Kulihat Haikal terdiam sejenak seperti sedang berpikir. “Oh, itu Renata. Dulu dia jadi sekretaris Osis di sekolah kami dan aku ketuanya.”
“Wah, kamu dekat dong dengan dia.”
“Iya dekat, Mas. Kami kadang sudah seperti anak kembar siam kalau sedang serius, ke mana-mana ngurusin organisasi bersama-sama. Tapi kadang kami berdua juga dijuluki “Tom and Jerry” jika sedang berdebat.” Haikal terkekeh.
“Entah mengapa aku seperti pernah mengenalnya.”
“Sebenarnya dia juga penulis, Mas. Cuma ya gitu, anak itu masih malas-malasan. Dia hanya akan nulis ketika mood nya lagi baik. Padahal tulisannya bagus loh, Mas. Salah satu tulisannya bahkan sempat membuatnya mendapat undangan dari beberapa kampus untuk hadir sebagai pembicara dalam seminar.”
“Oiya? Tulisannya yang mana?” tanyaku penasaran.
“Kalau nggak salah judulnya Paradigma Islam di Kalangan Mahasiswi, hanya artikel singkat namun beberapa komunitas sangat tertarik untuk mengupasnya lebih dalam.”
“Hahhh? Dia penulisnya?” Aku terkejut. “Pantas saja tadi aku seperti merasa mengenalnya. Kurasa aku bukan mengenal orangnya tapi aku mengenal tulisannya,” lanjutku antusias. Kulihat Haikal melirikku heran, terlihat dengan kerutan di keningnya ketika menoleh padaku.
“Aku sudah lama mencarinya, Hai. Gini deh, besok kamu jemput dia dan ajak ke markas. Aku tertarik mengajaknya bergabung, kurasa dia cocok menjadi salah satu kader kita.”
“Apa Mas Abi yakin mau mengajaknya bergabung di markas?”
Aku tau arah pertanyaan Haikal, kami memang jarang menerima wanita bergabung di markas. Terlebih sejak aku menjadi pemimpin redaksi di sana. Bagiku, kaum wanita hanya akan membuat masalah dengan segala problematikanya.
“Aku yakin, Hai. Kurasa Renata berbeda dari gadis-gadis lain,” ucapku mantap. Kembali kurasakan Haikal melirik dengan pandangan yang aneh.
Besoknya, saat Haikal kusuruh untuk menjemput Renata di kostnya. Aku sedikit merasa gugup ketika menunggu kedatangannya di kantin yang ada di sudut area markas. Aku sendiri heran dengan diriku, tak biasanya aku seperti ini. Terlebih ini hanya menghadapi seorang gadis. Padahal, biasanya aku selalu percaya diri di organisasi baik itu saat di HMI maupun sekarang saat memberi arahan pada beberapa junior di markas.
“Terima kasih sudah mau datang memenuhi undanganku,” sambutku berusaha memasang ekspresi datar, sementara hatiku sebenarnya sedang bergejolak. Entah kenapa, aku pun tak mengerti. Kulihat dia sedikit heran melihat sambutanku yang datar tanpa ekspresi.
“Ada perlu apa memanggilku?” tanyanya tegas tanpa basa-basi. Caranya bertanya membuatku semakin tertantang dan penasaran pada sosok gadis itu.
Melihatnya sedikit kesal, aku berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan seputar tulisan-tulisannya. Berhasil, Renata pun mulai terlihat nyaman mengobrol denganku. Ternyata mengobrol dengannya sangatlah mengasyikkan. Tak terasa sudah hampir dua jam kami berdua mengobrol di sudut kantin. Renata pun terlihat tertarik saat aku menawarinya untuk bergabung di markas kami.
