SYARAT KEBEBASAN

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 6

"Cassie!" Teriakan Beny mendayu ditelinga. Dia lebih pantas menjadi wanita.

"Tuh udah dipanggil! Pergi cepat!" Amanda mengibas-ngibaskan tangan di hadapanku. Pura-pura tegar. Padahal aku tahu dia terluka.

"Mama mau ... kita memperbaiki semua dari awal," ungkapku.

"Aku tidak akan mendengarmu, sebelum kamu mengakuiku. Jangan paksa keinginanmu padaku. Jika, kamu belum mampu memenuhi inginku," ucap Manda seraya mengancungkan telunjuk ke arahku.

Sekian kalinya pembicaraan kami tidak terselesaikan. Beny menarikku menjauh dari Manda. Namanya Amanda, tapi aku lebih nyaman memanggilnya Manda.

***
"Permainanmu tak pernah berubah, Sayang, Aku puas," bisik Edward di telingaku. Lelaki yang usianya hampir mendekati angka 50 itu tersenyum puas.

Aku melangkah turun dari ranjang, meraih baju yang berserakan di lantai. Belasan tahun berzina dengannya. Jika ditanya, apakah aku bahagia dan menikmatinya? Jawabannya tidak, aku tersiksa dengan perlakuan Edward.

"Aku ingin berhenti dari ini semua," ungkapku dengan kepala tertunduk. Tak sanggup menatap mata elang Edward.

"Kau bercanda? Kau ingin lepas dariku?" selidiknya.

"Iya, putriku membutuhkan pengakuan dariku," jawabku pelan dan hati-hati. Aku tak sanggup menghadapi kemurkaan Edward yang menyeramkan.

Edward terkekeh, menyisir rambut panjangnya dengan jemari.

"Jangan pura-pura lupa dengan kontrak kerja kita. Kau masih berhutang padaku," ucapnya mengingatkan.

"Aku tahu, biarkan aku membayar hutangku dan lepaskan aku. Aku tak sanggup melihat anakku terluka lebih dalam lagi. Dia butuh diriku di sampingnya." Aku memelas pada Edward.

"Tidak semudah itu Cassandra, namamu besar karena kerja kerasku. Sekarang, kau ingin membuangku begitu saja? Tidak, aku tidak akan membiarkan kau melakukan itu," hardik Edward. Tatapannya dingin bak balok es. Meruntuhkan pertahanan sabarku.

"Tolong Aku! Putriku terjerumus hal tak patut untuk seusianya. Dia tidak mau berhenti sebelum aku mengakuinya di hadapan publik. Tolong aku, Edward!" Nada suara kunaikkan beberapa oktaf. Menatap nyalang ke arah lelaki yang menyelamatkanku, sekaligus menjebakku bertahun-tahun.

Perdebatan alot terjadi. Bukan Edward namanya, jika dia melepaskanku begitu saja. Aku melakukan penawaran dengannya. Tetap menjadi budak s*ksnya. Namun, dia mengizinkanku mengakui Manda di hadapan publik.

Keinginanku ditentang keras. Mengungkap jati diriku yang sebenarnya akan membuat reputasiku dan Edward hancur. Kami akan dianggap melakukan pembohongan publik.

"Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi! Jalani kehidupanmu seperti yang telah kau lewati. Jangan coba-coba melakukan hal yang membuat agencyku malu. Kalau tidak ... Amanda akan menerima akibatnya," ancam Edward.

Aku tersulut emosi, darahku terasa panas. Melangkah mendekati tubuh yang menjulang tinggi di hadapanku.

Kudorong tubuhnya sekuat tenaga. Namun, tubuh Edward tidak bergerak. Aku memaki dan menghujatnya untuk pertama kali. Dia diam seribu bahasa, mendorong tubuhku. Aku serasa melayang di udara. Jatuh ke atas ranjang.

Edward mengeluarkan pistol dari laci nakas. Mengarahkan tepat di kepalaku. Mengancam dan memakiku dengan umpatan.

"Berani kau melawan, Amanda akan menerima akibatnya. Tak perlu risau akan anakmu. Wajar seusianya mendambakan kenikmatan yang sering kita rengkuh bersama. Tak perlu egoislah, biarkan dia dengan dunianya. Kalau perlu, kita jajakan dia. Aku yakin, dia menghasilkan uang yang banyak," celotehnya tak tentu arah. Akibatnya, tanganku mendarat di kedua pipinya.

"Sekali lagi kau berani mengatakan hal yang tidak baik tentang Manda. Aku akan menghabisimu dengan tanganku!" sentakku seraya merebut senjata dari tangan Edward. Kutendang tubuhnya sekuat tenaga.

Edward masih bisa tertawa. Menyuruhku menembaknya. Maka hidupku akan berakhir di penjara. Kamar ini dilengkapi dengan CCTV. Arrghh! Mengumpat dan mencacinya.

Ide gila terlintas, kuarahkan pistol tepat di kepalaku. Tangan bergetar, aku masih takut mati. Tak ada cara lain untuk memperjuangkan hakku.

"Baik, jika kamu rasa dengan menembakmu aku akan dipenjara. Maka lebih baik aku yang mati," ancamku.

"Silahkan! Lakukan jika kau sudah bosan hidup," ketusnya. Edward masih meremehkanku.

Aku melepaskan tembakan ke udara. Suara mengelegar. Atap kamar Edward tertembus timah panas. Edward telihat panik, rasa takut mulai tergambar dari wajahnya.

"Kita akan mati bersama di tempat ini!" Ujung pistol mengarah tepat di jantungnya.

"Ok! Ok! Hentikan! Aku akan melepaskanmu, tapi dengan satu syarat. Pergi dari Indonesia. Jangan ungkapkan jati dirimu di sini!" teriak Edward dengan kedua tangan di atas.

"Aku pegang kata-katamu," ucapku seraya meringsek keluar dari kamar memuakkan ini. Ujung pistol masih mengarah ke arah Edward. Pistol baru kuturunkan, saat pintu kamar kugunci dari luar. Kubanting pistol di depan pintu. Berlari keluar untuk menjauh dari kediaman Edward.

Kulajukan mobil dengan setengah sadar. Tujuanku saat ini mengabarkan berita gembira kepada Manda. Aku akan mengajaknya keluar dari Indonesia. Kami akan memulai hidup baru yang lebih normal. Kesakitan ini akan segera berakhir.

bersambung