itu. Bambang kemudian balik mendorong Ana hingga terjatuh ke lantai.
Bukannya iba melihat kondisi Ana, Bambang malah sibuk menarik kedua kopernya keluar dari kamar.
Ana berlari mengejar Bambang meskipun tubuhnya masih sakit karena membentur lantai. Di depan pintu kamar, ia menggenggam erat tangan kanan Bambang, mencoba menahan pria itu agar tidak pergi.
"Mas, aku mohon jangan tinggalin aku. Kamu bilang kita akan menikah setelah aku operasi."
"Menikah? Kamu pikir aku mau menikah sama wanita jadi-jadian macam kamu? Aku bilang begitu hanya untuk mengambil alih harta kamu. Sebelum berpikir untuk menikah, coba kamu lihat diri kamu sendiri! Bahkan meskipun sudah operasi, kamu akan tetap jadi wanita yang menjijikkan. Lagi pula memangnya, darimana kamu akan punya uang untuk operasi? Karena seluruh uang tabunganmu juga sudah aku kuras habis."
"B**ingan kamu, Mas. Aku akan laporkan kamu ke polisi," ancam Ana dengan nada berapi-api.
"Silahkan saja," ucap Bambang tanpa rasa takut. "Semua bukti sudah aku musnahkan. Semua air matamu nggak akan mampu menjebloskan aku ke dalam penjara."
Tanpa ampun, Bambang menendang tubuh Ana, hingga kepalanya membentur lantai yang berlapis keramik. Ana meringis pelan sambil memegang dahinya yang kini terasa amat sakit.
Tanpa sedikitpun belas kasihan, Bambang berlalu pergi menuju sebuah mobil keluaran Toyota, yang terparkir tak jauh dari rumah kontrakannya. Dengan cekatan ia memasukkan koper-koper miliknya ke dalam bagasi.
Ana tertatih-tatih berjalan keluar dari rumah kontrakan Bambang dengan kening yang mulai meneteskan darah. Dengan tenaga yang masih tersisa , Ana berlari mengejar Bambang yang sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.
"Mas, mau kamu bawa kemana mobilku?" pekik Ana sambil memukul-mukul kaca bagian kanan mobil.
Namun tentu saja, Bambang tak akan menggubrisnya. Pria itu malah menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan kencang, membuat Ana kembali jatuh tersungkur di tanah yang dipenuhi bebatuan.
Ana kembali meringis melihat kedua siku dan lututnya yang juga mengeluarkan darah. Namun semua itu tak sebanding dengan luka yang ada di hatinya. Tak pernah sedetik pun terpikir, pria yang telah bersamanya selama dua tahun terakhir, tega berbuat hal sekeji ini.
Ana memandangi kumpulan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Tak ada satupun dari mereka yang mau mengulurkan tangan untuk membantu. Seolah hal yang baru saja terjadi pada Ana, tak lebih dari sekedar tontonan drama di layar kaca.
Dengan sisa kekuatan dan harga dirinya yang masih tersisa, Ana bangkit dan menyeret koper miliknya menjauh dari sana. Kedua kakinya terus melangkah, meski tanpa tau kemana arah tujuan. Seolah sudah memasrahkan diri mengikuti kemana angin malam akan membawanya pergi.
Mulai detik ini, semua hal miliknya telah lenyap. Ia menjadi gelandangan, tak lagi punya tabungan, apalagi pekerjaan. Dunia yang ia bangun selama bertahun-tahun telah hancur dalam sekejap mata, karena kecerobohannya yang telah setia dan percaya pada orang yang salah.
Cinta dan ketulusan hatinya telah disalahgunakan oleh orang yang tak punya nurani dan tak bertanggung jawab. Kini, ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Hidup sebatang kara, tanpa orang tua dan sanak saudara. Tak punya tempat mengadu, atau rumah untuk kembali pulang.
Lapor polisi pun tak ada gunanya. Ia tak punya bukti apapun untuk menjebloskan Bambang ke balik jeruji besi. Pria itu terlalu licik untuk bisa dikalahkan.
Ana mengutuk dirinya sendiri. Betapa bodohnya ia telah percaya dengan begitu mudah pada rayuan buaya. Dua tahun kebersamaan mereka, adalah waktu yang lebih dari cukup bagi Bambang untuk menyusun rencana jahatnya.
