Barang-barang Menjijikkan

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 2

"Kalau Mama menyayangiku, Mama tidak akan menyembunyikan statusku di hadapan publik. Jadi ... cukup! Keluar dari kamarku Miss Cassandra Elmira. Kamu bukan Mamaku, karena statusmu gadis di hadapan publik." Setiap kalimat yang keluar dari mulut Amanda membuat sebongkah daging lunak dalam dada menjerit terluka.

"Stop! Manda, kita sudah beberapa kali membicarakan ini. Kamu tahu posisi Mama. Mama mencari uang untuk membiayai hidup kamu. Mama ingin kamu hidup layaknya anak lain. Come on, Manda! Mengerti posisi Mama," pintaku pelan.

Kulangkahkan kaki untuk mendekat. Tubuhnya bergetar, dia terisak. Lara ... ya lara, bersarang di bola mata indahnya.

"Manda tidak hanya perlu uang. Manda perlu pengakuan! Manda perlu diakui sebagai anak Mama. Manda muak dengan drama yang Mama ciptakan di luar sana. Manda benci Mama, kenapa Manda harus lahir dari wanita seperti Mama!" Jeritnya tanpa peduli hatiku terus tergores dengan setiap kalimat yang keluar dari balik bibir indahnya.

"Non Manda!" Pekik Bik Jum yang tiba-tiba berada di belakangku.

Manda berlari memeluk Bik Jum. Dia terlihat lebih nyaman dengan pembantunya daripada denganku. Hati semakin berderit pilu, mengajak jiwa terluka bersamanya.

"Usir wanita itu, Bi," ucap Manda di sela isak tangisnya.

Tubuhku bersandar pada dinding. Kesadaran seakan hilang, disaat semua kepalsuan membalut diriku. Hanya Manda kenyataan yang membuatku bertahan hidup. Namun sekarang, Manda mulai membangkang.

"Non, Bibi tidak pernah mengajarkan untuk bersikap kasar pada Mamanya Non. Bibi tidak suka Non bersikap kasar pada Mama. Dia yang melahirkan Non dan membesarkan Non sampai sekarang ini," jelas Bik Jum pada Manda yang terus saja menangis histeris.

Bik Jum melepas pelukan Manda. Berjalan ke arahku. Wanita yang setia menemaniku sudah kuanggap keluarga sendiri. Membungkukkan tubuhnya mendekat ke arah tubuhku yang tertunduk di lantai.

"Nyonya, lebih baik Nyonya keluar dulu. Tunggu Non Manda tenang. Kasian dia, kalau dia sudah tenang, kita bicarakan hal ini," bisik Bik Jum di telingaku.

Bik Jum membantuku berdiri. Tungkai masih lemah menampung tubuh yang tak seberapa. Sorot kebencian jelas terlihat di wajah Manda. Susah payah aku membesarkannya, tapi Mandaku sama sekali tidak mengerti perjuanganku.

Manda berlari menuju kamar mandi. Menyeret langkah berat keluar dari kamarnya. Padahal, aku rindu memeluk tubuhnya.

Menuruni tangga dengan hati hancur berkeping. Beberapa kali menengok ke belakang dengan harapan Manda berlari mengejar. Memeluk dan meminta maaf padaku. Namun, ini tidak terjadi sampai kaki menyentuh lantai dasar rumah.

Kuhempaskan tubuh atas sofa mewah berwarna coklat tua. Pikiran berkelana ke masa silam. Andaikan Mas Chris tidak meninggal, hidupku dan Manda tidak akan seperti ini.

"Mas, aku gagal menjaga anak kita, aku gagal," ujarku seorang diri. Berharap Mas Chris medengar tangisanku. Harapan gila yang tak masuk logika.

Derap langkah membuyarkan lamunan. Bik Jum melangkah mendekat. Matanya sembab, sama sepertiku.

"Bik, kenapa Manda seperti ini?" tanyaku pilu.

Bik Jum tidak menjawab, menjatuhkan bokongnya di sofa kosong di sampingku. Merangkul pundakku pelan. Dia terisak pilu, meminta maaf padaku, dia merasa dirinya gagal mendidik Manda.

Aku menghiburnya, ini bukan salahnya. Mendidik Manda adalah urusanku. Namun, kesibukan membuatku keteteran menjaga Manda. Jadwal syuting dan pemotretan mengharuskanku meninggalkan Manda dalam waktu yang lama.

Hampir sepuluh menit larut dalam tangis. Bik Jum pamit menyiapkan sarapan dan bekal untuk Manda. Aku mencoba berbesar hati, mengalah dan pelan-pelan akan menguak pribadi Manda yang tidak aku kenali lagi.

Manda turun dari atas lengkap dengan seragam sekolahnya. Aku memicingkan mata, roknya berada di atas lutut. Ujung pahanya menyembul keluar. Terpaksa diam, membiarkan dia sekolah dengan tenang.

