PENDAKIAN GUNUNG
FAHREZI

"Benar jadi ke gunung? Cuacanya tidak bagus, loh! Takut ada longsor!" kata ustaz Arif. Lelaki berjenggot agak lebat itu tetap tak setuju pada rencana rihlah jelang liburan ke gunung. Beliau menyarankan ke tempat lain saja, misal perkebunan. 

"Insya Allah aman, Ustaz. Kami akan berhati-hati. Rencana ini sudah lama juga, khawatirnya para santri kecewa! Lagipula kami hanya membawa santri tanpa menyertakan santriwati!" jawab ustaz Malik. 

Aku menyimak dengan cermat perdebatan para ustaz. Dalam hati ingin membantu ustaz Malik berargumen, tapi urung. Kiranya takut dianggap tak sopan.

"Fahrezi coba sampaikan tentang kondisi gunung yang menjadi tujuan kita!" perintah ustaz Malik.

Barulah setelah mendapat mandat, aku bicara soal gunung Salak yang akan kami daki bersama. Kenapa ke sana sebab medannya cukup menantang untuk ditaklukan. Tapi pemandangannya luar biasa. Jiwa pecinta alamku meronta setelah sekian lama dipendam sebab sibuk belajar di pesantren.

Papa memaksaku masuk ke tempat ini untuk belajar agama lepas SMU. Katanya kuliah nanti saja setelah setahun terapi efek narkobaku berhasil dihilangkan. 
Jadilah masuk ke sini.

Jika setahun belum ada perbaikan, karantinaku di tempat ini akan diperpanjang. Aku hanya bisa pasrah daripada dikirim ke tempat rehabilitasi mending ke sini ternyata.

Aku hampir lewat sebab over dosis. Parah memang keterlibatanku dengan dunia hitam itu.

Berkat kelembutan dan kesabaran para ustaz, perlahan-lahan hatiku melunak. Sekarang sudah mau duduk untuk belajar bersama santri lain. 

Usia mereka lebih muda dariku karena masih setaraf SMU. Makanya di sini aku dianggap senior. Senior badung. Di awal malah sering membully anak-anak polos itu. Sekarang tidaklah, sudah sholeh kata ustaz Malik. Padahal hapalan saja baru kelar satu juz. 

Berbekal pengamalam mendaki gunung, aku sampaikan kondisi gunung salak. Trik-trik melewati jalur curam serta antisipasi jika ada longsor. Aku rekomandasikan lewat jalur Cidahu saja supaya lebih mudah pendakian.

Ustaz Arif sebagai mudir santri Aliyah mulai melunak. Mungkin karena percaya pada penjelasanku. Ditambah ada ustaz Azzam yang juga pernah bergelut dalam dunia menjelajah gunung sewaktu kuliah.

Ustaz Malik juga mengompori dengan menyampaikan antusias santri akan pendakian ini. Katanya sesekali menjelajah medan terjal itu tak masalah. Seru malah.

Keputusannya, kami diizinkan rihlah ke puncak gunung Salak. Menurut badan meteorologi saat ini tidak ada tanda-tanda akan meletus. Lagi damai.

*

Para santri tampak antusias menyusuri jalur pendakian gunung salak. Mereka tak henti memuji Allah ketika menyaksikan kebesaran-Nya yang tampak pada pemandangan menakjubkan. 

Setelah Pos Bajuri kondisi jalan berupa tanah basah dan berlumpur. Kondisi trek mulai banyak tanjakan terjal, bahkan kami beberapa kali melalui tanjakan dengan menggunakan webbing yang sudah tersedia. Makin lama, trek makin berbahaya, sempit, sisi kiri dan sisi kanan adalah jurang yang cukup dalam.

Cuaca cukup cerah tidak ada kabut yang mengiringi pendakian. Kami berjalan sampai tiba di puncak bayangan. Karena di sini ada tanah datar yang lumayan luas, kami pun mendirikan tenda.

Di sini kami makan dan minum sambil melepas lelah. Rencananya juga akan menginap semalam di tempat ini. 

Kami akan melanjutkan pendakian menuju puncak Manik esok hari. Sekarang menikmati area di sini saja dulu sambil melakukan berbagai aktivitas.

Malam hari suasana berubah. Hujan lebat mulai mengguyur tempat ini. Hatiku cemas sebab terbayang kondisi medan jika sudah hujan. Khawatir longsor jadi momok menakutkan.

