Aku termenung, pikiran menerawang seraya memandang langit-langit kamar. Di saat situasi seperti ini aku butuh teman curhat. Seseorang yang bisa mengerti. Aku teringat akan Nella. Dialah teman yang bisa di ajak bicara. Segera kuambil ponsel di meja. Mulai Kuketik pesan sambil tiduran. Aku memintanya untuk datang menemaniku.
Banyak teman menjauh hanya gara-gara pribadiku yang kurang baik. Kembali kulirik ponsel, barang kali ada balasan dari Nella. Kenapa juga tidak di balas-balas. Buka tutup ponsel namun belum di jawab juga. Sampai aku ketiduran menunggu balasannya. Tiga puluh menit kemudian Nella membalas phesanku.
Nella: Kenapa Say? Kamu sakit?
Sita: Datanglah kesini, aku ingin curhat.
Setelah beberapa saat berbalas pesan akhirnya aku mengakhiri WhatsApp kami. Kuletakkan ponsel. Menunggu kedatangan sahabatku itu. Ingin rasanya segera menumpahkan segalanya.
Mataku makin sembab, menangis seharian gara-gara peristiwa semalam. Aku benar-benar jijik pada diriku sendiri. Kenapa bisa tidur dengan orang asing, bahkan namanyapun tidak tahu.
***
“Halo Say kamu dimana?” Kudengar Nella memanggil. Dia sudah datang. Dengan langkah gontai aku keluar kamar menuju ruang depan. “Eh kenapa tuh mata? Kayak habis ditabokin aja!” tanyanya.
Kembali Nella memberondongiku dengan pertanyaan. Aku hanya diam saja. Membalikkan badan menuju kamar. Nella mengikutiku dari belakang menuju kamar. Sampai depan pintu kamar, Nella melihat barang-barang berantakan. Kasur sudah tidak karuan dengan seprai jatuh di lantai. Banyak juga tisu bekas juga berceceran di lantai. Peralatan kosmetik juga berserakan. Sangat kotor sekali, mirip gudang.
“Ya Allah. Say, ini kamar apa kapal pecah?” tanya Nella padaku. ”Ngapain tadi malam? Berantakan sekali.”
Aku hanya diam duduk di tepi ranjang tanpa menjawab pertanyaan Nella.
“Say, Apa yang terjadi?” Nella kembali bertanya, sembari duduk di sampingku.
Kuawali dengan menceritakan apa yang terjadi tadi malam. “Aku hancur!!”Air mataku menetes.
Nella memelukku seakan dia mengerti apa yang aku rasakan. Sahabatku itu menguatkan dengan kata-katanya.
“Dari dulu sudah aku ingatkan jangan terlalu cinta hingga kamu terobsesi dengan Mas Herman,” katanya. “Sebenarnya aku tak pernah setuju dengan tindakanmu. Namun sepertinya cinta telah membutakan. Carilah lelaki single, lupakan dia!”
“Kamu tak tahu apa yang aku rasakan Nel. Sampai kini aku tak pernah tahu siapa bapakku sebenarnya, ibuku yang bekerja di dunia malam tidak pernah mencontohkan perbuatan baik padaku.”
Aku menghela napas, menghentikan ceritaku. Dada ini rasanya sesak, leherku tercekik. Nella menyodorkan segelas air putih. Kuminum beberapa teguk untuk meredakan kering di kerongkonganku.
Bibir ini rasanya kelu tak bisa bicara, jika mengingat masa kelamku saat kanak-kanak hingga kini. Sebenarnya aku rindu akan keluarga yang utuh. Aku rindu akan sosok ayah yang memelukku, menjagaku disaat aku ketakutan, tapi semua itu sia-sia. Tidak pernah kurasakan.
Gemerlap dunia membuat aku harus menghalalkan segala cara, agar semua kebutuhan glamorku terpenuhi. Kupilih laki-laki berduit agar mudah mendapatkan uang. Kupilih suami orang karena aku butuh kasih sayang. Suami orang lebih dewasa dan menantang. Aku tahu dari awal ini salah, tapi kenikmatan itu membutakan semua.
“Say,” Suara Nella membuyarkan lamunanku. “Diajak bicara malah melamun. Kamu dengar gak sih aku bilang apa?” tanyanya.
“Dengar kok Nel,” jawabku terbata karena kaget. Sahabatku menasihati panjang lebar. Menyangkut obsesiku untuk mendapatkan Mas Herman pula. Aku hanya diam tanpa berkata. Pikiran juga ikutan berkecamuk.
“Sudah sana mandi gih! Kita jalan-jalan cari udara segar agar kamu tidak kucel kayak cucian seminggu gini,” katanya sambil mencolekku. “Mana semboyan Sita? Aku, Sita sang penakluk suami orang. Nella menirukan gaya bicaraku sambil tertawa.
Hari ini aku bisa tertawa melihat tingkah sahabatku yang cantik, centil, bawel, tapi baik hati. Hanya dia satu-satunya teman yang tak pernah mengolok-olok karena aku tak punya ayah.
“Buruan mandii!” Nella mendorongku masuk kamar mandi.
Kuhidupkan shower, aliran air membasahi dari ujung rambut sampai kaki. Harum shampo membuatku lebih rileks. Seluruh tubuh kubasuh dengan sabun mandi. Aroma susu dan madu, baunya sungguh menyegarkan. Aku sejenak bisa melupakan kejadian yang memalukan semalam. Bayang-bayang kejadian itu sungguh membuat tersiksa. Tapi setelah kutumpahkan semua keluh kesah dengan Nella sedikit lega. Handuk telah melilit badanku, aku keluar kamar mandi dengan wajah lebih segar, tidak kucel seperti tadi.
