"Jangan cari masalah denganku!" desisku sembari memelintir tangan lalu mendorong tubuhnya hingga mundur beberapa langkah.
"Sombong sekali wanita ini," gerutu pemuda lainnya sambil hendak menyentuh wajah.
Namun, belum sempat tangannya menyentuh, aku sudah lebih dulu menepis dan mendaratkan tamparan keras di pipinya.
"Jangan berani kau menyentuhku!" tegasku dengan menatap tajam.
"Cih, wanita murahan, tapi sok jual mahal!"
"Kau bilang apa barusan?" geramku. Berucap pelan tapi penuh penekanan karena emosi.
"Mu-ra-han."
Sebuah pukulan keras mendarat di kepala pemuda itu. Aku memukulnya dengan tas hingga dia mengaduh dan hampir tersungkur.
"Kurang ajar!" geramnya.
"Sentuh dia dan akan kupatahkan tanganmu!"
Sebuah teriakan membuat gerakan tangan pemuda yang hendak memukulku terhenti di udara.
Ray ....
Aku tersenyum penuh kemenangan. Pria itu memang selalu datang tepat waktu. Ketiga pemuda itu langsung mundur sambil mendengkus kesal.
Jelas mereka akan kalah jika Ray benar-benar menghajarnya. Selain karena Ray ahli karate, tubuhnya pun tak kalah berotot.
"Pergi, Bocah Tengik!" geram Ray.
Ketiga pemuda itu langsung berlarian melihat Ray melotot tajam dengan rahang mengeras dan tangan mengepal kuat.
Aku tertawa dalam hati. Dasar bocah! Ternyata hanya segitu saja mentalnya.
"Kau baik-baik saja?"
Aku menoleh dan tersenyum.
"Seperti biasa. Kau selalu datang tepat waktu, My Hero," godaku seraya mengedipkan sebelah mata. Membuat Ray tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.
"Kita pulang sekarang?"
"No." Aku menggeleng. "Antarkan aku ke hotel lain. Tidak jauh dari sini, kok."
"Lagi?"
Aku mendelik tajam. "Kenapa? Kau keberatan mengantarku? Ya sudah. Aku bisa naik taksi sendiri."
"Tunggu, Al!" Ray mencekal pergelangan tanganku saat hendak pergi. "Aku akan mengantarmu."
Seulas senyuman kembali terukir di wajahku.
"Thanks, Ray. Kau memang yang terbaik," pujiku sembari mengacak-acak rambutnya.
Perbedaan tinggi kami memang tidak terlalu signifikan. Apalagi saat ini aku tengah memakai high heels.
"Jangan mengacak-acak rambutku, Al," gumamnya dengan wajah cemberut.
Ray memang tidak suka jika aku melakukan itu, tapi aku tidak peduli. Aku senang melakukannya.
"Kenapa? Mau marah?" tantangku.
"Ish, mana bisa aku marah padamu," gumamnya pelan.
"Apa, apa? Sepertinya aku dengar kau menggerutu sesuatu." Aku mendekatkan telinga. Berpura-pura tidak mendengarnya.
"Sudahlah. Ayo!" Ia menarikku menuju mobil yang terparkir tak jauh di belakang kami.
Ray ....
Dia orang pertama yang menolongku saat kabur dari rumah. Aku yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota besar, tentu masih bodoh. Banyak hal yang tidak kuketahui.
Sialnya lagi, aku malah kecopetan. Dompet yang berisi semua uang tabungan hilang. Aku lontang-lantung tak tentu arah. Bingung harus apa dan pergi ke mana. Bahkan, untuk makan saja aku tidak punya.
Malam hari saat aku duduk di taman, ada dua orang preman yang datang meminta uang. Mereka juga hendak melecehkanku. Sejak saat itulah aku mengenal Ray.
Dia yang bekerja sebagai supir taksi, tak sengaja melihat dan langsung bergegas turun menolongku. Ray jugalah yang mencarikan kamar sewa bahkan, dia juga membayarkannya langsung untuk dua bulan. Padahal, kami baru saja saling mengenal.
"Kenapa?" Pertanyaan Ray menyadarkanku dari lamunan.
"Tidak apa-apa. Aku hanya teringat masa lalu. Entah akan seperti apa jika saat itu kau tidak menolongku, Ray."
Ray menoleh sekilas dan tersenyum lalu kembali fokus menyetir. Sepanjang perjalanan kami berdua tidak banyak bicara. Aku bersenandung mengikuti alunan lagu yang diputar Ray.
"Alice ...."
"Hm?"
"Apa kau tidak lelah?"
"Lelah? Lelah kenapa?"
"Apa kau tidak ingin keluar dari kehidupanmu yang sekarang ini?"
Pertanyaan itu membuatku sontak menoleh kepadanya dengan kening berkerut dalam.
"Kenapa? Apa kau mulai jijik denganku?"
"Bukan!" tukasnya cepat. "Bukan begitu maksudku, Al."
"Lalu?" desakku.
"Apa kau tidak ingin menjalani kehidupan normal?"
"Memangnya hidupku sekarang tidak normal?" tanyaku ketus.
"Pekerjaan, Al. Apa kau tidak ingin mencari pekerjaan lain yang lebih baik?"
