Gunjingan tetangga
#Pesugihan_Mertua_7
Dipaksa menyusui Tuyul
Gunjingan tetangga

Bab 7

Meski tubuhku rasanya terkunci, dan tak bisa bergerak, tapi aku masih sadar. Mulutku segera merapal doa-doa. 

Ketiga mahluk itu kemudian seperti menyadari keberadaanku. Serempak tiga kepala gundul itu menoleh padaku. Satu mahluk yang duduk di atas kompor melompat turun. Dia berjalan mendekat ke arahku. Tubuhku menegang, kelopak mataku melebar. Ketakutan melanda, membuat denyut jantungku menjadi secepat motornya Rossi. 

Ya Allah, tolong lah hamba ...

Berjarak hanya sekitar dua meter dariku. Aku bisa melihat wujud mereka. A_apakah ini yang disebut Tuyul? Ya Allah ... Jelek banget.

Bocah bajang itu berhenti tak jauh dariku. Matanya merah menatapku. Wajahnya berkerut seperti orang tua, sedetik kemudian, mahluk kecil itu mengeluarkan seringai di bibirnya. Mempertontonkan giginya yang runcing semua. Mataku mendelik! Seram sekali. 

Mahluk itu berhenti memandangku. Bibirku tak henti merapalkan doa yang kuhafal. Selanjutnya, seperti memberi kode pada kedua temannya, mahluk itu berjalan mundur beebelok ke pintu belakang dan menghilang dalam gelap. 

Astaghfirullahaladziim!

Setelah nafas dan detak jantungku mereda, aku berjalan cepat kembali ke kamar. Bergulung di dalam selimut, mataku mendelik. Aku berpikir, sepertinya Ibu Mertuaku tahu tentang mahluk-mahluk menakutkan itu. Makanya, dia selalu menyisakan makan malamnya. Kupikir, untuk makanan mereka. Hihhh. 

Besok, akan kubuang semua nasi sisa di majikom tadi!

**

Hari Minggu, toko buka setengah hari, tapi gudang tidak. Biasanya, aku dan Mas Harun berangkat siang. Mas Yudi dan Ibu Mertua berangkat seperti biasa. 

Selesai memberesi kamar, aku keluar mencari Suamiku. 

"Mbak Pur, lihat Mas Harun?" Tanyaku pada pembantu setengah tua itu. 

"Di kandang ayam, Mbak," sahut Mbak Pur sambil mencuci piring. Gegas aku berjalan ke samping dapur dan membuka pintu belakang. Pintu ini, yang kemaren malam buat ngilang para mahluk bajang. 

"Mas!" Panggilku. Mas Harun muncul dari dalam kandang. Di tangannya ada sebaskom makanan ayam yang sudah jadi. 

"Sebentar dek, belum selesai," katanya. 

Aku duduk di bale bambu tak jauh dari kandang. Halaman belakang rumah Mertuaku ini masih luas. Banyak pohon besar-besar. Kalau malam seram, sering bau-bau kentang gosong gitu. Mungkin, mahluk kecil-kecil kemaren malam itu, penghuni kebon sana. 

Mas Harun keluar dari kandang. Sekarang dia memberi makan para ayam remaja yang di halaman. Semua ayamnya sama. Mereka berwarna hitam semua. Bulu, mata, kulit, manik mata, ceker dan jenggernya juga item semua. 

Ayamnya tidak dijual, tidak juga dikonsumsi. Setiap malam Jum'at, telor dan salah satu ayam, dibawa Mas Harun dan Mas Yudi keluar malam-malam. Katanya, ada yang minta. Aku nggak terlalu tertarik, makanya nggak pernah nanya.

"Ada apa, dek?" Mas Harun berjongkok di sebelah bale-bale dan mencuci tangannya di air kran.

"Aku mau cerita, Mas," kataku pelan. Biar pun Ibu dan Mas Yudi nggak ada di rumah, tapi masih ada Mbak Pur dan Mbak Wuri. 

"Kemaren malam aku lihat Tuyul!" Bisikku agak keras, biar Suamiku denger. Kening Mas Harun mengernyit. 

"Di mana?" Tanyanya sambil menatapku. 

"Di dapur!" Sahutku dengan mengangguk. Mas Harun terdiam seperti berpikir sesuatu. 

"Pasti mau mencuri uang!" Suamiku bergumam. 

"Bukan!" Sahutku cepat. Bola mataku berputar, melirik ke sana sini. "Mereka mencari makanan." Bisikku dekat telinga Mas Harun. 

"Bukannya, Ibu selalu menyisakan makanan buat mereka?" Mas Harun menatapku heran. 

"Lha itu, Mas. Waktu itu, aku lupa. Nasi sisa Ibu, aku buang ..." Kataku pelan. Kupasang wajah cemas. 

