MAAF, NAFA!
ARDI

Aku menyayangi Nafa, tapi lebih cinta pada harta. Maka, mengobankanya demi sebuah kejayaan adalah sesuatu yang niscaya.

Kehilangan Nafa hanya akan mencubit kecil satu sisi hatiku. Namun kehilangan harta akan menghancurkan seluruh duniaku

Maaf, jika aku memberi sedikit kesakitan padanya. Percayalah, setelah ini dia takkan merasakannya lagi. 

Tidurlah dengan tenang, Sayang! 

*

Berita kehamilan Nafa adalah petaka. Seakan saat kaki menapaki tangga kesuksesan, satu tangan bermaksud menariknya ke bawah. Tentu saja aku tak terima.

Adalah mustahil membiarkan langkah yang hampir mencapai ujungnya, dihentikan begitu saja. Tak akan mungkin kubiarkan pengorbanan ini sia-sia. 

Kurutuki diri sendiri sebab menyentuhnya tanpa pengaman. Berulang-ulang aku memaki seorang Ardi melakukan kecerobohan fatal.

Bukankah aku biasa melakukan dengan wanita manapun selalu memakai pengaman? Mengapa dengan Nafa tak sanggup mengendalikan diri. Sialan! Bangsat! Tolol kau Ardi.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Wait, aku butuh minuman beralkohol. Oh, tidak, minuman sialan itu akan membuatku hilang akal. Yang ada, aku tak mampu mencari solusi tepat.

Aragh!

Tenang, Ardi, tenang! Berpikirlah, berpikirlah!

Aku menyorongkan badan hingga condong ke depan. Tangan ini sebagiannya diletakkan di atas paha hingga telapaknya menjuntai.

Mata ini lurus ke arah dinding rumah. Namun, ia tak sedang fokus ke benda bercat putih itu sebab otak tak memerintahkan hal tersebut.

Otak justru berputar-putar merangkai berbagai informasi. Ia terus bekerja untuk mencari petunjuk demi petunjuk agar sampai pada solusi tepat. 

Gila, meski bajingan, aku bukan pembunuh. Aku tak mau dan takkan membunuh Nafa. Bukan karena mencintainya, tapi demi tak masuk penjara.

Jika dibelenggu dalam rantai jeruji, lenyap sudah anganku berenang dalam kolam uang. Artinya semua itu bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan.
Tak boleh, aku tak boleh membunuh Nafa.

Aku harus mencari cara menjauhkan Nafa dari kehidupan. Tentu tanpa harus membunuhnya secara langsung. Jika ia lenyap, tak ada satu orangpun yang akan mengarahkan kejahatan itu padaku. 

Mengugurkan kandungan bisa saja dilakukan, tapi gadis itu tetap akan mengikutiku. Dan hal tersebut sangat membahayakan karena saat ini aku harus bersih. Ardi harus tampak sebagai pria baik, tanpa cela sedikitpun. 

*

"Kita pulang saja, aku tak kuat lagi pergi lebih jauh," pinta Nafa di pertengahan jalan. Aku mengajaknya duduk di tonjolan akar salah satu pohon besar yang ada di rute perjalanan.

Ia sepertinya memang sangat kepayahan. Wajahnya bukan lagi putih, tapi menguning. Bibir sudah seperti kehilangan darah. Sorot matapun telah kehilangan binar-binar yang biasanya berkilau-kilau.

"Kalau kita pulang tetap harus naik motor, kau pasti akan makin sakit sebab mual dan lemas. Kita di sini saja dulu sampai tubuhmu nyaman. Aku akan memelukmu." 

Nafa tak membantah, ia tak punya pilihan selain menuruti saranku. Tubuh gadis imi terkulai lemah dalam pelukan.

Aku harus bersabar sebentar lagi. Biar kami menikmati belaian angin yang kian menggigilkan kulit suhunya. Bulu-bulu tengkuk sampai meremang kala udara bergerak itu menyentuhnya.

Mataku mengitari sekeliling tempat ini. Hanya ada pohon - pohon besar tak beraturan. Di antara tumbuhan itu diselingi perdu atau belukar. Ada juga bebatuan. Tanah yang tak tertutup dedaunan kering dan ranting kering cenderung lembab. Jika hujan pasti jalanan ini licin. 

Aku mendekapnya erat untuk waktu tak ditentukan. Patokan adalah tidurnya Nafa. Pasti tak perlu menunggu lama lagi.

Saat dengkuran halus terdengar aku menyadari bahwa Nafa telah tidur. Inilah waktunya.

Kuambil sapu tangan yang kemudian diolesi obat bius. Sengaja kulakukan setelah tidur agar tak terjadi teriakan dan perlawanan apapun.

Bisa saja aku melakukan dari awal, tapi membawa orang pingsan di tempat yang belum benar-benar sepi itu berbahaya.. Maka, sengaja dibawa ke sini agar aman.

Aku mengikat tubuh Nafa di belakang dengan tali yang sudah disiapkan. Rencananya akan kubawa lebih jauh ke tempat yang tak memungkinkan lagi ia pulang. Kalaupun bertahan paling dua hari saja di sana. Itupun pastinya sudah tak bisa apa-apa.

Bukan aku kejam, hanya sedang berusaha menyingkirkan duri dalam kehidupan. Salah sendiri kenapa mau-maunya menyerahkan kehormatan pada pria yang belum berstatus suami. Dasar wanita bodoh!

Lelaki kadang hanya menerima undangan dari mereka yang menawarkan diri. Kami tak sepenuhnya salah. Merekalah yang telah mengumpankan dirinya untuk disantap.

Aku sampai setelah dua jam perjalanan mengendarai motor. Entah ini tempat apa namanya. Yang pasti suhunya lebih dingin dari area kami istirahat. Pepohonan lebih rapat dan udara lembab.

Kucari tempat yang dihampari daun-daun yang telah menghitam warnanya. Juga ranting-ranting rapuh akibat terlalu lama gugurnya.

Tak boleh meninggalkan jejak sama sekali. Maka jaket yang tadi dipakaikan kulepas. Ponsel dan dompetnya kuambil untuk diamankan di tempat yang tak mungkin terdeteksi siapapun. 

"Kau sangat cantik, Nafa, sayang kau tak bisa membuatku bergelimang harta. Terima kasih atas kenikmatan yang kau sajikan selama kita bersama. Ingatlah, aku tidak membunuhmu, aku hanya memindahkanmu ke tempat dimana kau akan terhindar dari rasa malu untuk selamanya."

Setelah memastikan semua sempurna, aku meninggalkannya dalam sepi, dingin dan berbahaya pasti.

Next!

*

Jangan lupa subscribe biar dapt ingo update bab! 








Komentar

Login untuk melihat komentar!