Jangan lupa ya di Share like komen biar semangat buat nulisnya 😍😍
IDA
Menjadi seorang istri yang baik adalah dambaan kaum hawa. Seperti lagu Bang Roma: Hanya Istri Salehah Perhiasan Dunia. Begitu juga denganku. Setelah memutuskan menikah dengan Mas Herman, aku harus berusaha menjadi istri idaman. Mengurus rumah dan suami tentunya.
Hidup kami yang sederhana menjadikan kami tak ragu untuk menjalani pernikahan ini. Kami tinggal dikontrakan. Mesti penghasilan suamiku kecil tapi aku cukup bahagia. Apalagi aku juga kerja, jadi tidak kekurangan buat menghidupi kami berdua.
Selama itu pernikahan kami tidak ada kendala apapun. Selang tujuh bulan usia pernikahan kami, alhamdulillah Allah menitipkan benih di rahimku. Sembilan bulan di kandungan lahirlah putri cantik buah hati kami. Kemudian kami memutuskan membeli rumah setelah tabungan kami cukup. Walau rumah yang kami beli kecil tapi cukuplah buat berteduh dari terik matahari maupun hujan.
“Mas, akhirnya kita bisa tinggal di rumah sendiri ya,” ucapku pada Mas Herman.
“Iya” jawabnya datar.
Hidup kami hampir tak pernah ada masalah. Rumah kecil yang kami tinggali membawa keberkahan. Kalau pun ada selisih pendapat juga bisa terselesaikan dengan baik. Selalu ada kebahagian di setiap masalah.
***
Selang tiga tahun usia pernikahan, keluarga kami dilimpahi rezeki. Mas Herman pindah kerja ke tempat yang lebih baik. Ekonomi kami semakin bagus. Fasilitas yang kami miliki juga makin bertambah. Mulai ada mobil, motor, tapi semua harus aku bayar dengan berjauhan dengan suami. Karena kerja Mas Herman di luar kota, bahkan kadang ke luar pulau antar provinsi.
Ceritanya kami LDR selama bertahun-tahun. Bersyukurnya, komunikasi tetap lancar di antara kami. Hidup kami rukun, walau jarak jauh. Si kecil pun tumbuh menjadi anak yang pintar. Kami sudah terbiasa ditinggal berdua.
Hingga terbentuklah kemandirian dalam diri kami berdua. Semua bisa kuatasi sendiri saat Mas Herman berada jauh. Tidak mengeluh ataupun menangis, karena sudah ikhlas menerima segala resiko jika hidup terpisah karena mencari rezeki.
Pasang lampu, genteng apalah itu bisa aku tangani. Intinya mandiri tanpa merasa sedih ataupun kerepotan. Kami hanya bisa bertemu beberapa bulan sekali. Itupun jika suamiku cuti atau mungkin dinas dalam kota dekat rumah kami. Jatah tidur hotel dibuat suamiku tidur rumah.
Kunci keharmonisan pernikahan kami adalah saling percaya. Tanpa harus saling mengawasi. Apalagi kesibukanku dalam bekerja hingga tidak terlintas sedikitpun prasangka buruk atas suamiku. Mas Herman masih tetap menjadi ayah yang baik dan juga kebanggaan anaknya.. Perlakuan denganku pun sama.
Selang tujuh tahun pernikahan, aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi. Sampai akhirnya perbedaan itu terlihat. Insting seorang istri lebih tajam. Dulu yang biasa sering telepon sekarang sudah tidak. Jarang-jarang kasih kabar alasannya, lagi sibuk. Tapi semua itu tertepis dengan prasangka baik. Karena aku juga percaya, Allah bersama prasangka hamba-Nya. Kalau kita berprasangka baik pasti Allah memberikan jalan terbaik.
Aku tipe orang yang selalu bersikap positif, percaya pada takdir. Bagiku semua yang terjadi di dunia ini sudah tertulis, jadi tak perlu ditakuti atau disesali. Berjalanlah maju seperti air mengalir. Banyak berdoa yang terbaik. Kita punya Allah jadi tak perlu takut. Serahkan sama Allah saja Sang pengatur kehidupan.
Kepo? Cari tahu tentang suami? Buat apa? Kepercayaan telah aku tanamkan sejak awal pernikahan. Aku lebih sibuk untuk memikirkan bagaimana mengurus rumah agar kelihatan rapi, kerjaan juga beres, anakpun terurus dengan baik. Itulah yang selalu aku lakukan.
Hingga terdengar kabar burung perihal suamiku. Aku selalu menanggapi dengan tenang. Bagiku jika pakai emosi tanpa logika berantakan semua yang aku kerjakan. Selagi tak lihat dengan mata kepala sendiri semua aku biarkan.
Banyak orang bilang kalau aku wanita bodoh, cuek, sudah dibohongi masih juga diam saja. Aku balas dengan senyuman. Seperti biasa, aktivitas kantor tetap kujalani. Hingga suatu hari, saat sedang duduk di ruangan kerja, salah satu teman mendekati, duduk di sebelahku. Dia memandangku dengan serius sebelum melontarkan pertanyaan.
“Bu, apa tidak kamu cari tahu saja tentang kabar burung itu?” tanya temanku, memberi solusi.
“Sudahlah buat apa membuang waktu untuk hal yang tidak penting, seandainya itu benar terjadi biarlah Allah yang memberi jalan terbaik.” Aku hanya memandangnya sambil memberi penjelasan.
