Udara dingin pagi menerobos sela-sela jendela kamar yang terbuka. Ternyata Mas Herman sudah bangun duluan. Ketika aku membuka mata, dia sudah berdiri di tepi ranjang, sambil membelai mesra rambutku. Aku yang masih malas bangun tersenyum memandangnya, sebuah lumatan bibir tiba-tiba mendarat. Sangat membuat gairah ini kembali memuncak. Kami mengulang bercinta dengan penuh gelora.
Rasa lelah tadi malam terhapus sudah dengan sentuhan-sentuhan kasih sayang dan buaian manja. Setelah puas memadu kasih, kami mandi. Aliran air shower membuat kami lebih segar. Gurauan, cubitan mesra mewarnai kebersamaan kami. Kini kami sudah duduk bersama di ruang tengah. Aku merebahkan tubuh dalam pangkuan Mas Herman. Kesempatan untuk berbincang dengannya.
“Mas, kapan kamu tinggalkan keluarga dan nikahin aku?” tanyaku lirih. Dia masih asyik dengan rokoknya. Seakan tidak mendengar. “Mas!” Suaraku lebih keras.
“Sabar, kita nikmati saja kebersamaan kita,” jawabnya.
“Mas , aku ingin miliki dirimu seutuhnya.”
“Sudahlah sayang, jangan bahas itu dulu, masih kurang semalam?” tanyanya. Matanya memgerling, bagai kegenitan.
Mas Herman bikin bete. Aku mesti sabar. Lelaki memang egois, terkadang tidak pernah memikirkan perasaan wanitanya. Sebagai wanita kedua memang inilah resiko yang harus aku tanggung. Tiba-tiba Mas Herman berdiri, mengambil dompet. Aku lihat dia mengeluarkan beberapa lembar uang.
“Sita, ini untukmu.” Mas Herman memberiku beberapa lembar uang ratusan ribu.
“Kok cuma satu juta Mas?”
“Nanti aku transfer lagi, buru-buru mau rapat, nanti telat,” ucapnya padaku. Kemudian dia berdiri meninggalkan aku sendiri. Bersiap-siap pergi, menuju tempat rapat.
Mas Herman selalu begitu, setiap ditanya kapan akan menikahiku, pasti dialihkan dengan kata yang lain. Kini dia sudah menghilang bersama mobil sport putih miliknya. Sedang aku masih duduk di ruang tengah dengan raut muka jengkel. Kuraih ponsel, untuk menghubungi Mbah Suryo. Beberapa saat setelah tersambung aku sudah memberondonginya dengan pertanyaan.
“Gimana ini Mbah? Dia masih belum juga menikahiku? Kemarin kamu bilang segera, mana buktinya?” tanyaku kesal.
“Sabar Sita, yang penting dia sudah ke rumah kamu malam ini. Tunggu reaksi berikutnya, yang penting beri servis dia luar dalam terus, biar dia betah di rumahmu,” jawabnya.
“Sudah Mbah, bahkan berkali-kali kami bercinta dalam satu malam.”
“Ya sudah, kamu sabar. Ini permulaan yang bagus. Teruskan di malam-malam berikutnya, jangan sampai terlewatkan,” ucapnya kembali.
“Baik Mbah, terima kasih.” Kututup ponselku.
Sebab memegang ponsel aku jadi teringat istri Mas Herman. Rasa iseng untuk mengganggu dia terbesit. Aku harus memberitahu kebersamaan kami. Supaya dia stres dan frustasi. Mulai kukirim sms untuknya. Pasti hari ini dia menangis sejadi- jadinya. Aku menang.
Sita: Malam ini suami kamu tidur dengan wanita lain, bercinta tiada henti, wanita bodoh, rasain hahahaha.
Tidak menunggu lama ponselku berbunyi. Ternyata istrinya membalas sms.
Ida: Terima kasih infonya, basi! Terus aku harus bilang wow gitu?
Jawabannya bikin hati meradang, seharusnya dia marah, emosi. Mungkin dia hanya berusaha menutupi-nutupi. Hatinya sedang berkecamuk. Aku yakin pasti dia menangis.
Hari ini aku harus melakukan sesuatu yang istimewa. Mempercantik diri untuk nanti malam. Melakukan sesuatu yang lebih hot lagi bersama Mas Herman tentunya. Sudah kubayangkan wajah istrinya merana. Sore hari aku buka facebook, biasa untuk melihat-lihat akun istrinya. Ada sebuah postingan. Disitu banyak komen-komen masuk. Rata-rata pada memujinya.
Menyebalkan. Dadaku panas akan tulisan di berandanya. Apalagi diperkuat komen para temannya. Setiap melihat akun Ida, hatiku seakan teremas oleh iri hati. Aku pasti bisa mengalahkanmu, membuatmu menangis darah. Kuambil ponselku, secepatnya aku harus menghubungi Mas Herman. Aku harus bersikap manis, agar niatku bisa terlaksana dengan mulus.
Ah! Kenapa tak tersambung sih? Sepertinya Mas Herman lagi sibuk. Akhirnya aku putuskan untuk mengirim sebuah pesan lewat WhatsApp. Memintanya untuk pulang ke kontrakanku. Aku sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa untuknya.
Aku harus siap-siap dandan yang cantik buat makan malam romantis. Hanya berdua dengan Mas Herman. Nanti setelah keromantisan itu, akan aku jelek-jelekin istrinya sampai dia benci. Aku Sita sang penakluk suami orang. Mana mungkin tak bisa mengalahkan istri Mas Herman itu. Kulirik arloji masih pukul lima sore. Mas Herman membalas pesanku, berjanji untuk pulang cepat. Aku sudah tak sabar rasanya menunggu, membisik-kan rayuan mesra, dan pasti pijatan-pijatan hangat, sehangat bercinta bersamanya. Sudah tak sabar hati ini. Setelahnya terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku bergegas membuka pintu depan, senyum sumringah dari bibir saat kulihat Mas Herman yang datang.
