Sita
Dalam keadaan setengah sadar kulihat dia selalu memandang wajahku. Namun aku biarkan saja. Mobil sport hitam telah berhenti di depan rumah kontrakan. Mobil diparkirkan. Kami turun, melangkah masuk rumah. Kuberikan kunci pintu agar dia membukanya. Pintu terbuka dan kami masuk, entah apa yang terjadi yang penting aku bahagia malam ini.
Kami langsung menuju kamarku, setengah sadar aku masih sempat meracau. Aku yang sudah mabuk berat melihat kasur langsung saja merebahkan tubuh. Dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Antara sadar dan tidak hanya merasakan sentuhan-sentuhan kenikmatan. Pagi harinya aku kaget saat terbangun ada lelaki di sampingku, tapi bukan Mas Herman. Aku benar-benar tak ingat apa yang kami lakukan semalam.
“Selamat pagi Cantik.” Lelaki itu menciumku. Aku menghindar, karena baru tersadar kalau aku telah tidur dengan lelaki asing tadi malam. “Sudahlah, Cantik. Sini, jangan menghindar, bukannya kamu menikmatinya tadi malam?”
Dia malah tertawa seolah puas dengan semua yang terjadi. Aku kebingungan sebenarnya apa yang terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol hingga membuat tidak sadar dengan apa yang di lakukan. Aku beranjak dari tempat tidur, kulihat tubuh ini sudah tanpa busana. Segera aku tarik selimut kugunakan membungkus tubuh ini. Wajahku memerah menahan marah, kebingungan.
“Bisa tinggalkan rumahku sekarang juga?” Suaraku meninggi, marah dan mengusirnya.
“Sabar, tidak usah emosi, yang penting kita happy, atau gimana kalau kita ulangi pagi ini,” ujarnya. Mendengarkan jawabnya aku semakin emosi, dan muak melihat mukanya.
Aku menamparnya. “Pergi atau aku akan teriak?”
Mataku melotot kala menatapnya tajam. Dia terperanjat kaget, matanya memerah. Sambil memegangi pipinya yang kutampar, hampir saja dia balik membalas. Aku reflek mundur. Lelaki asing itu menahan amarah.
“Dasar wanita jalang!” makinya kasar sambil berbalik badan, mengambil tas lalu melangkah keluar.
Akhirnya lelaki itu pergi meninggalkan rumahku. Aku hanya bisa menangis menyesali yang terjadi. Mabuk benar-benar membuatku lupa. Semua gagal dan berantakan. Emosiku yang naik turun justru membuat kerugian sendiri. Dan semua itu karena Ida. Karena dia semalam menelpon Mas Herman, membuat aku seperti ini. Seandainya dia tidak menelepon mungkin kejadian ini tidak akan terjadi, dan Mas Herman masih di sini.
Aku menghela napas, menghembuskannya. Kulangkahkan kaki mengambil segelas air putih. Meneguk air putih bisa mengurangi emosi. Aku terduduk lemas tidak berdaya di kursi. Seakan tulang-tulangku melemah. Hanya air mata ini yang terus menetes menyesali semua yang terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, semua sudah terjadi. Apa yang harus kulakukan hanyalah menyimpannya. Aku harus bisa merahasiakan semua ini dari Mas Herman. Kalau bisa akan selalu tertutup rapat aib ini. Bahaya kalau dia tahu, semua akan berantakan. Sia-sia usaha selama ini. Padahal selangkah lagi akan berhasil.
Hari itu hanya kuhabiskan waktu di kamar. Jengkel, marah, sedih, bercampur menjadi satu. Rasanya bagai diaduk-aduk. Aku gagal merayu Mas Herman dan berakhir ditiduri orang asing. Aku merasa jijik dengan diriku. Segera kuberlari ke kamar mandi. Aku mengguyur seluruh badan berulang-ulang. Walau disabun berulang-ulang tetap rasanya kotor. Aku menangis, menjerit meratapi nasib di kamar mandi. Magrib berkumandang, akhirnya keluar kamar mandi. Aku ganti semua sprei, selimut, bantal. Supaya bau tadi malam hilang. Sekaligus melupakan yang telah terjadi. Kembali kurebahkan tubuhku di kasur. Namun bayangan adegan tadi malam setengah sadar masih saja terbayang.
Kuakui sebenarnya juga menikmati sentuhan lelaki asing itu, permainan ranjangnya juga luar biasa.
“Pergiii!”
Aku berteriak mengusir bayangan itu. Bagaikan orang gila aku terus berteriak. Tujuan dan cintaku hanya pada Mas Herman, tidak ada yang boleh merusak semua sampai aku benar-benar menikah dengannya. Kucari ponsel, mencari kesegala arah ternyata ponsel jatuh di bawah ranjang. Setelah ponsel kuambil dari bawah ranjang mulai kuketik pesan untuk Mas Herman. Memintanya untuk jangan terlalu lama berada di rumah. Aku merindukannya.
Tak lupa aku mengirim foto lewat WhatsApp yang memakai baju tidur seksi sambil tiduran. Dengan tambah pesan yang seduktif. Tinggal menunggu respon Mas Herman saja, setelah membaca pesanku pasti dia akan segera ke sini lagi.
Aku hanya ingin menjadi milik Mas Herman.
Kembali kuketik ponsel.
“Mas, apa kamu tidak rindu akan berganti peluh denganku? Dingin Mas, aku butuh kehangatan dan sentuhan nakal jarimu.”
Memencet tombol kirim.
Yes, sebentar lagi pesanku terbaca dan Mas Herman akan segara menemuiku. Wanita yang selama ini memberikan kehangatan dan juga sensasi. Bukan Sita namanya kalau tidak bisa memberikan kepuasan pada om-om kesepian. Aku sudah belajar lama dengan ibuku bagaimana menjaga stamina dalam permainan yang luar biasa.
Terlihat ponselku berkedip.
Yes, pasti Mas Herman masuk perangkap. Kuraih ponsel dan melihatnya. Benar sekali ada notifikasi dari cintaku masuk.
“Sayang, kamu bikin aku makin terpesona. Tunggu ya, aku juga tak tahan.”
Aku meloncat kegirangan, akhirnya semua berjalan sesuai rencana. Lelaki memang selalu kalah dengan kemolekan tubuh wanita. Begitu juga dengan Mas Herman yang akan melebarkan matanya saat memandang kemolekan tubuh ini beserta servisnya. Sungguh menggemaskan dan nagih pastinya.
Bersambung