Resah

 Aku belum tahu siapa istrinya, apakah sudah punya anak apa belum. Dia juga belum menceritakan semua tentang keluarganya. Aku memanggilnya Mas Herman. Kami menjalin hubungan layaknya orang pacaran. Segala cara aku lakukan agar bisa mendapatkan Mas Herman seutuhnya.

Mas Herman menyayangiku dan menjadi istrinya itu tujuanku. Rasa penasaran pada keluarganya, hingga hasrat ingin mencari tahu tentang istri dan anaknya. Suatu hari tanpa sengaja kutemukan satu akun sosial media yang konon itulah istri sah Mas Herman. Istri laki-laki yang aku sayangi saat ini.

Aku terus kepoin dia, kulihat foto-fotonya. Di situ tidak ada foto Mas Herman. Istri Mas Herman cantik, seorang wanita karir juga. Teman dia banyak, supel orangnya. Aku sengaja add semua teman-teman yang akrab dengan istri Mas Herman. Mengikuti satu persatu status Facebook perempuan itu. Barangkali ada informasi tentang keluarganya. Tujuanku satu, mencari nomor ponsel, dan berusaha membuat pertengkaran di antara mereka. Nah dengan begitu, mereka bercerai dan lelaki baik itu menjadi milikku seutuhnya.

Kebetulan ada Nella, siapa tahu dia mau membantu mendapatkan nomor ponsel istri Mas Herman. Nama akunnya Ida Ayu Sasmita.

“Nel, coba deh kamu minta pertemanan sama akun ini.” Aku tunjukan sebuah akun sosmed kepadanya.

“Cantik ya. Lebih cantikan dia dari kamu.” Aku cuma manyun karena kesal atas perkataan Nella.

“ Cie, ada yang ngambek.” Nella mencolek pipi, kembali menggodaku.

“Apaan sih,” protesku sambil mengalihkan tangannya.

Nella terus mengejekku, seakan dia membaca semua isi perasaan, bukan Sita namanya jika tidak bisa menaklukkan hati laki-laki. Sudah berapa banyak korbanku, rata-rata mereka cinta mati. Mas Herman harus jadi milikku. 

Entah mengapa setiap istrinya posting sesuatu hatiku selalu panas. Padahal dia juga posting biasa saja. Setiap komentar teman-temannya aku baca satu persatu, jangan sampai terlewat satupun. Tidak rela jika ketinggalan satu informasi tentang dia. Aku termasuk orang yang cuek namun penuh percaya diri, tapi mengapa sekarang menjadi was-was. Bukankah suaminya kini jadi kekasihku, apa yang harus aku takutkan.

Makin hari aku melihat unggahan foto-fotonya makin lama makin cantik. Diperkuat pula komen teman-temannya yang bilang memang dia makin mempesona. Dia sederhana tidak dandan, tapi wajahnya berbinar-binar. Tidak seperti aku yang selalu tertutup oleh make-up tebal agar penampilanku makin sempurna. Dia berhijab sedang aku tidak. Banyak laki-laki juga memujanya.

Tidak memerlukan waktu lama akhirnya aku bisa tahu nomor ponselnya. Aku memutar otak bagaimana caranya bisa menghubunginya. Akhirnya aku pura-pura mengaku sebagai temannya yang mengabarkan kalau suaminya selingkuh. Padahal aku selingkuhannya suaminya. Kuputar nomor ponsel Ida.

“Halo, Ida ya?” Aku mengawali pembicaraan ketika telepon mulai tersambung.

“Siapa ya?” tanyanya lewat telepon.

“Masa lupa? Kita dulu satu kantor,” jawabku.

“Beneran kamu temanku? Siapa namamu? Perasaan teman kerjaku nggak ada yang panggil Ida,” tanyanya kembali.

“Sudahlah. Tidak perlu tanya siapa aku yang jelas aku hanya memberi informasi kalau kemarin aku lihat suami kamu lagi jalan sama cewek mesra banget,” ucapku menerangkan. 

“Oh gitu? Kapan?” tanyanya kembali.

“Kemarin di mall, banyak yang lihat juga,” jawabku kembali.

“Mana buktinya? Zaman sudah canggih. Setidaknya harus ada bukti berupa video, foto misalnya.” kembali dia bertanya padaku.

“Ponselku jadul,” jawabku sekenanya.

“Hari gini ponselmu nggak ada kamera? Sepertinya Hoax,” tanyanya kembali.