“Malam sayang,” sapaku ketika membuka pintu. Mas Herman segera masuk rumah, kuikuti dia dari belakang.
“Mas mau mandi dulu,” katanya.
“Okey sayang kutunggu,” jawabku.
Sambil menunggu dia mandi, aku sibukan diri menonton televisi. Aku sudah tak sabar ingin membisikkan racun-racun padanya. Baju tidur seksi yang kupakai pastilah akan membuat Mas Herman bergairah malam ini. Selesai mandi dia mendekatiku yang sedang duduk menikmati acara televisi. Dia duduk di sebelahku. Akupun bergelayut manja di bahunya.
“Mas gimana kerja hari ini capek? Aku pijitin ya,” kataku, merayu sambil memijit bahunya.
Aku terus berusaha menarik simpati Mas Herman. Karena kunci dari kemenanganku adalah jika keluarganya hancur dan aku menjadi istri sahnya. Tiba-tiba ponsel Mas Herman berbunyi. Ternyata istrinya menelepon. Kulihat wajahnya masam, dengan menjauh dariku, dia mengangkat telepon dari istrinya.
“Iya Bun, Aku masih lembur mungkin besok baru pulang. Dinas luarku kan satu minggu jadwalnya. Kamu bisa tangani sendiri dulu kan? Kalau sudah selesai Aku segera pulang.”
Kudengar semua isi percakapan antara Mas Herman dengan istrinya. Memang sengaja aku menguping. Setelah menutup pembicaraan, Mas Herman kembali mendekatiku.
“Istrimu kenapa sayang? Tumben dia telpon. Gangguin Kita saja!” Aku mulai pasang muka cemberut.
“Anakku sakit, Sita. Aku harus segera pulang,” jawabnya.
“Kan dia bisa sendiri, Mas. Sudahlah, biarin saja,” kataku dengan bersungut menahan kesal.
“Anak bagiku prioritas utama, jadi malam ini aku harus pulang agar besok siang sudah sampai rumah, tak mungkin meninggalkan anak sakit. Mereka butuh aku,” dia menjelaskan.
“Apa?!” Mataku terbelalak.
“Mas, mau pulang malam ini? Aku nggak mau ditinggal titik!” seruku dengan nada meninggi. Bibir mengerucut.
Mas Herman segera beranjak dari kursi, mengganti baju dan sepertinya dia benar-benar pulang malam ini. Aku harus mencegahnya, mana mungkin rencana yang sudah disusun rapi berantakan gara-gara anaknya sakit.
“Ayolah Mas. Kita terusin pijat plusnya gimana?” tawarku sambil kugandeng tangannya menuju peraduan.
“Tidak, Sita, aku pamit dulu ya. Besok masih ada waktu untuk kita ulang kembali.” Mas Herman berjalan keluar rumah meninggalkanku sendirian di kamar. Kudengar suara mobilnya sudah semakin menjauh.
Gagal semua rencana. Aku makin benci istri Mas Herman. Rasa marah ini semakin menjadi. Kami baru saja sebentar bersama, Mas Herman sudah akan pergi lagi. Kulempar semua barang yang berada di dekatku. Dadaku sesak, marah tingkat dewa. Kenapa malam ini aku gagal merayu? Karena marah, aku hampir terlupa jika hari ini malam Jumat. Kutenangkan diri sebentar. Kurebahkan diri di kasur sesaat agar lebih tenang. Setelah suasana hati membaik segera aku laksanakan ritual kedua. Segera kuambil baskom dan air jampi-jampi Mbah Suryo. Kupersiapkan segala sesuatunya. Setelah semua siap di kamar, kukerjakan ritual dengan sebaik mungkin.
Setelah ritual selesai, rasa sepi semakin terasa. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan bersenang-senang. Menutup semua kekecewaan. Saat gelora ini masih di puncak justru kekasihku pergi. Untuk menghilangkan suntuk, kuputuskan keluar rumah menuju diskotik. Daripada bete lebih baik aku clubing. Sendiri kutelusuri malam ini dengan rasa marah dan kecewa. Kustop taksi yang melintas. Taksi tersebut berhenti tepat di depanku. Segera kubuka pintu mobil dan masuk taksi.
“Mau kemana Mbak?” tanya sopir taksi padaku.
“Antar saya ke diskotik Roly, Pak. Cepet ya,” jawabku.
“Baik Mbak.” Sopir segera melajukan taksi menuju diskotik yang aku tunjukkan padanya.
Taksi yang kutumpangi sudah berhenti persis di depan diskotik. Aku segera masuk, mencari tempat duduk yang paling strategis. Memesan minuman beralkohol. Di sana aku mabuk dan berjoget. Setengah sadar dari mabuk kulihat ada laki-laki mendekatiku.
“Sendiri saja cantik?” sapanya padaku, sambil mencolek pipi.
“Ya,” jawabku singkat.
Kemudian lelaki itu duduk di sampingku sambil merangkul pinggangku. Karena keadaan setengah sadar aku diamkan saja dia, lagian laki-laki itu lumayan ganteng. Bisa untuk menggantikan Mas Herman malam ini. Kami mengobrol basa-basi. Hingga malam makin larut, kuputuskan untuk pulang. Dia menawarkan untuk mengantar pulang malam ini. Aku yang mabuk berat, akhirnya aku terima tawarannya. Mobil kami melaju arah rumah.