Kemana Papaku?

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 3

"Bukankah buah takkan jatuh jauh dari pohonnya. Stop! Jangan ceramahin Manda kalau Mama saja belum benar," ucapnya diringi gelak tawa.

Hatiku mencelos, Amanda menatapku pongah. Amanda di depanku bukan lagi anak berusia 16 tahun. Dia berubah mengerikan.

"Sudahlah, Ma! Jangan terlalu diperkeruh. Kita urus diri kita sendiri-sendiri. Toh, selama ini Mama sibuk dengan dunia Mama. Sekarang, giliran Manda memilih dunia Manda sendiri," ujarnya tanpa rasa bersalah.

Aku tergugu menatap putri kecilku. Kata-katanya meluluh lantakkan duniaku. Mencoba berdamai dengan Manda. Tawaranku ditolak mentah-mentah.

"Mulai hari ini, kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizin Mama. Semua fasilitas yang Mama berikan akan Mama cabut. Sampai kamu sadar kesalahan kamu."

Manda terlihat gusar, bangkit mendekat. Wajahnya terlihat gelisah. Namun, tidak lama hanya sesaat. Lalu dia tersenyum, sedetik kemudian, berubah tertawa seakan tanpa beban.

"Mama pikir aku takut? Mama salah besar. Mama belum tahu, jika uang Manda sangat banyak. Sangat banyak, tapi sayang uang Manda tidak bisa membeli pengakuan Mama untuk mengakui Manda. Padahal, Manda sudah mengorbankan hal berharga Manda untuk mendapatkan uang. Ini semua salah Mama! Salah Mama!"

Manda mulai histeris melempar barang-barang miliknya ke arahku. Aku hanya mampu menepis dan membiarkan barang-barang tersebut mengenai tubuhku. Apakah Mandaku mengidap depresi?

"Manda! Dua tahun lagi, Nak! Tunggu dua tahun lagi. Kamu pikir kamu saja yang menderita. Mama juga menderita, Mama terluka," lirihku dengan derai air mata.

Manda tertawa, memandang sarkas ke arahku. "Jangan Mama janjikan sesuatu yang tak pasti untukku. Manda bukan anak kecil lagi." Manda kembali tenang. Dia meringsek membuka tas sekolahnya.

Detik-detik berikutnya membuatku semakin tidak mengenal putriku. Manda mengambil sebatang rokok, diselipkan di sela jarinya. Dijepit dengan kedua bibirnya. Baru saja dia menyalakan korek. Kurampas paksa rokok dari mulutnya. Kuinjak membabi buta. Gejolak amarah tidak mampu aku kontrol.

"Cukup kamu pertontonkan tindakan amoral kamu di hadapan Mama. Mama kecewa pada kamu ...."

"Alah! Nggak usah sok peduli, Manda sudah hafal gaya Mama. Menjijikkan!"

Plak! Plak!

Tanganku mendarat keras di kedua pipi Manda. Secepat kilat tangannya meraih pipinya yang memerah. Reflek, tanpa sengaja. Emosiku terpancing dengan sikap dan ucapannya.

Plak!

Manda menyerang, tubuhku tersungkur ke lantai. Dia menyeringai, melangkahkan kakinya menjauh dariku.

"Cukup kau membuatku menderita. Bahkan, sampai saat ini, aku tidak mengetahui keberadaan Papaku. Apa jangan-jangan aku anak haram, hingga  kau tidak mau mengakuiku?"

Semua sudah hancur, Manda tidak lagi menghormatiku. Perjuanganku sia-sia. Aku menjerit histeris, menjambak rambut pirang yang selama ini aku banggakan.

"Kita impas! Nggak asyik rasanya dicuekin, 'kan? Makanya nggak usah sok belagu. Sudah tua ngaku gadis. Mama butuh aku bantu untuk berkaca?" Manda menguji kesabaranku. Dadaku naik turun, napas tercekat. Bayang kematian menanti di depan mata.

"Amanda Christoper! Cukup kamu menyudutkan Mama dengan segala opinimu. Mama masih punya hati. Di dalam sini hati bukan batu, Nak! Kalau kamu merasa dewasa, gunakan logika kamu untuk berpikir. Aku berjuang untuk kehidupanmu! Kehidupan yang lebih baik dariku! Namun, sekarang kamu menghancurkan semuanya dengan dalih aku tidak mengakuimu. Tidakkah kamu bersabar dua tahun lagi! Aku memberimu semua fasilitas dan kemewahan. Hanya satu, aku tidak mengakuimu di depan publik. Ini demi kelangsungan hidup kita, Manda!" Emosi lepas begitu saja. Tidak peduli dengan keadaan. Jika Manda mengaku tersiksa, aku juga lebih tersiksa.

"Demi kelangsungan hidup? Bohong! Padahal itu Mama lakukan untuk menunjukkan pada dunia. Jika Mama mampu menaklukkan dunia dan lelaki Mana pun sesuka Mama!"

"Enough! Cukup! Satu hal yang jelas kamu itu anak Mama dengan Papa Chris. Kamu lahir dalam pernikahan sah di mata hukum dan agama. Namun, percayalah pada Mama, keadaan yang membuat kita harus bersabar melalui badai ini bersama-sama."

"Papa Mana? Kalau dia ada, kemana dia sekarang? Kenapa kita harus lari ke Indonesia? Kenapa?" selidiknya. Mata Amanda memerah, tangannya terkepal. Rona merah sarat kebencian terpancar dari wajahnya.

Amanda menunggu jawabanku. Aku mengatakan Papanya sudah meninggal. Namun, lagi-lagi Amanda mengangapku berbual.

Aku tak berani mengungkap blak-blakan kisah suram masa laluku. Aku ingin, cukup hatiku terluka dan terbeban dengan kisah mengerikan yang aku alami sejak meninggalnya Mas Chris.

"Mama! Jangan berbual pada Manda. Manda tidak ingin mendengarnya! Keluar dari kamar Manda! Cepat!" Amanda menunjuk wajahku kasar. Sangat mengerikan, peluh membanjiri seluruh tubuhku.

"Kita perlu bicara dari hati ke hati. Kita perbaiki semuanya." Mencoba melunak. Aku tak ingin Mandaku terus berbalut kemaksiatan.

"Tidak ada yang salah. Semua baik-baik saja. Aku tidak menganggu urusanmu. Jadi ... tolong jangan sok sibuk mengurusku," ketusnya dengan nada sombong. Mengerakkan jemarinya sebagai tanda untukku enyah dari kamarnya.

Aku mengalah, percuma berdebat dengannya. Amunisi kurang, jika terus berdebat dengannya. Amanda sudah mempersiapkan deretan aksara untuk menyerang dan menjatuhkanku.

Melangkah gontai dengan membawa hati yang diliputi lara yang mencekam. Amanda sama sekali tidak peduli dengan hatiku. Kuusap wajah frustasi. Gadis lucu berubah bak serigala yang siap menerkam siapa saja.

Baru beberapa langkah menjauh, Manda menutup pintu keras. Pertanda dia kesal dengan ulahku. Manda mulai menyetel musik dengan keras. Aku hanya mampu tertunduk. Bik Jum datang menenangkanku. Dia memintaku untuk lebih lunak menghadapi Amanda.

Bersambung