“Ya sudah terserah, yang jelas kamu wanita bodoh, sok bener sendiri,” ucapku berapi-api.

“Loh kamu malah marah-marah? Aku nggak tahu kamu siapa, eh ini katanya ngasih informasi malah marah. Dasar orang aneh,” katanya.

Dia menutup telepon. Bodo amat yang penting aku sudah berhasil memaki dia dan akhirnya pertengkaran suami istri tersebut terjadi. Artinya keuntungan akan berpihak padaku.

Kutunggu satu minggu kenapa Mas Herman tidak cerita apa-apa. Kembali aku lihat akun Facebooknya, biasa saja tidak ada perubahan. Malah sepertinya dia makin mengejekku. Dia semakin cantik dengan kerudungnya. Hatiku meradang dan benar-benar merasa tersaingi. Selama ini, belum pernah ada orang yang bisa mengalahkanku. 

Setelah melihat perubahannya sekarang, semakin lama rasa kebencian ini semakin mendalam. Kulempar barang-barang yang ada di sekitar. Dada rasanya sesak. Seakan kekalahan di pihakku. Karena tidak puas, aku berusaha menyusun cara agar menjadi pemenang. Akhirnya kuputuskan pergi ke paranormal untuk melancarkan aksi, keputusanku sudah bulat. Aku harus menikah dengan Mas Herman.

Sore ini kuketuk pintu rumah Mbah Suryo. Seorang paranormal yang sudah terkenal dengan ilmu peletnya. Sorot mata Mbah Suryo tajam menatapku, ketika sudah bertemu dengannya.

“Apa maksud kedatanganmu ke sini?” tanya Mbah Suryo.

“Aku ingin minta bantuan Mbah Suryo untuk mengguna-guna teman dekatku Mbah,” jawabku sambil aku tunjukan foto Mas Herman.

“Hmmmm begitu, nama kamu siapa Nduk?” Mbah Suryo menatapku tajam.

“Sita,” jawabku.

“Bukannya dia sudah suka padamu, kenapa ingin guna-guna dia?” tanyanya padaku.

“Saya ingin dia secepatnya menikahi saya dan meninggalkan keluarganya Mbah,” jawabku.

“Sudah kamu pikirkan sebab akibatnya?” tanyanya lagi.

“Sudah Mbah, yang penting dia menjadi milik saya,” jawabku. Mbah Suryo manggut-manggut sepertinya sudah jelas dengan maksudku.

“Baiklah, kalau kamu sudah mantap, bisa siapkan mahar dan syarat-syaratnya?” Mbah Suryo memberikan info apa saja syarat yang harus aku penuhi.

Aku melangkah keluar meninggalkan rumah Mbah Suryo, hati ini sebenarnya gelisah. Di dalam taksi aku termenung.******kembali apa yang ditulis sebagai syarat-syaratnya. Beberapa syarat yang wajib untuk aku penuhi. Mataku terbelalak membaca jumlah mahar yang mesti kubayar, sepuluh juta rupiah, jumlah yang tidak sedikit. Bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu. Sebagai seorang SPG jumlah segitu sangatlah besar. Sedangkan uang gajiku dan dari mereka sudah habis untuk keperluan sehari-hari. Sudah tanggung kepalang basah, terlanjur masuk tidak mungkin keluar lagi. Tekad sudah bulat. 

Kini taksi yang aku tumpangi sudah sampai di depan kos, aku melangkah masuk ke dalam. Meletakkan tas di atas nakas, merebahkan tubuh ke ranjang. Sambil rebahan aku berpikir untuk mencari cara mendapatkan uang mahar tersebut. Apa aku minta uang sama Ibu saja ya? Setidaknya Ibu pasti punya uang simpanan. Tapi aku harus menyiapkan alasan, Ibu pasti akan memberikan beberapa pertanyaan padaku. Pasti. Aku ingin secepatnya urusan yang dengan Mbah Suryo beres. Ponselku berbunyi, ternyata dari Nella, kebetulan sekali.

“Iya Nel, ada apa?”tanyaku.

“Kamu ada di kos nggak? Aku mau ke sana kalau libur,” Nella balik bertanya .

“Libur, Nel, oke aku tunggu ya,” jawabku mengakhiri telepon.

