"Assalamualaikum ...." Seorang gadis remaja datang memberikan salam.
"Walaikumsalam," jawab mereka hampir serentak.
"Mawah, kamu kok pulang malam?" Tanya Bu Minah ke gadis yang baru sampai itu.
"Tadi abis main volly tanding dengan desa sebelah, Mak. 'Kan aku sudah pamit pulang agak sore atau mungkin malam."
"Oh, Emak lupa." Bu Minah faham karena Mawah dan teman-temannya berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh, zaman dulu jarang orang yang punya kendaraan, jangankan motor, sepeda saja jarang yang punya, jadi untuk jarak yang antar desa mereka berjalan kaki, kecuali mau pergi ke kota, barulah mereka menggunakan angkot.
"Oh, kenalkan ini ayuknya Sarmi, namanya Mawah, dia anak tengah Ibu." Bu Minah mengenalkan anaknya kepada Nina.
"Nina ...." Nina mengulurkan tangannya, sudah bisa ditebak, ini 'Uwaknya' (panggilan untuk kakak perempuan atau lelaki dari Orangtuanya).
"Mawah," jawab gadis itu menjabat tangan Nina.
"Wah, kamu carikan pakaian yang bisa dipinjam dengan Nak Nina, dia mau tinggal di sini, tapi baju-bajunya ketinggalan di perkemahan." Ibu menceritakan ke Mawah, semuanya, dan sementara waktu Nina akan tinggal bersama mereka.
"Ayo, Nin, ikut ke kamarku. Kamu boleh pakai pakaianku yang pas sama kamu." Mawah mengajak Nina ke dalam kamarnya.
'Uwakku memang baik, ternyata masa mudanya juga sangat baik, padahal baru kenal denganku.' Nina berguman dalam hati, sambil mengikuti Mawah.
Nina masuk ke dalam kamar, dilihatnya tempat tidur ranjang besi, diatasnya ada kasur kapuk berbalut sprei biru bermotif bunga-bunga, terpasang kelambu warna putih, sangat sederhana, beda dengan tempat tidurnya springbed yang empuk dilapisi bedcover yang cantik.
Mawah membuka lemari kayu sederhana berukuran sedang yang terletak dekat jendela berterali terbuat dari kayu.
"Sini Nin, silahkan pilih." Nina kemudian mendekat, semuanya baju dress zaman dulu, ada juga baju tidur daster yang sederhana.
"Oh, iya, kebenaran aku punya beberapa dalaman yang belum ku pakai." Mawah menarik laci paling bawah, mengambil bungkusan yang berisi celana dalam dan bra baru, kemudian ia memberikan 2 bra dan 4 celana dalam yang masih baru, sepertinya memang belum pernah dipakainya.
"Terimakasih banyak ya, Yuk. Maaf, aku benar-benar merepotkan kalian." Nina menerima pemberian Mawah, ia benar-benar terharu, keluarganya dimasalalu, semuanya baik.
"Kamu, silahkan mandi duluan, ni pakai saja handuk punyaku." Mawah menarik handuk yang tergantung di paku dinding kamarnya, kemudian memberikannya kepada Nina.
****
Makan malam pun tiba, semua anggota keluarga sudah pulang, Ibu Minah. Mengenalkan Nina ke mereka semua.
"Ayo makan! jangan sungkan, Nak." Ibu Minah menghidangkan aneka lauk-pauk, ikan bakar, sayur, sambal, rebusan dan lalapan, Tapi tidak ada daging sapi atau ayam.
'Banyak sekali masakan Nenek, Ibu bilang zaman kecil dulu, hidupnya susah.' Nina menatap hidangan itu, ia teringat Ibunya dan juga ceritanya.
Nina mengambil nasi secukupnya dan juga lauk kemudian mulai menyuap nasi ke mulutnya, ia merasa seperti makan di rumahnya, mungkin ilmu memasak Ibu resep dari Neneknya.