Harusnya aku mendengar nasehat ustaz Arif untuk tak mendaki gunung. Bogor susah diprediksi cuacanya. Meski kemarau, tetap saja banyak hujan.

"Ustaz bagaimana ini?" bisikku pada ustaz Azzam yang menjadi pemimpin ekspedisi. 

"Kita lihat kondisi besok. Jika alam tak bersahabat, kita pulang saja, tak usah lanjut ke puncak Manik," jawabnya dengan tenang.

"Saya nyesel maksain kehendak ke sini. Bagaimana kalau ada bahaya dengan para santri," keluhku.

Ustaz yang belum menikah ini menepuk pundakku. Ia kemudian mengucapkan kata-kata penyemangat.

"Mereka bahagia menjelajah alam ini. Tepat, kok pilihan kita. Sekarang jangan mikir macam-macam. Baiknya kita berdoa untuk keselamatan bersama. Ingat, bahagia, celaka, jodoh, mati, rezeki ada di sisi Allah."

Aku mengangguk-angguk untuk merespon nasehatnya. Syukurlah pria tampan ini tak menyalahkanku atas usul pendakian.

*

"Karena cuaca tak bersahabat, maka kita tak bisa melanjutkan pendakian. Ustaz Malik, ustaz Arif dan Kyai Abdullah sudah memerintahkan kita kembal!"

Meski kecewa, para santri tak bisa membantah perintah para ustaz. Kami pun harus berbesar jiwa melepas keinginan mencapai pumcak gunung ini.

"Semoga lain waktu kita masih diberi kesempatan menjelajah bumi Allah yang sangat luas ini. Sekarang kita bersiap pulang sebelum hujan kembali datang."

Para Santri bersegera mengemasi barang-barangnya. Ada yang bertugas merapikan tenda, mengumpulkan peralatan masak, memunguti sampah dan lain-lain.

Aku juga ikut berjibaku dengan kesibukan itu. Tak boleh hanya diam walaupun mereka mengatakan padaku untuk tak perlu repot membantu.

Saat pulang, kami lebih berhati-hati sebab jalanan sangat licin. Bahkan ada yang lumpurnya sampai setengah betis. Karena para santri tak berpengalaman, jalanan ini jadi makin sulit ditempuh.

Di jalan sempit yang sisinya jurang jantungku terpompa lebih cepat. Sepertinya itu juga yang terjadi pada semua orang.
Jalan menurun ini membuat kami benar-benar seperti bertaruh nyawa.

Ustaz Azzam berada di depan memandu, sementara aku di belakang menjaga. Satu persatu berhasil lolos dari kondisi kritis.

Tapi, santri terakhir terkilir hingga hampir tergelincir. Aku bereaksi spontan menariknya tanpa menakar resiko. Dan, santri itu selamat sebab kuhempas dan berhasil diraih temannya. 

Aku sendiri hilang keseimbangan setelah menolong anak remaja itu. Lalu, aku..

"Fahreziiiiii!"

Ya, Allah, inikah akhir usiaku?

*

Siapa pula itu Fahrezi? Apa hubungan dengan Nafa kelak? Selamatkah mereka? 

*

Ikuti juga, yok

GADIS BELIA DAN BAYINYA (END) 

"Kenapa bayi itu menangisi terus?" tanyaku pada wanita paruh baya yang baru saja membuka pintu. Mata yang bawahnya terlihat menghitam itu menatapku lekat, lalu menjawab, "Andin tak mau menyusuinya dan anak itu tak mau susu formula!"

Aku mendengkus kasar. Benar-benar keras kepala bocah itu. Kalau tak siap jadi ibu, kenapa harus main api dengan laki-laki. Akhirnya hamil di luar nikah dan hancur hidupnya.

Aku minta izin untuk menemui Andin. Katanya silakan. Lalu, wanita yang ternyata pembantu gadis itu mengikuti. 

Andin duduk di atas ranjang, sedang bayinya ada dalam box. Tatapannya mengarah pada mahluk mungil itu, tapi tak terusik dengan jeritannya. 

"Susui anak itu!" titahku 

Gadis kecil itu menoleh sekilas, lalu menatap lagi ke depan.

"Susui sekarang, atau!" Suaraku tertahan saat dia menoleh dan melemparkan tatapan tajam. 

"Atau apa? Mau memukulku! Atau membunuhku? Lakukan saja!" tantangnya tanpa rasa takut sedikitpun. 

"Susui dia, kalau tidak aku yang akan membuka bajumu!"











Komentar

Login untuk melihat komentar!