Renata.
Dulu, aku selalu mencibir ketika mendengar orang-orang yang sakit hati karena putus cinta, aku selalu menganggap mereka berlebihan. Namun ternyata inilah yang kualami sekarang. Beberapa hari belakangan ini aku selalu seperti susah untuk bernafas, selalu ada yang sakit di dadaku dalam setiap helaan nafasku. Itulah yang terjadi padaku sejak perpisahanku dengan seseorang yang sepuluh bulan belakangan ini selalu mengisi hari-hariku. Terus terang saja, diam-diam aku masih mengharapkan perhatiannya, dan itu ternyata itu terasa sangat menyakitkan.
Aku baru menyadari, perpisahan membawa rasa yang berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Ada sebagian orang merasa biasa-biasa saja, bahkan ada sebagian lagi yang malah merasa gembira dengan perpisahan, tapi ada juga yang merasa sedih bahkan terpuruk seperti yang sedang kualami.
[Aku ingin bertemu denganmu besok, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bisa?] Isi pesan dari Mas Abian di applikasi Whatsapp.
[Di mana, Mas?] Balasku.
[Terserah kamu mau di mana.]
[Baiklah, nanti kukabari kembali.]
Aku menghela napas, hanya seperti itu isi pesan berbalasku dengannya. Kapan dan di mana? Entah mengapa aku merasa masih belum siap untuk bertemu dengannya setelah pria itu menyandang status sebagai seorang suami. Aku membayangkan apa yang akan terjadi ketika kami bertemu. Apakah sikapnya masih sama seperti sebelumnya? Rasa-rasanya pelaminan tempatnya berdiri waktu itu menjadi tanda akan sirnanya semua kisahku dengannya.
Dan jika kami benar-benar bertamu, maka itu adalah pertemuaan pertamaku dengannya setelah ia pamit padaku, pamit untuk menikahi wanita yang telah dipilih untuknya. Mungkin kami memang harus bertemu, apalagi aku sudah seminggu ini menghindarinya, tepatnya sejak kudengar nama wanita lain yang dilangitkannya dalam ijab kabul.
Aku gelisah, menduga-duga apa yang akan dikatakannya jika kami bertemu, urusan apa yang membuatnya memintaku untuk bertemu sementara ia sudah seranjang dengan wanita yang telah dinikahinya. Adakah urusan di antara kami yang belum selesai selain urusanku dengan hatiku yang masih sakit? Bagaimana jika saat bertemu dengannya aku masih membawa rasa yang selama ini ada? Bagaimana pula jika dia pun masih membawa rasa yang sama? Bagaimana kusembunyikan rindu ini saat bertemu dengannya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
Namanya Abian, aku memanggilnya Mas Abian. Kami berdua berada dalam satu wadah organisasi jurnalis. Dia adalah pemimpin redaksi di mana aku bernaung sebagai jurnalis. Selain itu, Mas Abian juga mengembangkan bisnisnya dengan membuka percetakan dan penerbitan. Hal itu membuat kami yang berkecimpung di dunia literasi dan jurnalis lebih mudah menerbitkan gagasan tertulis kami. Mas Abian juga mendirikan beberapa komunitas jurnalis yang berkembang pesat di kalangan akademis. Mas Abian menggandeng para murid sekolah atau pun santri untuk dapat menuangkan ide, gagasan ataupun ilmu mereka dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, Mas Abian menggerakkan para kamu muda untuk berdakwah melalui tulisan.
Kembali memikirkan isi pesannya tadi, pikiranku kembali gundah. Aku memutar-mutar ponsel dalam genggaman tanganku. Kapan dan di mana aku akan bertemu dengannya? Aku tak punya ide, pikiranku seperti kosong, sekosong hatiku yang hampa ditinggal olehnya.
“Dari Mas Abian?” Suara Haikal di samping membuyarkan lamunanku.
“Iya,” jawabku singkat.