Tiga puluh menit, Nella sudah sampai rumah. Seperti biasa kami ngobrol, setelah beberapa saat kuutarakan tujuanku. Meminjam uang padanya buat membayar mahar. Kami sepakat, Nella meminjamkan tabungannya senilai tiga juta rupiah. Artinya masih kurang tujuh juta lagi. Kulihat sisa tabungan tinggal lima juta masih ada di rekening. Sebenarnya uang itu untuk menyambung hidup satu bulan ini. Tapi demi misi akhirnya kupakai dulu. Uang sudah terkumpul delapan juta rupiah. Kekurangan dua juta akhirnya minta ibu. Kucoba menghubunginya. Setelah mengobrol di telepon syukurlah ibu mau memberikan uang padaku dan segera mentransfer ke rekeningku. 

Kuajak Nella menuju ATM untuk mengambil uang transferan dari ibu dan sisa tabunganku. Aku masuk ATM dan segera bertransaksi. Akhirnya uang yang terkumpul sudah rapi masuk dompet, kami menuju ke pasar tradisional untuk membeli bunga dan syarat-syarat lain.

“Sit, mampir beli mie ayam yuk. Aku lapar, muter-muter pasar capek juga ya.” Mukanya memelas menahan lapar.

“Yuk, aku juga lapar,” ajakku.

Kami menuju warung mie ayam seberang jalan. Semangkuk mie ayam dan segelas es jeruk membuat kami kenyang. Akhirnya kami pulang. Sampai kos, Nella langsung masuk kamar, tidur kelelahan. Akupun menyusulnya setelah meletakkan semua yang kami beli di meja.

Semua syarat sudah terkumpul. Itu artinya tujuanku selangkah lagi akan tercapai. Sudah tidak sabar rasanya menanti hari-hari indah itu. Mendapatkan Mas Herman seutuhnya. Malam ini kurebahkan tubuh di ranjang, pikiranku menerawang jauh, membayangkan semua keindahan menjadi nyonya Herman. Terkadang aku tersenyum sendiri. Aku terlelap hingga pagi. Dengan wajah sumringah aku kembali ke rumah Mbah Suryo. Syarat yang diajukan beliau sudah kubawa serta. Dengan mantap kumengetuk pintu rumah dukun tersebut.

“Permisi Mbah,” ucapku. Ada suara orang berjalan membuka pintu. Dari balik pintu, wanita muda tersenyum padaku. Usianya masih belia, cantik, kemungkinan anak Mbah Suryo pikirku.

“Mencari siapa Kak?” tanyanya.

“Mau cari Mbah Suryo. Ada?” Aku tanya balik. Suaraku agak terbata karena kaget ada gadis belia cantik di depan pintu. Padahal kemarin waktu ke sini tidak melihatnya.

“Silahkan masuk Kak, Mbah Suryo ada di dalam.” Sambil mempersilahkan. Kemudian dari belakang aku mengikuti gadis itu masuk rumah, mengantar menuju sebuah ruangan. Mbah Suryo menatap tajam.

“ Sita, sudah kamu siapkan semua yang kuminta kemarin?” tanyanya.

“Sudah semua Mbah,” jawabku. Kusodorkan bungkusan plastik dan satu buah amplop berisi mahar yang diajukan Mbah Suryo. Kulihat dia meneliti semua yang kuserahkan.

“Baiklah kita mulai ritual ini,” ucapnya lagi. Kemudian Mbah Suryo menyerahkan satu buah jarik kepadaku. 

Kini aku hanya memakai kemben jarik yang diberikan Mbah Suryo, dan kembali duduk di depan beliau. Kulihat Mbah Suryo masih komat kamit membaca mantra. Kembang yang aku bawa sudah ditaruh di dalam baskom. Serangkaian ritual yang harus aku lakukan semua terpenuhi, tidak ada yang tertinggal. Mbah Suryo dengan cekatan memberikan arahan juga membimbing dalam setiap langkah yang harus aku kerjakan.

“Sita, sekarang bersihkan wajahmu dengan air bunga yang sudah aku beri mantra ini. Usapkan rata ke seluruh wajahmu jangan ada yang terlewat.” Aku mengangguk seraya menerima baskom yang diberikan. Aku langsung saja mengambil air bunga dalam baskom, dan mulai cuci muka. “Setelah ini ulangi beberapa kali tiap malam Jumat selama tiga kali, jangan sampai terlewat, paham? Satu lagi, saat kamu basuh muka dengan air bunga ini wajib dalam keadaan tanpa busana dan pastikan kamu tidak sedang disentuh laki-laki.”

