PERANG DINGIN

Jangan lupa tinggalkan komen, ada give away koin emas bagi kalian yang rajin komen. Happy reading!

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 5

Tiba-tiba saja Manda berada di sampingku. Menjejeri langkahku. Dia tersenyum sinis. Hati kian hancur dengan tingkahnya.

"Ngapain ke sini? Mau ngelawak? Jangan kebanyakan pura-pura. Nanti Mama gila," bisik Amanda di telinga.

Dia melengang begitu saja, lambain tangan dengan senyum sarkas menghiasi bibirnya. Langkahku terhenti, tangan terkepal. Bukan karena emosi, tapi lukaku dipercikkan alkohol yang membuatnya semakin perih.

"Manda kenapa, Cassie?" selidik Beny. Netranya mengikuti langkah Manda yang beberapa kali melihat ke belakang.

Aku mengendikkan bahu, malas berbicara. Detak jantung tak normal. Gemuruh di dada membuatku kesulitan berjalan.

Kuhembus napas kasar, kaki mulai menginjak karpet merah yang dibentangkan dari pintu masuk, hingga mendekati kursi yang sudah dipersiapkan khusus untukku.

Berjalan senormal mungkin, aku melambaikan tangan ke arah penghuni ruangan. kilatan cahaya berasal dari ratusan ponsel menyambar wajahku. Menyungingkan senyum penuh kepalsuan.

Langkahku berhenti di dekat Manda. Mengamati putriku lekat. Beny terlebih dulu melangkah ke depan.

"Manda, apa gue bilang, loe mirip banget sama Cassie. Bak pinang di belah dua," celoteh anak perempuan di samping Manda.

"Mirip dari mananya? punya mata di pake, emangnya dia nyokap gue? Bukan kali, amit-amit juga punya nyokap model dia," ketus Manda.

Ucapan Manda telalu kejam, sampai kawannya menutup mulut dengan kedua tangannya. Meminta maaf atas kelakuan Manda. Dia memberitahukanku satu hal yang membuatku tak fokus. Amanda-sahabatnya membenci Mamanya. Anak perempuan itu sampai membungkukkan badan, merasa tak enak dengan kelakuan Manda.

"Miss Cassandra Elmira, silahkan duduk ditempat yang telah disediakan!"

Aku mengalihkan pandangan ke sumber suara. Berusaha menata hati, agar tangis tak luruh di depan khalayak ramai.

Beny menarik kursi untukku. Tak kupungkiri tubuhku bergetar hebat. Keringat memenuhi wajah. Menahan emosi itu berat. Perlu diketahui, sedih, bahagia, marah, itu semua merupakan bagian dari bentuk emosi jiwa. Jadi jangan berangapan, jika sudah mendengar kata emosi, hanya berkaitan dengan kemarahan.

Beny menyodorkan sebotol air mineral untukku. Tak terasa setengah botol habis dalam sekali tegukan. Sisi feminimku tak terlihat. Susah mengatur diri. Beny mengelengkan kepala ke arahku. Aku tahu maksudnya, memintaku tetap profesional di tengah kegaduhan hati dan jiwa.

MC memberikan kesempatan untuk berbicara. Semua susunan kalimat di kepala berantakan tak tentu arah. Kuusap wajah frustasi. Penampilanku sangat buruk hari ini. Aku yakin Edward akan memarahiku.

Amanda duduk di kursi paling depan. Menatapku remeh, menyilangkan kedua kakinya sambil tangan bersedekap atas dadanya.

Ayo, Cassie! Aku menyemagati diri sendiri. Hanya satu jam, lewati ini dengan baik. Aku mendoktrin diri.

"Cassie, ayo bicara, jangan diam," ucap Beny geram. Jemarinya mencubit pahaku.

Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju ke tengah panggung. Aku mulai berbicara tentang kehidupan.

Suka atau tidak, cobaan atau masalah akan selalu datang sepanjang hidup. Setiap orang pun pasti memiliki masalah sendiri-sendiri. Bedanya, tidak semua orang dapat menghadapi dan memecahkan masalah dengan kepala dingin. Ketika cobaan dalam hidup  datang bertubi-tubi tanpa kenal ampun, jangan dulu menyerah. Cobalah lakukan cara menghadapi masalah yang tepat, agar beban di pundak kita terasa lebih ringan dan kita bisa bernapas lebih lega.

Aku mengeluarkan semua kalimat di kepala, meski terkadang terjeda. Sangat buruk, penampilan terburuk sepanjang sejarah karierku.

Kaca-kaca mulai terbentuk, aku berhasil membuat orang termotivasi dengan kata-kataku. Namun, aku sang pemilik kata, terkubur dalam kelukaan.

Sekarang tiba sesi tanya jawab. MC memandu siswa yang akan bertanya padaku. Aku memilih duduk, tak kuasa berdiri. Tungkai terlalu lemah untuk menompang berat badanku.

"Bagaimana caranya kita menghadapi masalah?" tanya seorang siswa.

Terlebih dulu, aku menyapanya. Sembari mempersiapkan jawaban terbaik untuk diberikan kepadanya.

"Saat dihadapkan pada masalah, sering kali kita tidak bisa berpikir jernih karena dikuasai oleh emosi yang meledak-ledak, baik itu emosi kemarahan maupun rasa sedih yang terlalu dalam. Jika sedang merasakan demikian, miss akan membagi tips cara menghadapi masalah yang bisa kita lakukan.

