Ustaz Azzam meminta satu mobil menjemput ke lokasi kami berada pada kyai. Katanya minta salah satu putri Kyai ikut di mobil. Dia bilang ini darurat. Nanti akan diceritakan setelah sampai pondok.
Murid kesayangan kyai tersebut tak butuh banyak kata untuk meyakinkan gurunya. Semua permintaan langsung diacc. Wajar, sebab ustaz Azzam adalah salah satu kepercayaan di pesantren ini. Bahkan, digadang-gadang akan menjadi menantunya.
Pria itu sudah matang untuk naik pelaminan. Kadang bingung mengapa pria tampan, sholeh dan mapan itu belum juga melamar seorang gadis. Aku yakin yang mau dengannya bukan hanya satu dua orang, banyak yang siap jadi istrinya pasti..
Para santri diberangkatkan dulu ke pondok dengan bis. Komando diserahkan pada ustaz Aziz. Aku dan ustaz Azzam tetap di sini sampai mobil jemputan datang.
Untuk mengisi waktu, aku dan ustaz Azzam duduk di salah satu kedai di luar pos pendakian. Tempatnya ada di depan jalan hingga mudah diakses oleh siapapun
Tempatnya berupa bangunan sederhana. Hanya kios berukuran tiga kali empat meter. Ada dua meja panjang. Masing - masing dikelilingi enam kursi tanpa sandaran.
Masakan di simpan di etalase kaca tiga tingkat yang langsung menghadap jalan. Kalau dapur di belakang sepertinya.
Satu pelayan menyimak apa yang kami pesan. Tanpa mencatat ia memastikan pesanan akan segera disajikan.
Makanan khas Sunda ini memjadikan lidah susah berhenti bergoyang. Apalagi pepes ikan peda yang pedasnya nampol. Uztaz Azzam sampai tertawa melihatku kepedesan sebab rawit merahnya tergigit. . "Makanya santai saja, Fah! Baru, ya makan pepes peda?"
"Iya, baru. Ternyata enak puol!"
Aku dan dia tertawa sebelum melanjutkan makan.
"Seperti apa lelaki gunung itu? Apa seumurku kira-kira?" tanya ustaz Azzam setelah kami beres makan.
"Afwan, saya tak bisa menceritakannya. Saya sudah janji padanya untuk tak membocorkan rahasia."
"Baiklah, amanah memang harus dipegang."
Setelah kami ngobrol hampir dua jam, mobil jemputan datang. Dari dalamnya turun putra dan putri kyai Ahmad.
Kami menghampiri Ustaz Fathan dan ustazah Fatiya. Setelah saling berbalas salam, aku menceritakan apa sesungguhnya yang terjadi.
Reaksi dua orang itu sama seperti ustaz Azzam sebelumnya. Maka dari itu aku butuh meyakinkan juga.
"Baiklah, nanti gadis itu masuk ke rumah kami saja. Kalau ke pondok akan ada desas-desus tak baik, " putus ustazah Fatiya.
Tak lama dari keputusan, satu pesan masuk dari nomor tak dikenal. Isinya
(Jalan sekarang, aku tunggu di belokan kiri sebelum jalan utama. Masuk ke kebunnya belok kanan)
Uataz Fathan yang mengendarai mobil mengikuti petunjukku. Dan dengan mudah kami dapat menemukan keberadaan gadia depresi itu. Ia sedang dalam pengaruh obat bius jadi tak perlu sulit membawanya masuk.
Lelaki gunung itu tak ada di sini. Ia hanya menyelipkan secarik kertas di bawah tangan sang gadis. Isinya pun hanya permintaan untuk menjaganya. Dan tak usah mencarinya lagi selamanya.
Aku menghela napas panjang sebelum meninggalkan tempat ini. Sebenarnya ingin jumpa untuk terakhir kali. Berterima kasih secara langsung, tapi sudahlah.Untuk membalas budi, aku akan selalu mendoakan kebaikan untuknya.