“Paham Mbah.”

“Bawalah sisa air ini, dan kembali kenakan pakaianmu.”

Aku segera berganti pakaian. Risih juga ketika Mbah Suryo jarak sangat dekat, melihat lekuk tubuh ini. Walau sudah banyak lelaki yang bebas menikmati tubuhku, tapi aku juga masih punya selera. Tidak mungkin mau dengan dia yang sudah tua.

“Saya permisi pulang Mbah,” pamitku kemudian.

“Ingat pesanku, jangan sampai lupa,” pesannya lagi

“Baik Mbah,” jawabku. Karena penasaran sebelum melangkah keluar kutanyakan lagi satu hal padanya.

“Maaf Mbah boleh saya bertanya? Siapa gadis yang tadi membukakan pintu?” 

Mbah Suryo tertawa.

“Gadis itu istriku yang kesepuluh, kenapa?” jawabnya dan tanya balik.

“Istri kesepuluh?” tanyaku. Mataku terbelalak.

“Jangan kaget seperti itu. Kamu pun bisa aku jadikan ke sebelas,” ucapnya lagi.

“Permisi Mbah.” Aku buru-buru meninggalkan rumah Mbah Suryo. Takut jika dijadikan istri dia selanjutnya.

Segera aku stop taksi yang lewat, taksi kini membawaku menjauh dari rumah Mbah Suryo. Di tengah jalan tiba-tiba ada sebuah pesan Masuk di ponselku. Kulihat ternyata dari Mas Herman. Saat kerinduan datang, tiba-tiba dia menghubungi, begitu bahagia hati ini.

Mas Herman: Sita sayang. 

Sita: Mas, kamu dimana? Kangen.

Mas Herman: Aku juga sayang.

Kami berbalas pesan untuk beberapa saat. Menyampaikan kerinduan, bercerita. Banyak hal yang kami bahas. Setidaknya rasa rindu ini sedikit terobati. Cinta kami semakin mendalam. Bagai sepasang muda-mudi yang lagi kasmaran.

Berhasil, ternyata Mbah Suryo benar sakti. Aku senyum-senyum kemudian kuletakkan ponsel setelah chat kami terhenti. Aku bahagia, sampai loncat kegirangan. Usaha membuahkan hasil. Buktinya Mas Herman akan menemani malam ini. Tidak sia-sia membayar mahar mahal pada Mbah Suryo kalau hasilnya seperti ini.

Mas Herman menepati janjinya, dia datang ke kos. Demi kenyamanan, ternyata Mas Herman telah mencarikan sebuah kontrakan. Katanya agar kami lebih bebas daripada di kos. Hari itu juga aku pindah ke rumah kontrakan hadiah dari Mas Herman. Sebuah rumah kontrakan yang tidak begitu jauh jaraknya dari kos terdahulu. Rumah kecil namun sangat nyaman. Rumah itu bercat biru laut. Sudah terisi semua dengan perkakas rumah lengkap. Ada satu kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, dapur dan kamar mandi. Cukup nyaman untuk kami tinggali berdua. Halaman depan juga ada pohon mangga yang cukup rindang, dengan pot-pot bunga menghiasi depan rumah. Lingkungan kontrakan itu juga bebas. Rata-rata tetangganya cuek dan hidup masing-masing. Sangat cocok untukku yang dengan kehidupan sekarang.

Pindahan ini tidak membuatku lelah. Karena aku hanya menata baju di lemari saja. Lainnya sudah tertata rapi sebelum aku pindah. Mas Herman memang sangat baik dan mengerti apa yang aku inginkan. Setelah beres-beres, kami tiduran di dalam kamar. Pelukan Mas Herman membuat nyaman. Menghilangkan kelelahan.

“Mas, kamu tahu nggak? Aku kangen banget.” Dalam rengkuhannya kubisikan kata sambil kukecup bibirnya.

“Masa?” Mas Herman mencolek aku manja.

“Ih Mas, beneran tahu,” jawabku manja.

“Pasti mau minta duit atau shopping?”

“Aku nggak minta itu, hanya ingin memadu kasih malam ini.” 

Kami saling berpandangan dan tersenyum. Dalam pelukan hangat, dalam dinginnya malam. Kucurahkan semua kerinduan, bercumbu di peraduan. Rasanya tak ingin melewatkan satu menitpun bersamanya. Tubuh kami menyatu tak terpisahkan. Hingga pagi hari.