Haikal, temanku semasa SMU. Ia dulunya adalah Ketua Osis di sekolah kami, sedangkan aku sekretarisnya merangkap Ketua Mading (Majalah Dinding) di sekolah. Organisasi kami maju pesat pada saat itu, kami berhasil menyabet berbagai kejuaraan menulis tingkat SMU yang diadakan di kota kami. Kesuksesan OSIS di bawah pimpinan Haikal benar-benar membuat sekolah kami diakui sebagai masa keemasan sekolah kami. Begitupun dengan mading yang kupegang. Beberapa kali sekolah lain mengunjungi kami sambil mempelajari bagaimana mading sekolah kami bisa berkembang pesat. Aku bahkan beberapa kali diundang ke sekolah-sekolah lain untuk mempresentasikan metode yang kuterapkan dalam membina mading.
Haikal jua lah yang akhirmya pertama kali memperkenalkanku pada Mas Abian, seniornya di Organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kampusnya. Aku sendiri setelah lulus kuliah memilih kampus swasta karena tidak mengikuti kegiatan SNMPTN. Waktu itu aku sedang dirawat di rumah sakit dengan gejala types karena terlalu banyak kegiatan ketika teman-temanku yang lain sedang berjuang mengikuti Ujian SNMPTN. Haikal termasuk salah satu yang beruntung lulus di jurusan yang memang dari dulu dibidiknya, Jurusan Jurnalistik. Tak ikut ujian SNMPTN tak membuat semangatku untuk melanjutkan kuliah kendor. Ketika orang tuaku menyuruhku untuk istirahat sejenak dan melanjutkan kuliah di tahun mendatang saja, aku menolak. Aku memilih salah satu kampus swasta di kota dan juga memilih jurusan jurnalistik, sama seperti Haikal.
“Urusan kerjaan?” Suara Haikal kembali membuyarkan lamunanku.
“Sepertinya bukan, Mas,” jawabku singkat.
“Masih ada urusan pribadi yang belum selesai?”
“Aku nggak tau, dia ngajak ketemuan.”
Kulihat Haikal melirikku sekilas kemudian kembali fokus menyetir mobilnya. Kami berdua sedang dalam perjalanan pulang setelah mewawancara seorang sumber untuk bahan artikel di kolom Opini pada buletin “Dakwah” yang kami terbitkan setiap bulan.
Aku terdiam dan masih memikirkan sebaiknya di mana aku bertemu dengan Mas Abian. Besok memang hari Minggu, kurasa besok adalah waktu yang tepat untuk menemuinya. Tapi di mana? Kurasa tempatnya pun harus tepat mengingat kami sudah tak lagi bisa seakrab dulu lagi.
[Kabari kapan dan di mananya, ya, Ren. Aku tunggu.]
Pesan dari Mas Abian kembali masuk di applikasi pesan pada ponselku. Aku menarik napas, jika membaca pesan darinya saja sudah membuat hatiku tak karuan begini, bagaimana jika bertemu dengannya?
“Kalau perlu ditemani aku siap menemanimu,” ucap Haikal. Kurasa lelaki berkacamata itu tau kalau aku tengah gundah.
Ya, pesan dari Mas Abian tadi memang membuatku gundah. Bagaimana tidak, sudah dua minggu ini aku berusaha keras untuk tidak menangis memikirkannya. Komunikasi di antara kami benar-benar putus begitu saja pada hari di mana dia mengucapkan ijab kabulnya atas wanita lain. Padahal sebelumnya, hampir setiap ada waktu luang kami menjalin komunikasi, nomornya menjadi nomor yang paling banyak berinteraksi denganku melalui pesan maupun telepon. Entah itu untuk membahas beberapa tulisan yang akan diterbitkan, membahas organisasi, ataupun hanya sekedar menanyakan kabar dan menanyakan apa aku sudah makan atau belum. Ah, aku rindu masa – masa itu.
💦Bersambung💦
Login untuk melihat komentar!