“Apa kamu yakin?” tanyanya lagi.
“Lebih baik aku gunakan waktu buat hal positif daripada harus menghabiskan waktu buat membuntuti suamiku. Semua itu bikin berantakan waktu yang sudah kutata rapi Mbak,” ucapku lirih.
“Ya terserah kamu saja, mana yang terbaik,” ucapnya sambil memandangku, sorot matanya terlihat kalau dia sangat berempati.
“Makasih atas sarannya, kamu memang teman yang baik Mbak.” Kupegang tangannya, sambil tersenyum.
Dia berdiri, melangkah meninggalkanku, kembali menuju meja kerjanya. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Jujur dada ini bergemuruh, tapi kembali lagi aku harus menjalani semua yang telah tertulis. Buat apa marah-marah jika memang semua itu diajukan Mas Herman dengan senang hati.
Justru dengan kemarahan akan menjadikan itu kelemahan dan kekalahanku. Semua harus kulawan. Bukan dengan kemarahan tapi diam, memakai logika bukan hanya perasaan. Dan aku yakin Allah akan selalu bersama orang-orang sabar dan bertakwa.
Tugasku hanya memperbaiki diri, menata hati, menggunakan waktu sebaik mungkin untuk hal-hal yang manfaat dan produktif. Karena kecantikan bukan hanya fisik saja. Kecantikan hati akan menambah aura bersinar. Bukan berarti terus aku lupakan penampilan, bukan?
Aku tetap menjaga semua. Justru lebih ekstra lagi menjaga diri. Menjaga sikap, ucapan, agar menjadi pribadi yang selalu disegani bukan diremehkan. Allah telah memberiku talenta yang cukup. Selain pandai menjahit, menggambar desain baju, ilmu marketing juga tidak diragukan. Memasak juga jagonya. Jadi mana yang harus aku takutkan. Karir semakin bagus, teman alhamdulillah banyak juga.
Tetaplah melangkah Ida, karena hidup itu bukan hanya hari ini, masih ada esok, keluarga yang membutuhkanmu. Tetap semangat. Itulah semboyan yang selalu kutanamkan di hati. Menjadi pemenang itu tidak harus tampil di depan tapi di belakang pun selalu ditakuti musuh.
Hingga suatu saat ada yang menghubungiku mengabarkan tentang kemesraan Mas Herman. Sedih, itu pasti. Tapi jangan pernah tunjukkan kesedihan kepada orang lain. Bisa jadi sebagian akan simpati tapi sebagian lagi akan tertawa atas keterpurukan itu. Tak akan Kubiarkan itu terjadi.
Kututup rapat-rapat gemuruh hati ini. Aku menutupinya dengan senyuman dan prestasi. Dan aku sengaja memang kualihkan dengan bersosial media. Kubangun teman di dunia nyata maupun dunia maya. Bagiku teman adalah pembuka pintu rezeki.
Alhamdulillah, teman bagai saudara. Misal ada yang sirik anggap saja bonus. Jalan saja ada lubangnya, apalagi dunia. Isi hati tidak ada yang tahu, tapi semua bisa tergambar dari kata dan perbuatan. Itulah yang harus aku pelajari. Dari penelepon gelap ataupun pengirim sms.
Menghadapi mereka harus dengan kepala dingin biar tidak terpancing emosi. Justru buatlah strategi agar mereka kesal. Menabung yang banyak buat bekal di dunia, bersedekah buat bekal akhirat. Tiba-tiba ponsel berbunyi, sebuah pesan masuk. Membuyarkan lamunan. Ternyata dari Mas Herman yang mengabarkan kalau hari ini dia pulang.
Waktu sudah menunjuk pukul setengah lima sore. Aku bergegas pulang ke rumah, untuk mempersiapkan makanan kesukaan Mas Herman. Motor matic merah yang selalu menemani perjalanan segera kulajukan agak kencang. Supaya sampai rumah lebih cepat. Walau ada mobil tapi aku suka pakai motor untuk bekerja, menghindari macet.
Lima belas menit, aku sudah sampai depan rumah. Segera kubuka pagar, memasukkan motor ke dalam garasi. Melangkah menuju kamar, meletakkan tas di atas meja rias. Aku bergegas mengambil handuk masuk kamar mandi, membersihkan diri, dari debu jalanan. Sambil mandi sudah terbayang kedatangan suamiku.
Usapan wangi sabun mandi, membuat tubuh ini makin wangi. Sepuluh menit dalam kamar mandi akhirnya keluar juga. Dengan tubuh yang lebih segar. Semerbak bau sabun kian menebarkan aroma. Tak sabar rasanya menunggu beberapa jam ke depan untuk membukakan pintu suamiku.
“Nak hari ini Ayah pulang,” kataku pada buah hatiku.
“Beneran Bun? Hore Ayah pulang!” serunya riang.
Begitu bahagianya wajah anak gadisku itu ketika mendengar kabar ayahnya pulang. Setelah tiga bulan penantian berpisah dengan ayahnya karena mencari nafkah ke luar kota.
Aku segera memasak makanan kesukaran suamiku. Tidak menunggu lama, akhirnya semua telah siap di meja makan. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Bersama Airin, kami menunggu kepulangan Mas Herman, sambil nonton siaran televisi. Sebentar lagi mungkin Mas Herman sampai rumah.
bersambung