Sekolah Manda

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 4

"Cassie!" jerit Beny-asisten pribadiku.

Aku hanya meliriknya malas. Lalu kembali larut dalam pikiranku. Tak ada hal yang paling penting untuk sekarang ini selain Manda.

"Loe kemana saja? Kemarin bos nyariin loe, bikin gue dalam masalah saja," gerutunya tak bisa diam.

Aku memilih menikmati latte di hadapanku. Menyesapnya perlahan. Menikmati sesaat rasa yang memanjakan lidah. Rentetan kalimat dari Beny menambah beban pikiranku.

"Woooiy! Gue ngomong sama loe, lagian loe kenapa mendadak jadi tembok begini?" Beny mengoyangkan tubuhku kasar.

"Manda, Ben," ucapku pelan. Menyebut nama Manda membuat bulir  bening menetes di sudut mata.

"Manda kenapa? Dia sakit?" Kali ini wajah Beny terlihat serius.

Aku mengeleng, terlalu sakit untuk menjelaskan, jika Mandaku belajar menjadi pel*c*r. Kugengam erat gelas di tanganku, lalu kubanting. Pecahan kaca berserakan di lantai. Beny menjerit, tulangnya terlalu lunak untuk menjadi seorang lelaki.

"Cassie, tidak ada hal yang tak bisa dibicarakan baik-baik. Kalau loe gini, gue bisa apa? Masalah loe saja gue nggak tahu." Ucapan Beny benar adanya. Namun, aku butuh pelampiasan meluapkan beban hati.

"Ben, gue lelah berpura-pura. Manda perlu pengakuan. Gue bukan gadis, tapi emak-emak anak satu. Gue nggak tahan lagi," lirihku. Kepalaku kujatuhkan atas meja di hadapanku.

Beny mengusap pundakku lembut. Dia terdiam, jenak-jenak kebisuan tercipta di antara kami. Kamar apartemen ini menjadi saksi perjuanganku selama 15 tahun dalam membesarkan Amanda. Perjuangan penuh derai air mata dan rasa sakit. Harga diri palsu diagungkan, pada dasarnya wanita sepertiku tak memiliki harga diri. Patuh pada perintah gila, demi uang semata.

"Cassie, gue tahu beban hidup loe. Namun, nggak ada hal yang bisa gue lakuin. Kontrak tertulis dari Bos Edward tak bisa kita batalkan. Bersabarlah dua tahun lagi. Ini semua setara dengan milyaran uang yang dia keluarkan untuk membayar hutan almarhum suami loe-Chris."

Beny mengingatkan kebaikan Edward. Lelaki yang menolongku ketika dikejar para mafia di Belanda. Mereka berniat membunuh Manda kecil yang baru berusia hitungan bulan. Kematian mendadak Mas Chris meninggalkan hutang milyaran rupiah.

Pernikahan di usia muda, kunjungan rutin Mas Chris ke panti asuhan tempatku di tampung membuatnya jatuh cinta padaku. Tanpa mau tahu pekerjaan dan statusnya. Kami menikah, mengikat janji suci.

Entah bagaimana ceritanya, Mas Chris ditemukan tak bernyawa dalam tabrakan mobil. Sampai saat ini, aku masih menyangkal berita kematian tragis suamiku. Kenyakinanku mengatakan  Mas Chris dibunuh. Saat itu, usia Manda baru dua bulan.

"Aku akan membantu kamu, syaratnya kamu harus menjadi modelku selama yang aku mau," tawarnya kala itu. Ditengah kepanikan melanda. Aku mengiyakan ucapannya. Tujuanku satu, Mandaku harus tetap hidup.

Terakhir, Edward memberikanku kontrak 18 tahun masa kerja. Dihitung dari usiaku, masa produktif menurutnya. Tidak ada bantahan, karena aku butuh perlindungan. Hal yang menyakitkan dari syarat yang Edward berikan. Aku harus mengaku gadis. Menyembunyikan status Amanda sebagai putri tunggalku.

Tak cukup sampai disitu, aku harus bersedia menjadi simpanan Edward. Awalnya aku juga dijual ditempat pelacuran international. Tarif sekali main sanggup membangun rumah. Wanita terpilih yang dijajakan oleh orang berpengaruh dan memiliki kekuasaan.

Bergelut dalam dunia kemaksiatan. Sampai lupa pada Sang Pencipta. Bahkan, aku merasa Allah enggan melihat wajahku yang berlumur dosa. Mengumpulkan bara api untuk membakarku di neraka kelak.

"Edward tidak menolong gue, dia menyiksa gue, Ben!" jeritku di sela isak tangis. Hati bak diremas erat. Menyisakan kesakitan yang tak mampu dijabarkan lagi.