"Nah itu masalahnya!" Mas Harun menggerakkan tangannya menunjuk padaku. 

"Biasanya, mereka makan nasi sisa Ibu. Kalau nggak ada, ya gitu, mereka nyari-nyari." Mas Harun menjatuhkan bobotnya di bale bambu ini. 

Oh gitu, jadi Ibu sengaja nyisain makanannya, buat mahluk itu? Lho kok?!

"Berarti, Ibu dan kamu, tahu dong tentang mahluk itu?" Aku menegakkan badanku dan menyamping, menghadap Suamiku. 

Oops! Mas Harun yang lugu ini keceplosan rupanya. Mas Harun membalas tatapanku, sedetik kemudian, dia mengusap kasar wajahnya dengan tangan. 

"Aku tidak tahu! Bukan kah kamu yang melihatnya?" Suamiku memandang ayam-ayamnya. 

"Lha tadi, kamu bilang, biasanya mereka memakan sisa nasi Ibu. Maksudnya apa?" Cecarku. 

"Aku cuma nebak. Bukan kah kamu juga tahu, Ibu sering nyisain nasi?" Jawab Suamiku tanpa melihatku. Aku melirik Mas Harun. Kupikir dia sedang berbohong. Tak pernah Suamiku ini bicara tanpa melihatku, kecuali dia menyembunyikan sesuatu. 

Malamnya, saat menonton televisi bersama keluaga Suamiku, Ibuku menelepon. Ibu kandungku maksudnya.

"Assalamualaikum, Bu," sapaku.

"Waalaikumsalaam, Rin. Apa kabar?" Sahut Ibuku dengan nada gembira. Suaranya kenceng sampai keluar dari speaker.

"Kabar baik, Bu, ada apa?" 

"Dua hari lagi, Bulik Mi, Mantu. Kamu pulang ya, Rin. Rewang." 

Ah ya, aku lupa. Bulik Darmi, adiknya Ibu kan, mau nikahin Wulan, anaknya. Pastinya aku harus pulang dong, buat ewang-ewang. 

"Iyae, Bu, nanti aku usahakan pulang." 

"Ya sudah, gitu aja, Nduk." Ucap Ibuku mengakhiri sambungan telepon. 

"Siapa yang mau mantu, Rin?" Bumer bertanya padaku. 

"Bulik Darmi, yang rumahnya belakang rumah Ibuku," sahutku. 

"Rina mau pulang dua hari, boleh ya, Bu?" Tanyaku. Bu Yati melihatku sebentar, lalu mengangguk. "Suruh nganter Harun," katanya. Mas Harun mengangguk. 


**

Rumah Bulik Darmi sudah ramai. Aku sudah pulang di sini, dari tadi pagi. Ibuku, segera mengajakku ke pawon besar milik Bulik Darmi buat rewang masak. 

Belum banyak orang datang, hanya beberapa tetangga dekat saja. Setelah berbasa-basi sebentar, aku duduk di tikar, membantu mengupas bawang. Semakin siang, semakin banyak orang datang buat rewang. Dari RT sebelah juga ada. Beberapa ada yang tidak mengenalku. Apalagi aku duduk anteng dan tidak bersuara. Ibuku, entah di mana. Beliau seksi sibuk.

Suasana ramai seketika tercipta, bila Emak-Emak berkumpul. Mulai deh, bergunjing! Aku sih, pendengar saja, mau ikut sok tahu, takut salah hehe. 

"Wah, kalau ada yang punya gawe gini, Tuyul Tuyul pada ngintip ini," seloroh seorang Ibu. 

"Iya, yang punya Tuyul sudah wira-wiri" timpal yang lain. 

Di desaku, warganya masih percaya adanya Tuyul. Mahluk jadi-jadian yang suka mencuri uang. 

"Palingo yo Tuyul e juragan beras!" Kudengar seseorang berbicara dengan nada nyinyir. 

"Iyo mesti! Sopo meneh. Sudah kaya kok ngingu Tuyul," sahut yang lain. 

Juragan beras? Yang mereka omongin siapa ya? Secara juragan beras terkaya di desaku adalah Ibu Mertuaku. 

"Kan biar tambah kaya, Bu!" 

Hahaha hahaha terdengar suara tawa riuh. Aku menghela nafas. 

"Nanti kalau nyumbang, amplop ya dipisah lho ya." Kembali mereka bergunjing. 

"Lho memangnya kenapa Bu?" Tanya yang lain. 

"Nanti ilang semua, kalau kecampur!" Ada yang nyahut. 

"Tapi apa bener juragan Yati melihara Tuyul sih?" Seseorang melontarkan pertanyaan. 

Juragan Yati? Netraku melebar. I_itu kan nama Ibu Mertuaku? 



Bersambung











Komentar

Login untuk melihat komentar!