#Pesugihan_Mertua_
Dipaksa menyusui Tuyul
Tikus besar-besar
Banyak banget sih, tikusnya, bikin geregetan! Setiap kali aku memasuki gudang beras ini, para tikus yang ukurannya besar-besar itu berlarian ke sana ke mari. Geli aku!
Anehnya, para pengawai dan kuli panggul yang setiap hari bekerja dan keluar masuk ke gudang ini, cuek saja. Mereka nggak lihat, atau pura-pura nggak lihat? Tikus besar-besar, mondar-mandir, ngerikitin karung beras, membuatnya berceceran, memakan beras dengan Santuy-nya. Apa itu piaraan ya? Heran, tikusnya seperti jinak dan nggak takut manusia.
"Whuaaa whuaaa!" Jeritku sambil melompat. Beberapa kuli panggul yang sedang bekerja menoleh padaku.
"Ada apa, Mbak?" Pardi, salah satu kuli yang kukenal bertanya.
"I_itu, tikusnya, barusan lewat di kakiku!" Teriakku sambil menunjuk ke timbunan karung beras. Tadi tikusnya lari ke sana, mungkin masih bersembunyi di situ. Pardi cuma melihat, kemudian melihatku sepintas, dan kembali bekerja.
Setdah! Apa nggak lihat? Perlu kacamata kuda keknya! Dengan mencebik, aku segera keluar dari gudang beras.
"Dek, kamu di mana?"
Mas Harun, Suamiku menelepon.
"Dari gudang, Mas, ni mau ke toko," jawabku.
"Tolong pulang dulu bentar dek, ambilin termos air panas yang besar. Ni ada Cik Hwa sama Koh Ahim di toko, buat bikin kopi." Lanjut Mas Harun.
"Iya, Mas,"
Aku pun berputar balik dengan sepeda motorku, pulang ke rumah buat ngambil termos air panas.
Aku baru dua bulan menikah dengan Mas Harun. Ia anak orang kaya. Ibunya juragan beras dan sembako di desa sebelah. Tokonya, terkenal di seantero desa, bahkan sampai Kecamatan. Di beberapa pasar desaku, pasti ada cabangnya. Gudang berasnya luas dan selalu penuh.
Suamiku tiga bersaudara laki semua. Kakaknya sudah menikah dua kali, karena Istri pertamanya meninggal. Istri keduanya juga kurus dan pucat, seperti penyakitan. Adiknya, belum menikah, tapi sedikit aneh. Dia jarang ngomong dan nggak mau bantuin di toko.
Termos besar ini kubawa naik motor. Isinya air mendidih. Aku sendiri tadi pagi yang mengisinya. Melewati gudang beras milik Mertua, aku jadi teringat sesuatu. Karung plastik di toko habis, aku mau ngambil di gudang.
Menyandarkan motor, aku berjalan masuk, tak lupa termos air panas aku bawa. Takut ilang kalau kutinggal di parkiran. Semua pegawai terlihat sibuk, nggak enak mau minta tolong cuma ambil beberapa karung plastik.
Langsung masuk gudang saja! Mataku mencari-cari di mana tumpukan karing plastik biasa di simpan. Oh, itu dia di pojokan. Aku berjalan ke sana.
Cittt Cittt Ciitt
Aku mencari sumber suara. Itu pasti tikus! Ku urungkan mengambil karung, malah aku mencari tikus, Geregetan aku!
Itu dia!
Dua tikus besar sedang makan beras. Tikus itu seperti merasa kehadiranku, tapi tetap cuek. Menjengkelkan! Nantang loh tikus?!
Kubuka termos air panas, kutuang di tutupnya yang besar dan ... Kusiram tikus itu berkali-kali!
Rasain!
Eeh! Tikus itu bergeming, nggak lari. Aku berhenti menyiram. Kok aneh? Tiba-tiba bulu kudukku merinding. Gudang ini, mendadak jadi sepi dan sunyi, tak ada suara.
Aku memandang sekeliling. Takut ih! Kutoleh kedua tikus tadi, sudah nggak ada, mereka menghilang.
Biarin aja, paling juga ntar mati. Tadi aku sudah menyiramnya dengan air panas berkali-kali. Melepuh-melepuh deh! Kapok, tikus nggak ada ahlaq, makan beras seenaknya. Beli dong!
Sampai toko sembako, kok sepi, pada ke mana? Aku celingak-celinguk. Ibu Mertua yang biasanya duduk di meja kasir nggak ada. Mas Harun yang biasanya mengawasi pegawai juga nggak ada? Tamunya juga nggak ada?
"Mbak, Ibu sama Mas Harun mana?" Tanyaku sama Mbak Indah, pegawai yang sedang melayani pembeli.
"Di dalam, Mbak," jawabnya tanpa menoleh. Gegas aku masuk ke dalam toko. Ada ruangan buat istirahat di sana. Ada kamar tidur dan kamar mandi. Lumayan luas juga.
Aku membuka pintu kamar. Ada Mas Yudi dan Mas Harun di dalam. Mereka sedang merubung Ibu. Ada apa nih? Tampak Mas Yudi dan Mas Harun mengoles-oles kaki Ibu dengan krim berwarna putih.
"Ibu kenapa?" Aku mendekat. Betis Ibu melepuh dua-duanya, seperti habis tersiram air mendidih!
Mas Yudi, Mas Harun dan Ibu, menatapku semua. Aku tolah-toleh, nggak ngerti.
"Kamu habis ngapain, Rina?" Tanya Bumer sambil melihat termos air panas yang kutenteng.
"Habis dari gudang, Bu. Banyak tikus, aku siram pakai air panas!" Kuangkat termos lebih tinggi, biar Ibu Mertua bisa lihat.
Ketiga orang di depanku menatapku mendelik. Ibu memijit-mijit dahinya sendiri. Mas Yudi dan Mas Harun lirik-lirikan, bikin aku cemburu saja!
"Besok lagi, kalau lihat tikus di gudang, jangan kamu apa-apain, Rin. Biarin aja!" Kata Mertuaku kemudian.
"Kenapa, Bu?"
Bersambung