Ana menyeret koper dengan mata yang menerawang jauh. Pikirannya kosong. Air matanya sudah kering. Rasa sakit yang terlalu dalam membuatnya bahkan tak mampu lagi untuk menangis. Penghianatan Bambang telah menimbulkan begitu banyak luka, baik fisik maupun batin.
Luka yang mungkin tak akan pernah bisa disembuhkan ....
Ana duduk di trotoar jalanan yang sepi nan temaram. Kakinya seakan semakin berat untuk berjalan, karena beban di hatinya yang sudah tak mampu lagi untuk ditahan.
Sayup-sayup di tengah rasa sedihnya, Ana mendengar suara tangisan. Ia menatap sekelilingnya. Sunyi. Tak ada siapapun di sana selain dirinya. Melihat jalanan yang kosong, Ana pun mulai ragu dengan suara yang ia dengar. Mungkin dirinya sudah mulai berhalusinasi.
Dengan wajah lelah, Ana mencoba untuk bangkit berdiri. Lagi. Suara tangisan itu terdengar lebih nyaring. Kali ini ia mulai yakin bahwa itu bukan sekedar khayalan belaka.
Dengan pelan, Ana mendekat ke arah sumber suara. Ternyata tangisan itu berasal dari sebuah tempat sampah yang berada di ujung jalan.
Perhatian Ana tertuju pada sebuah kardus yang sekilas tampak mencurigakan. Ia mendekatkan kepalanya untuk memeriksa apa gerangan yang tersimpan di dalam sana. Ana hampir saja menjerit histeris saat melihat sebuah bayi mungil berbaring di dalam kardus. Jika dilihat dari kulit tubuhnya yang masih keriput, bayi ini pastilah baru beberapa jam dilahirkan.
Tanpa pikir panjang Ana membuka kopernya, lalu mengambil sebuah handuk tebal berwarna merah. Ia lilitkan handuk itu ke tubuh si bayi malang yang kedinginan. Ana mengusap kepala bocah itu yang ternyata sudah dikerubuti semut.
"Bayinya laki-laki. Kasihan. Dia pasti lapar," gumam Ana sambil menimang-nimang si bayi agar ia diam.
Seolah melupakan masalah besar yang sedang menimpa dirinya, Ana berlari menuju ke klinik terdekat untuk mengecek keadaan malaikat kecil itu.
Sesampainya di klinik, bayi itu pun langsung di ambil perawat dan diberikan susu formula. Wajahnya yang mungil dan kemerahan, mampu membuat Ana terpikat.
Entah siapa yang sudah tega membuang bayi lucu ini di tempat sampah. Hingga sampai hati membuatnya kedinginan dan digigit semut-semut merah.
"Dimana Bapak menemukan bayi ini?" tanya suster sambil menatap Ana.
Ana terdiam. Ia memang sudah terbiasa jika orang-orang mengira dirinya lelaki. Namun tentu saja, hal itu tetap menyakiti hatinya.
"Saya temukan di tempat sampah," jawab Ana seraya mengelus lembut rambut sang bayi yang hitam lebat.
Ana mendadak terkesiap saat jari-jemari mungil bayi itu menggenggam telunjuknya dengan erat. Untuk pertama kali, bayi itu tersenyum padanya.
"Terima kasih sudah mengantarkan bayi ini kemari. Kami akan mencoba mencarikan orang tua untuk adopsi."
"Adopsi?" Mata Ana mengerjap. Kemudian ditatapnya wajah bayi tak berdosa itu tanpa kedip. Bagaimana jika dia ....
"Maaf, Suster. Apa boleh kalau aku yang mengadopsinya?" pinta Ana dengan penuh harap.
Mendengar permintaan Ana, suster bertag-name Dina itu terlihat ragu. Ia memandangi Ana dari kepala sampai kaki. "Boleh. Asalkan Bapak sungguh-sungguh mau merawatnya. Karena mengadopsi anak tidak hanya sehari dua hari. Bapak juga harus bertanggung jawab dengan masa depannya."
"Iya, Suster. Aku memang bukan orang kaya, tapi aku janji akan membahagiakannya," ucap Ana bersungguh-sungguh.
Ketulusan hati Ana yang terpancar dari matanya, membuat suster itu tersentuh. Ia pun memberikan kembali bayi itu pada Ana. Membiarkan sang bayi terlelap di pelukan orang tua barunya.