*
Dua hari sudah gadis yang diberi nama Syakila oleh kyai ada di pesantren. Ia diterapi oleh para ustazah dengan telaten. Plus dirawat oleh dokter di klinik pesantren. Meski keberadaan gadis itu sudah diketahui para santriwati, mereka berjanji untuk tak bercerita pada siapapun.
Kandungannya dapat dipertahankan. Hanya saja tetap beresiko keguguran. Apalagi kondisi mental Syakila tertekan. Bukan tak mungkin dia melakukan hal ekstrim.
Aku tak bosan bertanya tentang perkembangannya pada ustaz Azzam. Sebagai santri aku tak punya akses pada kehidupan santriwati.
Ustaz Azzam sendiri pasti punya informasi dari mudir. Maka dari itu aku selalu merepotkannya dengan berbagai pertanyaan. Seperti saat ini, setelah sholat Zuhur kami berbincang-bincang sebelum makan siang.
"Sepertinya kamu sangat peduli padanya. Ingat, Fah kita dan mereka bukan mahrom. Percayakan saja pada akhwat soal penyembuhan ukhty Syakila."
Pernyataan ustaz Azzam itu cukup mengagetkan. Aku tak melanjutkan pembicaraan sebab khawatir ada persepsi kurang baik lagi di benaknya. Lebih baik diam saja
Jujur, aku khawatir pada gadis itu. Takut terjadi hal buruk padanya. Bagi orang lain mungkin aneh sebab kami tak ada hubungan apa-apa. Mungkin karena dibayangi masa lalu juga hingga bersikap seperti ini.
Aksi diam-diaman ini terhenti saat dari balik tirai shaf perempuan terdengar suara salah satu ustazah. Ia mengatakan yang membuatku langsung berdiri.
"Ustaz, tolong bantu kami mencari Syakila. Tak ada di kamarnya! Kami sudah mencari di semua kamar, tak ada!"
Tanpa menunggu reaksi ustaz Azzam aku sudah berlari keluar masjid. Setelah memakai sandal jepit, aku langsung mengayunkan kaki sekencang-kencangnya.
"Fahreziii, tungguuu, kita cari bersama. Ke pondok akhwat dulu!"
Aku tak menggubris ucapan ustad Azzam. Otakku sudah dicengkram segala kemungkinan buruk. Bahkan yang terekstrim yaitu ia pergi ke bukit di belakang pondok. Dan terjatuh ke lembah yang ada di ujung kanan tempat ifu..
Ke sana, ya aku akan ke sana!
Syakila, jangan lakukan hal gila! Kamu masih muda, masih banyak harapan menggenggam masa depan..
Tentang buruknya masa lalu, bertobatlah, lalu kemasi diri menjadi pribadi bertakwa sekarang dan di masa yang akan datang
"Syakila! Syakilaaaaa!"
Di bukit aku tak henti memanggilnya. Harus ketemu, harus!
"Ada tidak?"
Ustaz Azzam berhasil mengejarku. Ia bertanya dengan napas tersengal-sengal. Aku belum bisa menjawab sebab suara masih kalah dengan sesaknya napas.
"Kita ke sana, ayo!"
Aku mengikuti gerakan ustaz Azzam menuju atas bukit. Para ustazah dan sebagian santriwati masih tertinggal di bawah. Mereka tak mampu mengejar sebab lari kami kencang sekali.
"Abang, abang, abang di manaaa?"
Aku dan ustaz Azzam melipatgandakan kekuatan saat mendengar teriakan Syakila.
"Abaaaang, aku takut abaaaang!"
Gadis itu berjalan tanpa memerhatikan sekelilingnya. Ia melangkah menuju puncak bukit sisi kanan. Di sana, di ujungnya ada jurang.
"Syakilaaa, jangan ke sanaaa!"
Aku melesat laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Kutarik tangan gadis itu hingga tubuhnya menabrak tubuhku. Efeknya aku terjengkang, lalu meluncur ke tanah.
Posisi kami sekarang tak berjarak. Aku terduduk dan Syakila memelukku erat. Ia mengguncang-guncangkan tubuhku dengan tangannya. .