Prolog
Pov Ida 

[kasihan deh kamu, suka tersenyum padahal hidupnya miris]
Sebuah WhatsApp masuk kontakku. Sebuah nomer asing. Aku hanya menghela napas. Cuma******tanpa membalas. Sibuk dengan aktifitas yang lain.
[kenapa nggak di balas? Kamu takut?]
Lagi-lagi dia mengirim pesan aneh. Aku sendiri tak pernah tahu apa yang dia tulis.

Aku sama sekali cuek, terlalu receh jika memikirkan yang tak penting. 
Lagi-lagi pesan itu datang hingga membuatku jenggah. 
Pesan ini berupa gambar. Sebuah gambar seorang laki-laki dan perempuan sedang bermesraan. Wajahnya gambar itu ditutup stiker. Namun, aku tahu itu adalah wajah suamiku bersama wanita lain.

[gimana? Kamu pasti nangis darah lihat ini?]
Pesan masuk lagi. Aku hanya memiringkan sudut bibirku. Entah apa motifnya. Aku tidak ingin membuat keruh suasana hatiku. Buat apa? Aku harus menangis? Kecewa atau bersedih. Oh tidak, aku bukan wanita yang lemah dan menyerah. Terserah pikirku. 

Aku meletakkan ponselku. Sudah tidak lagi menghiraukan chat-chat tersebut. Tapi kalau aku diam, sepertinya dia terus menggangguku. Kuambil kembali ponsel yang tergeletak di nakas. Mulai kuketik beberapa kata balasan untuk sang peneror.
[siapapun kamu, aku tidak perduli. Tapi terima kasih tanpa aku capek-capek kamu malah menjadi detektif gratisan untukku.]
Kupencet tombol kirim. Centang biru berarti langsung dibaca.

Beberapa saat pengganggu itu terdiam. Namun, ternyata justru dia terlihat tidak senang. Hingga terbaca dibalas an chatnya.

[Dasar wanita beg*]
Aku biarkan saja, menanggapi orang tidak jelas itu bagiku buang waktu.