"Enak, Bu. Masakannya." Nina memberi pujian sebagai rasa terimakasihnya atas kebaikanmu keluarga Bu Minah, dan ia terus berusaha akrab dengan mereka.
"Ah, cuma masakan kampung, Nak. Kamu 'kan dari kota, pasti sudah terbiasa makan enak, daging sapi dan ayam."
"Lebih enak ini kok, Bu. Tanpa kolesterol," ujar Nina.
"Kolesterol itu, apa Yuk?" Tanya Sarmi polos, Nina yakin mereka semua tidak mengerti, Nina sepertinya harus hati-hati dalam berbicara.
"Oh, itu tumpukan lemak dalam tubuh kita, kalau berlebihan tubuh kita akan gendut, dan kita bisa sakit," ujar Nina memilih kata yang bisa dimengerti mereka.
Usai makan Nina membantu Mawah membereskan dan mencuci piring, ia berusaha beradaptasi dengan keadaan zaman yang ditinggalinya sekarang. Semua peralatan dan lain-lain sangat jauh beda pada masanya.
Sesudah makan mereka duduk di teras, menikamati angin malam, kalau di zamannya jam segini Nina dan keluarga nonton tivi, atau main handphone, tapi saat ini juga menyenangkan bercerita satu sama lain terasa lebih akrab, diliriknya Ibunya sedang belajar menggunakan lampu minyak tanah yang terbuat dari botol bekas syrup obat batuk dan sumbuhnya dari kain bekas yang digulung kecil supaya minyak tanahnya naik, sedangkan diluar diterangi oleh api obor yang terbuat dari bambu.
Tiba-tiba,
"Assalamualaikum, Bi." serombongan pemuda kampung datang ingin bertamu di rumah mereka.
"Waalaikumsalam," jawab mereka hampir bebarengan.
"Mawah, ada Bi? Tanya salah satu dari mereka masuk.
"Ada, tunggu bentar ya, Ibu panggilkan." Ibu Minah masuk ke dalam memanggil Mawah yang sedang mengajari Sarmi membaca, Nina pun ikut masuk.
Kemudian Mawah keluar menemui mereka, Nina menggantikan mengajari Sarmi lanjut belajar.
Setelah hari hampir tengah malam, Nina tidak tau jam berapa karena tidak jam dinding di rumah ini, akhirnya mereka pamit pulang.
Nina membaringkan tubuhnya di samping Mawah, sedangkan Sarmi tidur bersama Siti, gadis kecil yang kepalanya botak, anak angkat Ibu Minah.
Mata Nina masih enggan terpejam, ia merasa kurang nyaman tidur tertutup kelambu.
"Yuk, mereka itu tadi teman Ayuk?"
"Kalau kami di desa, memang ramai yang tandang(ngapel) tiap malam, Kalau kamu di kota, Nin, gimana?" Tanya Mawah.
"Oh, maksudnya pacar ya, Yuk? Kalau kami di kota (Maksudnya dizamannya Nina) pacar itu cuma satu, Yuk. Mereka datang paling malam minggu atau siang hari." jawab Nina sambil menatap atap kelambu.
"Kalau di sini ramai seperti itulah, ada yang cuma nemani temannya tandang, kadang memang orang yang suka dengan kita datangnya kebetulan berbarengan." Mawah menjelaskan.
"Apa nggak berkelahi tu Yuk? Cemburu misalnya."
"Hahah, nggaklah, Nin. Kan belum jadi istri orang." Mawah tertawa kecil.
Nina berpikir sepertinya benar juga, tapi kalau di zamannya, punya pacar dua saja. Itu sudah dicap 'Selingkuh'.
"Oh, ya sudah. Kita istirahat, Nin. Besok kamu boleh ikut aku keliling kampung bertemu teman-temanku, setelah kita membereskan pekerjaan rumah." kemudian mereka terlelap, sebelum tidur Nina berdo'a saat bangun ia terbangun esok pagi, ia ingin terbangun dikamarnya, ia ingin sekali pulang, rindu dengan keluarganya dan ingin sekolah.