"Pertama, terima kenyataan pahit yang mendera dengan hati lapang. Kedua, tetap tenang, yakin lah semua permasalahan akan ada penyelesaiannya. Ketiga, cari akar permasalahannya, sehingga kita mudah mencari penyelesaian. Keempat, selesaikan satu persatu. Kelima, mintalah bantuan orang lain, jika kita merasa tidak mampu untuk menyelesaikan sendiri. Terakhir yang paling penting jangan lupa bersyukur atas segala anugerah Sang Pencipta."

Tepuk tangan bergema memenuhi seluruh penjuru ruangan. Mereka puas dengan jawaban yang kuberikan hanya Manda terlihat mencibir dengan senyum sinis tak suka terhadapku. Harus profesional, tidak melibatkan pekerjaan dengan urusan pribadi.

Tiba-tiba Manda berdiri dan mengancungkan tangan tinggi-tinggi. Gemuruh hati kian dahsyat.

Panitia acara memberi Manda mikrofon. Aku menatapnya dengan penuh harap. Jangan sampai, dia mengacaukan hariku. Tatapan memelas kuarahkan padanya. Manda tersenyum, tunggu, itu bukan senyum, tapi seringai menakutkan.

"Apa yang Anda lakukan, jika orang tua Anda tidak mau mengakui Anda sebagai anak dengan alasan nggak jelas, bahkan terkesan di buat-buat?" Dadaku seperti tertindih dunia beserta isinya. Napas tercekat, kesadaranku hendak pergi.

"Amanda, maaf, pertanyaannya bisa diganti?" Mc bersuara. Semua mata tertuju pada Manda.

"Memangnya ada yang salah dengan pertanyaan saya? Pertanyaan saya bagus, lho! Miss Cassandra Elmira bisa memberikan semangat atau motivasi untuk anak-anak bernasib sama dengan anak yang ada dipertanyaan saya." Amanda sangat lantang berbicara di hadapan khalayak ramai.

"Cassie, jawab saja," bisik Beny. Dia sibuk mengipas dirinya dengan kipas kecil yang selalu dia bawa. Seakan menjadi benda wajib yang tidak boleh ketinggalan.

"Baik, miss akan menjawabnya." Suasana yang sempat tegang mencair dengan tepuk tangan yang bersahut-sahutan.

"Hal pertama yang saya lakukan adalah mendengar ucapan orang tua saya. Saya yakin, ketika mereka melakukan sesuatu hal ada alasan jelas yang bisa mereka pertanggung jawabkan. Saya akan melihat sejauh mana perjuangan orang tua membesarkan saya. Apa lagi, jika singgle parent. Mereka merangkap jabatannya mencari uang dan mendidik anaknya seorang diri. Seharusnya kita sebagai anak bisa menyadari, posisi kita. Kita hanya perlu melakukan kewajiban kita terhadap orang tua kita. Tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya. Kecuali, orang tua yang mengalami ganguan jiwa. Terkadang, walaupun gila, mereka masih mengingat anak mereka. Binatang tidak punya akal memiliki naluri keibuan, apalagi manusia yang dilengkapi dengan pikiran. Intinya, pahami dan cari tahu alasan sebenarnya orang tua kita melakukannya. Jangan langsung menghakimi atau memvonis orang tua kita tanpa mau tahu alasan sebenarnya. Apa lagi melampiaskan pada hal-hal negatif. Karena, kita sendiri yang akan rugi." Tepuk tangan kembali bergema.

"Anda hanya berbicara, bukankah praktik tidak semudah teori?"

"Iya, tepat! Kamu pintar, praktik tidak semudah teori. Namun tidak salah, jika mencoba. Jangan suka menuntut orang lain sempurna, jika kita belum bisa menjadi sempurna untuk mereka."

"Itu semua hanya lelucon. Saya yakin, meski Anda pandai berbicara. Hidup Anda tidak semulus apa yang Anda pertontonkan," ucap Manda. Ucapannya menohok tepat di ulu hati.

"Tolong panitia acara, ambil mikrofon dari tangan Amanda!"

"Tidak perlu! Biarkan dia berbicara," sanggahku.

"Jangan terlalu membenci sesuatu yang belum jelas beritanya. Terkadang banyak hati yang terluka untuk sebuah senyum dibibir kita. Daripada sibuk menghakimi mereka yang kita tuduh tak beretika. Lebih baik, perbaiki diri untuk menunjukkan bahwa kita pantas untuk diakui."

"Miss Cassie hebat! Tepuk tangan dan siulan bergema.

Amanda berlari keluar ruangan. Aku tahu, dia rapuh. Beberapa menit setelah Amanda keluar. Aku permisi keluar. Acara dilanjutkan kembali.

Aku melangkah mencari Amanda, mataku memindai setiap lorong yang kulalui. Amanda terlihat duduk di ujung taman sekolah. Segera mendekat, hati tercabik menemui kenyataan ini.

"Kenapa kamu kesini? Pergi jauh! Kamu nggak mau kedokmu terbongkar, 'kan? Maka dari itu menjauh dariku," desis Manda pelan.

"Sampai kapan kamu akan seperti ini?

"Sampai kamu akan mengakuiku, Miss Cassie terhormat."

Bersambung