Dia berdiri sesaat, menatapku jengah. Lalu, berlari keluar. Dia tidak membawa mobil, karena kuncinya masih tergantung rapi.

Bergegas membuntutinya, aku dikejutkan dengan seorang lelaki paruh baya yang berdiri di depan sebuah mobil di depan rumahku. Manda berlari mendekati lelaki itu. Langkahku terhenti, lelaki itu pastinya bukan lelaki biasa.

Memilih mundur, aku masih terikat kontrak dua tahun lagi untuk bebas dari segala jerat kisah masa lalu. Penyamaranku tidak boleh terbongkar sekarang. Tangan terkepal, permainan Manda sudah terlalu jauh.

Aku berlari bergegas menuju kamarnya. Membongkar lemari pribadinya. Aku kembali dikejutkan dengan berbagai model mainan dewasa. Darimana Manda mendapatkan ini semua?

Tidak sampai di situ, beberapa lingerie tersimpan rapi dalam koper berwarna pink kesukaannya. peralatan make up lengkap dan satu tablet pil KB.

Arrrrgghhh! Aku mengerang, hati terasa panas. Berusaha menyangkal dengan kenyataan di depan mata. Gadis luguku berubah mengerikan. Apa yang kurang Manda? Bertanya seorang diri.

Bulir-bulir bening menetes tanpa perintah. Seharusnya di usianya sekarang, dia hanya perlu belajar dan menata masa depan.

Aku butuh jawaban untuk ini semua. Kukumpulkan semua barang menjijikkan itu. Kumasukkan dalam satu koper. Aku tak bisa membiarkan Manda terlalu jauh. Harapanku terlalu besar padanya.

"Nyonya!" Suara Bik Jum mengusik telinga. Terdengar langkah Bik Jum berlari ke arahku.

"Ada apa, Bik?" tanyaku seraya menyeka air mata dengan jemariku.

"Ada telepon dari pihak sekolah. Non Manda bolos sekolah, Nya. Dua bulan ini nilainya drop," ungkap Bibi.

"Bi, kenapa Bibi baru ngomongnya sekarang?" tanyaku sedikit geram. Andaikan aku lebih awal mengetahuinya. Aku lebih cepat bertindak.

Bik Jum menunduk, pihak sekolah baru sekarang memberitahunya. Aku mondar-mandir tak tenang. Segala yang kulakukan serba salah. Aku memilih menunggu Amanda, semua aktivitas di luar aku batalkan.

***
Aku terus mengamati halaman rumah. Hari sudah sore. Namun, Amanda juga belum kembali. Ponselnya juga tidak bisa kuhubungi. Terlalu berat ujian yang harus kulalui.

Setengah jam kemudian, langit mulai berwarna jingga. Mataku menangkap mobil sport mewah berhenti di depan rumah. Lelaki yang berbeda dengan lelaki yang menjemput Manda tadi pagi.

Ada apa dengan kamu, Nak? Aku semakin tak bisa mengatupkan mulutku. Saat tangan manusia tak  bermoral itu meremas bokong Manda. Bukannya marah, Manda malah meberi kecupan di pipi lelaki itu.

Baru saja hendak turun, lelaki itu kembali masuk ke dalam mobil. Manda membuka pintu kamar, berjalan sambil senyam-senyum tak jelas.

"Darimana saja kamu?" tanyaku saat Manda membuka pintu kamarnya.

"Mama kenapa ada di kamarku? Nggak kerja? Bukannya Mama selalu sibuk?" cercanya santai. Meletakkan tas sekolahnya. Lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa di kaki tempat tidurnya.

Aku memdekat, menajamkan indera penciumanku. Aroma parfum lelaki dan rokok menyeruak dari tubuh Manda.

"Apa yang terjadi dengan kamu, Nak? Kenapa kamu bolos sekolah? Siapa lelaki tadi pagi dan lelaki yang barusan mengatar kamu. Apa yang kamu lakukan di belakang Mama?" Aku memberondongnya dengan beberapa pertanyaan sekaligus.

Manda tersenyum sinis, lalu berkata, "mama peduli sama Manda? Manda hanya senang-senang. Mencari hiburan. Manda penat! Butuh sensasi berbeda."

"Sesasi berbeda, dengan melakukan hal-hal tak bermoral seperti ini?!" Aku mengeluarkan semua isi koper yang aku kumpulkan.

"Bukankah buah takkan jatuh jauh dari pohonnya. Stop! Jangan ceramahin Manda kalau Mama saja belum benar," ucapnya diringin gelak tawa.

Hatiku mencelos, Amanda menatapku pongah. Amanda di depanku bukan lagi anak berusia 16 tahun. Dia berubah mengerikan.

Bersambung