“Nah gitukan lumayan tidak bau,” cerocosnya ketika melihat aku keluar kamar mandi. Dia sudah menyiapkan baju yang akan aku pakai keluar dengannya. “Dandan yang cantik, nanti aku ajak kamu shopping, makan-makan, happy pokoknya.”
“Lagi banyak duit kamu?” tanyaku padanya.
“Pakai uangmu lah, mana aku punya uang namanya juga tanggal tua belum gajian.”
“Sialan, kirain kamu ada duit, eh ternyata pakai duitku,” gerutuku.
“Biaya curhat, nemeni jalan-jalan kan butuh duit.” Dia berkata sambil tertawa. Anak satu itu lucunya minta ampun.
“Yuk aku sudah siap nih,” kataku ketika sudah selesai berdandan dan siap untuk diajak jalan-jalan sore ini. Dress terusan mini warna pink, sepatu kets senada, dipadu dengan tas kecil. Aku merasa cantik. Akhirnya kami keluar rumah sore ini. Kami setop taksi menuju ke Mall Anggrek untuk jalan-jalan.
Sejenak aku lupa akan Mas Herman. Jalan-jalan kali ini bikin aku lebih bahagia. Melupakan semua kejadian. Tidak suntuk ataupun berurai air mata. Canda tawa Nella di sampingku membuat nyaman.
“Nah gitu dong tertawa, jadi jeleknya berkurang dikit,”candanya padaku.
“Yeee cantik tahu!” seruku membela diri.
“Ah siapa yang bilang cantik? Aku aja yang cantik diam saja, yang jelek ngaku-ngaku cantik,” kembali dia mengejekku. Kami masuk butik. Setelah kubayar belanjaan di kasir, kami meninggalkan butik langganan. Hari yang penuh keceriaan. Baju yang baru hit di dunia modeling saat ini, flowy dress coklat muda-membuat pemakainya makin seksi dan anggun-telah masuk dalam paperbag.
Puas berbelanja, kami mampir makan di KFC sambil berbincang-bincang. Jalan-jalan kali ini menguras dompet. Untung kemarin dikasih uang Mas Herman. Hutangku dengan Nella juga kubayar, lumayan kemarin dapat bonus bulanan sebagai SPG.
Karena sudah malam, kami akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumahku. Sampai di depan mall kami memesan taksi online. Beberapa menit taksi online yang kami pesan sudah berada di depan kami. Segera kami masuk mobil. Perlahan taksi online menuju rumahku.
Sampai di rumah, kami kelelahan dan tidur sampai pagi. Nella menginap di rumahku. Dia sering menemaniku jika sedang sendiri di rumah. Pagi itu kembali kulihat ponsel. Belum ada balasan pesan dari Mas Herman. Sepertinya ponselnya tidak aktif. Karena kulihat notifikasi terakhir dibaca sehari yang lalu. Nella juga pagi-pagi pamit pulang karena dijemput Anton, kekasihnya.
Kini tinggalah aku sendiri di rumah dalam kesepian. Sesaat terlintas kembali bayangan Mas Herman. Rindu akan pelukan, belaian, serta cara dia memanjakan. Obsesiku kembali menyeruak. Bisikan kata-kata hadir lagi dalam jiwaku.
Tiba-tiba aku penasaran apa yang diposting Ida. Kubuka facebook, langsung pencarian nama akun. Tidak aku temukan satu postingan pun dalam akunnya. Postingan terakhirnya tiga hari yang lalu.
Kembali aku lihat akun teman-teman dekatnya siapa tau ada informasi. Benar Sekali kutemukan informasi dari akun teman sekolahnya. Disitu mereka saling komen. Segerombolan teman SMA saling melempar komen.
Temannya mengunggah sebuah artikel yang berisi tentang sebuah bahasan tentang hubungan pasangan.
‘Seseorang Yang Tidak Pernah Mengunggah Foto Tentang Kemesraan Bersama Pasangannya Sesungguhnya Kehidupannya Sangat Bahagia.’
Disitu Ida menambahkan komentar jumawa, menunjukkan bahwa postingan itu sangatlah sepertinya. Komentar Ida, membuat teman-temannya semakin bersemangat untuk saling melempar komentar. Hingga tidak disangka dari salah satu teman facebook Ida ada yang mengunggah foto pasangan suami istri tersebut. Sontak kolom komentar ramai.
Hatiku meradang, rasa cemburu membakar hati sampai ubun-ubun melihat foto itu. Aku tidak terima melihat foto kemesraan mereka. Aku merana di sini sedang mereka malah berlibur. Kenapa Mas Herman tidak berterus terang?
Mas Herman jahat sebab menyiksaku seperti ini. Sia-sia sudah kubayar mahal ke dukun. Semua memang salahku, andai saja aku tidak melanggar pantangannya untuk tidak dijamah laki-laki sebelum ritual yang di perintahkan selesai. Dan semua gara-gara lelaki asing itu.
Aku benar-benar marah. Orang yang aku cintai asyik dengan istrinya sampai melupakan kekasih gelapnya. Tapi masih ada sekali lagi malam Jumat, semoga aku masih bisa memaksakan ritual membasuh muka yang di perintah Mbah Suryo. Bagaimanapun Mas Herman harus menjadi milikku.