"Ini baik, kok," sahutku cuek. "Lagipula Ray ... kau tahu, 'kan, mendapatkan pekerjaan itu sulit. Aku sudah pernah mencobanya dulu."
"Aku akan membantumu mencari pekerjaan."
"Tidak usah, Ray. Tidak ada yang mau menerimaku. Aku bosan mencoba terus. Lagipula, tidak ada pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang seperti yang kulakukan sekarang."
"Tapi, Al ... aku bisa–"
"Aku suka dengan pekerjaanku yang sekarang, Ray." Aku menyela perkataannya, "Kau juga tahu, dulu aku memang terpaksa bekerja seperti ini, tapi aku sekarang menikmatinya. Tidak ada pilihan lain. Aki hanya berusaha mengikuti alur jalan hidupku."
Hening. Untuk beberapa saat kami berdua sama-sama terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ada satu cara, Al."
"Apa?"
"Ehm ... dengan ... dengan kamu menikah mungkin."
Aku tercengang mendengar saran yang diajukannya lalu spontan tertawa.
"Menikah? Apa kau tidak salah?" tanyaku sembari berusaha menghentikan tawa.
"Apa salahnya dengan menikah, Al? Kau bisa berhenti dari pekerjaanmu ini dan biarkan suamimu yang mencari uang."
"Ray, Ray ...." Aku menggeleng tak percaya. "Saranmu itu konyol. Menikah memang tidak salah, tapi aku tidak tertarik dengan itu. Lagian, mana ada pria yang mau menikahi wanita kotor sepertiku."
"Ada!" sahutnya cepat.
"Oh, ya?" Aku terkekeh pelan mendengar jawabannya yang begitu bersemangat. "Siapa dia?"
Ray terdiam sejenak. "Aku akan memberitahu orangnya padamu kalau kau memang setuju dengan saranku."
"Tapi sayang ... aku tidak tertarik, Ray."
🌺🌺🌺
Pukul setengah sepuluh malam, mobil taksi Ray tiba di depan hotel tujuanku. Sejak perdebatan terakhir tadi, kami berdua belum berbicara lagi.
Ray menoleh padaku lalu menatap bingung amplop putih tebal yang kuletakkan di pangkuannya.
"Apa ini?" Ia mengambil dan menelisik amplop tersebut.
"Untukmu," jawabku sambil tersenyum.
Ray seketika terperangah kaget melihat banyaknya uang di dalam amplop tersebut. Dia kembali memandangku dengan tatapan bingung dan.
"Untuk apa ini, Al? Kenapa kau memberikannya kepadaku? Ambil kembali uang ini," tolaknya sembari Meletakkan amplop itu di tanganku.
"Aku ingin berbagi denganmu, Ray."
"Tidak perlu. Aku masih bisa mencari uang sendiri. Kau lihat, 'kan? Aku bekerja. Meskipun penghasilannya tidak besar, tapi aku bahagia."
Aku mendesah kecewa. Menyandarkan kepala dengan mata terpejam.
"Aku hanya ingin membantumu saja, Ray. Apa itu salah?" tanyaku pelan. "Atau ... kau menolak uangnya karena itu hasil dari pekerjaan hinaku, 'kan?"
"Al ...."
Aku membuka mata dan menoleh kepadanya ketika Ray menyentuh bahuku.
"Uang itu tidak apa-apanya dibandingkan semua jasamu padaku, Ray. Aku berutang budi."
"Al, bukannya aku tidak menghargai niat baikmu itu, tapi ...."
"Aku tahu kau membutuhkannya, Ray. Kau butuh biaya untuk pengobatan ibumu. Please ... terimalah uang ini," mohonku sembari meletakkan kembali amplop itu di pangkuannya.
Ray terdiam sejenak memandangi amplop tersebut sebelum akhirnya tersenyum ke arahku.
"Akan kuganti."
"Tidak usah, Ray."
"Akan kuganti, Al."
"Ya, ya, ya. Terserah kau sajalah," sahutku sembari membuka sabuk pengaman.
"Kau pulang jam berapa?" tanyanya saat aku sudah keluar mobil.
"Entah. Sudah, ya. Aku mau masuk dulu. Kau hati-hati pulangnya. Jangan ngebut!"
Ray mengangguk dan tersenyum. Setelah itu aku bergegas masuk ke dalam hotel tanpa menoleh ke belakang lagi.
Aku melirik jam tangan. Tinggal sepuluh menit dari waktu janjian dengan pria baru. Setelah memesan kamar, aku bergegas naik ke lantai lima.
Mengecek kembali penampilan supaya selalu terlihat sempurna di mata para pria hidung belang.
Setengah jam lamanya aku duduk menunggu di kamar, tapi pria itu tak kunjung datang.
"Sial! Apa pria itu sengaja mengerjaiku?"
Baru saja berdiri dari sofa dan meraih tas, suara ketukan di pintu membuatku urung untuk pulang.
Itu pasti dia!
Dengan cepat aku melangkah menuju pintu sambil merapikan rambut dan dress mini. Memasang senyum maut yang bisa melelehkan hati para pria sebelum membuka pintu.
"Akhirnya kau datang ju ... ga."