"Tak ada yang gratis di dunia ini. Anggap saja kalian impas. Andaikan Edward tidak menolong loe. Mungkin, loe dan Manda tidak pernah bisa selamat dari jerat mafia menakutkan itu."  Beny berbicara tanpa merasakan lara yang menghujam jantung dan jiwa.

"Ini kejam, Ben," desisku kesal.

"Jalani bawa happy, toh loe udah sejauh ini. Untuk apa meratapi lagi. Selama ini loe nyaman. Lagian hubungan loe sama bos nggak ada yang dirugikan. So, tenang!" Beny meninggalkanku. Mulai merapikan baju dan peralatan yang dibutuhkan di lokasi syuting.

"Dulu gue bisa tenang, Ben. Sekarang tidak!" Aku menjatuhkan semua barang di depanku. Frustasi, kata yang cocok untuk mengambarkan diri untuk saat ini.

Beni terdiam di tempat, menatap heran dan penuh tanda tanya terhadapku.

"Gue nggak bisa tenang, kalau Manda ...," ucapku terjeda. Aku enggan mengungkap perihal Manda. Berusaha menarik napas untuk tetap tenang.

"Kalau Manda kenapa? Kalau cerita jangan setengah-setengah, bikin orang kepo aja! Dosa loe!" Beny memasang muka kesal. Sama sekali tidak berpengaruh padaku.

"Lupakan saja." Kukibaskan tangan ke arah Beny. Melangkah menuju kamar mandi. Meninggalkan Beny yang masih penasaran.

****
"Ben, ini sekolah Manda, kita ngapain ke sini?" tanyaku panik. Bagaimana jika Manda melihatku. Perang antara kami akan semakin memanas.

"Iya, ini sekolah Manda, loe ada acara seminar motivasi dan loe sebagai bintang tamu," jawab Beny membungkam mulutku.

"Kenapa loe nggak bilang sebelumnya, ini pemaksaan. Gue nggak mau!" Aku tidak sanggup berdiri di depan Manda. Berpura-pura bijak. Padahal batin putriku terluka oleh karena tingkahku.

"Kalau gue bilang, pasti loe nolak. Ini bagian dari perintah bos, so ... jangan ditolak. Turun dan bersikap biasa saja. Gue yakin Manda akan bahagia melihat loe," tukas Beny. Ingin kuteriakkan, jika anggapan Beny salah. Namun apa daya, hanya tercekat sampai tenggorokan.

Kuraih kaca mata hitam dan masker. Baru pertama kali merasa takut untuk tampil. Suasana terdengar riuh rendah
Suara siswa. Anak-anak berlarian ke sana kemari. Meski, mereka sudah SMA ulah mereka juga tak ubah bak anak SD.

"Buka! Ngapain loe tutup-tutupin," ujar Beny. Tangan gemulainya merebut paksa maskerku.

Kerumunan siswa mulai terbentuk, saat pengeras suara mengucapkan selamat datang kepadaku. Netraku tersembunyi di balik kaca mata hitam. Sibuk mencari keberadaan Amanda. Sampai mata lelah, Amanda tidak terlihat di antara kerumunan siswa.

"Cassie!" Nama tenarku di dengungkan oleh siswa-siswi. Mereka semua mengenalku. Bagaimana tidak, wajahku memenuhi layar kaca dan majalah Indonesia. Kehidupan panggung yang berbanding terbalik dengan kisah hidup di dunia nyata.

Mereka bertepuk tangan menyambutku. Ini semua tak ada artinya. Mereka semua memujaku. Namun, putriku sendiri merendahkanku. Terpaksa berpura-pura tersenyum. Memainkan drama untuk menipu dunia, hingga kewarasanku perlu dipertanyakan.

Siswa dan siswi membubarkan diri, mereka berbondong-bondong memasuki aula. Aku terpaku ditemani semilir angin yang sejak tadi memainkan rambutku. Cuaca lumayan panas, tapi hati dingin bak es di kutub.

Beny beberapa kali menegur. Namun, alam bawah sadar asyik menyelami lara dan luka yang bertahta di hati.

"Cassie!" Beny mencubit pinggangku geram. Aku terlonjak kaget. Dia menarik lenganku mengikuti guru yang mengarahkan kami ke aula.

Tiba-tiba saja Manda berada di sampingku. Menjejeri langkahku. Dia tersenyum sinis. Hati kian hancur dengan tingkahnya.

"Ngapain ke sini? Mau ngelawak? Jangan kebanyakan pura-pura. Nanti Mama gila," bisik Amanda di telinga.

Bersambung