"Bapak akan beri nama siapa?" tanya Suster Dina lalu mengelus pipi si bayi.
"Rizki. Namanya Rizki. Karena dia adalah rezeki yang diberikan Allah saat aku tidak memiliki apa-apa. Hari ini aku kehilangan seluruh hartaku, tapi Allah telah menggantinya dengan harta yang lebih besar," ujar Ana sambil mencium kening Rizky dengan penuh kasih.
Seakan mengerti apa yang dikatakan Ana, bayi mungil yang masih terpejam itu kembali tersenyum.
Takdir Allah yang luar biasa, telah mempertemukan keduanya. Seakan menjadi bukti bahwa menjadi orang tua tak selalu harus dengan ikatan darah.
"Rizki, aku tahu betul rasa sakitnya ditinggalkan. Karena itu aku janji, aku tak akan pernah biarkan kamu merasakan hal yang sama."
πππ Afrilia_Athaaraπππ
Bunda Ana duduk di atas sajadahnya di sepertiga malam sambil terus berzikir. Air matanya tak henti mengalir saat mengingat kejadian pilu yang menimpanya tiga belas tahun lalu.
Meski peristiwa itu sudah terjadi belasan tahun silam, tapi rasa sakitnya tetap terasa sampai sekarang. Tak dapat dipungkiri, ia masih sangat trauma dengan kebaikan yang diberikan oleh para kaum adam.
Bunda Ana menatap layar ponselnya dengan hati bergetar. Sebuah pekerjaan yang diberikan sahabatnya, Sarah, via telpon tadi malam terdengar menggiurkan. Ia ditawarkan gaji dengan nilai dua kali lebih besar dari rata-rata penghasilannya setiap bulan.
Haruskah ia pindah? Haruskah ia membawa Kiki ke tempat baru? Jauh dari orang-orang yang benci padanya. Jauh dari orang-orang yang tak akan bisa menerima mereka.
Bunda Ana menggenggam tasbihnya. Kali ini, ia tak akan ragu lagi. Pekerjaan baru itu mampu memperbaiki keadaan ekonomi mereka. Membuat kondisi keuangan mereka akan semakin membaik.
Dalam hati Bunda Ana, sudah tak ada lagi sedikitpun keinginan untuk operasi. Ia sudah mengabdikan dirinya untuk membesarkan Kiki. Keinginan pribadinya itu kini sudah tak penting lagi.
Bunda Ana masuk ke kamar Rizki tanpa suara. Dielusnya kening bocah itu sambil melafalkan Al-Fatihah. Mencurahkan semua doa dan harapan yang ia punya untuk sang putra.
"Bunda doakan kamu bisa jadi arsitek sesuai keinginanmu, Nak. Tapi jangan hanya gunakan ilmumu untuk membangun gedung bertingkat. Bangunlah peradabannya juga. Agar kita tak lagi dihina. Agar orang-orang yang terlahir seperti Bunda bisa diterima."
Bunda Ana kembali terisak. Ia menahan suara tangisnya agar jangan sampai didengar Rizki. Terbayang lagi ingatan masa kecilnya yang tak pernah indah. Tiada hari tanpa bersembunyi dari orang-orang yang menganggapnya monster.
Bunda Ana mengecup kening Kiki. Air matanya ikut menetes di dahi anak laki-laki itu.
"Bunda akan lakukan apapun agar masa lalu itu tidak terjadi padamu, Nak. Juga sebagai bukti cinta Bunda padamu yang tulus tanpa mengharap imbalan."
πππ Afrilia_Athaaraπππ
Bunda ....
Engkaulah muara kasih dan sayang
Apapun pasti kau lakukan
Demi anakmu yang tersayang
Bunda ....
Tak pernah kau berharap budi balasan
Atas apa yang kau lakukan
Untuk diriku yang kau sayang
Saat diriku dekat dalam sentuhan
Peluk kasihmu dan sayang
Saat ku jauh dari jangkauan
Doa mu kau sertakan
(Erie Susan - Muara Kasih Bunda)
πππ Afrilia_Athaaraπππ
Part ini aku persembahkan untuk Bundaku, dan Bunda-Bunda hebat di luar sana, yang telah berjuang membesarkan putra-putrinya tanpa mengharapkan balasan.
Kasih Ayah tak bersyarat ....
Kasih Bunda sepanjang hayat ....
πππ