Hari-hari berikutnya aku dan Rena semakin akrab. Aku semakin bersemangat mengembangkan usaha penerbitan selama Renata bergabung dengan kami. Beberapa kali aku memintanya untuk ikut bersamaku ke sekolah sekolah atau ke pesantren pesantren mengisi kegiatan pelatihan dan bimbingan menulis bagi para murid. Aku memang selalu bersemangat untuk mencari kader dari golongan pelajar, apalagi santri, pengetahuan mereka tentang Islam perlu diimbangi dengan kemampuan mereka menuangkannya ke dalam tulisan. Agar pemikiran-pemikiran mereka bisa tersampaikan kepada orang banyak. Intinya, kami mendorong para santri untuk berdakwah melalui tulisan. Aku menamakannya program “Dakwah dan Tinta”. Ternyata Renata sangat mendukung programku itu, dia selalu bersemangat menemaniku mengunjungi berbagai sekolah atau pesantren hingga ke pelosok sekalipun.
Tak ada ikrar apapun antara aku dan Renata sebagaimana lazimnya pasangan muda-mudi lainnya, kami menjalani hubungan pekerjaan dan hubungan pribadi kami mengalir begitu saja seperti air mengalir. Hingga teman-teman di markas menganggap kami berdua memiliki hubungan khusus. Aku dan Renata tak mengiyakan tak pula membantahnya, kami berdua benar-benar menikmati hubungan kami tanpa tanpa beban. Selalu ada perasaan nyaman ketika Renata menemaniku lembur atau menemaniku survey lapangan. Begitu pun saat aku membimbingnya dalam mengedit tulisan-tulisannya, atau memberinya ide-ide untuk jurnalnya. Kami berdua saling mengisi, saling melengkapi. Sehingga hari-hariku selanjutnya hanya penuh dengan satu nama, Renata. Bagiku markas akan terasa hampa ketika ia tak ada.
Sejujurnya, saat aku bersamanya aku selalu teringat akan niat Ibu untuk menjodohkanku dengan Aisha. Aku mulai sedikit terganggu dengan rencana Ibu tersebut. Jika dulu aku tidak terlalu mempedulikannya, maka sejak Renata hadir dalam hidupku, aku mulai sedikit khawatir. Kurasa aku pelan-pelan aku harus mulai meyakinkan Ibu jika aku sudah menemukan belahan jiwaku, dan itu bukanlah Aisha. Namun, kesibukanku di organisasi dan penerbitan membuat intensitas kebersamaanku dengan Ibu semakin berkurang. Akhirnya selama sepuluh bulan mengenal Renata aku belum pernah bercerita pada Ibu tentang gadis itu, apalagi memperkenalkannya pada Ibu.
Sedangkan Aisha dan Ibu semakin hari semakin akrab. Hampir semua pekerjaan penting di yayasan telah dipercayakan Ibu pada Aisha. Ibu semakin yakin untuk menjadikan Aisha istriku, dan menyerahkan urusan yayasan sepenuhnya pada gadis itu.
“Nak, jangan lembur terus. Di hari libur pun Ibu jarang melihatmu di rumah, apa pekerjaanmu sangat padat? Sesekali ajaklah Aisha jalan-jalan dan berbelanja agar kalian bisa saling mengenal lebih jauh sebelum kamu mengikrarkan ijab kabul padanya,” ucap Ibu suatu ketika.
“Iya, Bu. Maaf Abi memang sedang banyak proyek penerbitan di markas. Abi harus turun tangan langsung agar kader-kader Abi bisa mencontoh kerja keras Abi,” jawabku.
“Tapi kamu juga harus punya waktu pribadi, Nak. Luangkanlah sedikit waktumu di hari libur untuk keluarga dan untuk Aisha.”
“Bu, apa Ibu ada waktu sebentar? Abi mau cerita sesuatu pada Ibu,” ujarku. Kurasa inilah waktunya aku bercerita pada Ibu tentang Renata dan perasaanku padanya.
“Ibu selalu punya waktu untukmu, Nak. Berceritalah, Ibu akan mendengarkan.”
“Bu, bisakah Ibu membatalkan niat Ibu untuk menjodohkan Abi dengan Aisha?”
Kulihat Ibu terkejut mendengar kalimatku.
Bersambung.
Login untuk melihat komentar!