#Pesugihan_Mertua_4
Dipaksa menyusui Tuyul
Bab 4
Uang banyak di dalam tas
Panji, adik iparku menarik tanganku dan mengajakku bersembunyi di bawah meja makan. Berjongkok berdua, Panji menempelkan ujung jari telunjuknya di mulut. Memberi isyarat padaku untuk diam. Aku mengangguk, keringat mengucur di pelipisku. Rasanya tegang dan takut.
Kreeekk
Suara pintu dibuka.
Ibu Mertuaku, berdiri di depan pintu. Meskipun gelap, tapi, aku bisa melihatnya jelas dari sini. Kepala Bumer tolah-toleh, seperti sedang mencari sesuatu.
"Rina!" Sepertinya, Bumer memanggil namaku. Aku mengatupkan bibir, nafasku bertambah cepat. Netra Panji, tak lepas menatap Ibunya.
Setelah beberapa saat, Bumer kembali masuk kamar khusus itu. Aku menarik nafas lega. Panji menoleh padaku dengan tatapan tajam menusuk.
"Sedang apa, Mbak Rina, malam-malam di sini?" Tanyaku menekan.
"A_aku haus, mau minum," jawabku beralasan.
"Jangan terlalu kepo di rumah ini, kalau pingin selamat!" Katanya datar. Maksudnya apa nih, kok serem peringatannya?
"M_maksudmu apa?" Tanyaku gugup.
Panji tidak menjawab. Lelaki muda itu berdiri kemudian meninggalkan aku sendiri. Aku menatapnya sampai dia masuk ke kamarnya. Lebih baik aku juga masuk kamar ah, serem.
Menjelang subuh, sekitar jam setengah empat, Suamiku baru kembali. Seperti tadi, dengan mengendap-endap, Mas Harun memasuki kamar dan langsung ke kamar mandi. Aku tak menggubrisnya, pura-pura masih tidur saja.
Suara gemericik air dari kran yang dibuka, terdengar di telingaku. Tak lama, Mas Harun keluar dan langsung berbaring di sampingku. Keluarga ini aneh menurutku. Seperti ada rahasia yang tak kuketahui.
Adzan Subuh sayup-sayup terdengar. Tubuhku mengeliat. Kulirik Suamiku yang tertidur pulas, sepertinya, dia habis begadang. Tapi ngapain dan di mana Mas Harun dan Mas Yudi begadang? Dua kakak adik yang aneh. Tunggu saja, aku pasti akan menyelidikinya!
Berjalan ke luar, aku mengambil air wudlu. Di dalam rumah ini, ada ruang untuk sholat. Cukup besar juga. Setiap hari, aku yang menyapu dan mengepel tempat sholat ini. Sebenarnya, kalau dibuat sholat berjamaah satu keluarga, ruangan ini cukup luas. Namun sayang, di rumah ini, yang sholat, cuma aku dan Panji saja.
Rutinitasku setiap pagi adalah, bersih-bersih rumah, menyapu, mengepel, lanjut bikin sarapan pagi. Panji, habis sholat, masuk kamar lagi. Penghuni lain, Ibu, Mas Yudi dan Mas Harun, jam tujuh ke atas baru pada bangun.
Aku memang menantu baru di sini. Ibu Mertuaku baik, meski jarang berbicara padaku. Tak pernah Bumer menyuruhku atau Mbak Wuri mengerjakan pekerjaan rumah. Sudah ada pembantu, tapi, aku memang suka bekerja. Nggak keberatan kok aku menyapu dan mengepel tiap hari.
Bumer hanya minta, aku menuruti apa katanya. Tidak boleh masuk kamar khusus, tidak boleh menyiksa atau membunuh tikus, tidak boleh berinteraksi intens dengan tetangga. Seperlunya saja. Menurutku, itu syarat yang mudah. Mas Yudi, Mas Harun, Mbak Wuri dan Panji, semuanya juga menurut kok sama Ibu.
Kubawa ember dan mop ke ruang tamu, pindah ngepel area sana. Masih terlihat gelap, meski sudah hampir jam lima pagi. Aku mulai mendorong stik pel ke bawah-bawah kolong meja dan kursi tamu. Tiba-tiba ...
Duk!
Mop-ku seperti terantuk sesuatu! Aku melongok ke bawah. Apa itu item-item, seperti tas? Aku menarik benda itu dengan hati-hati.
Ini kan, tas yang tadi malam dibawa Mas Yudi keluar bersama Mas Harun? Kenapa ada di sini? Pasti mereka lupa membawanya masuk.
Aku bermaksud mendorong lagi tas itu ke bawah kursi. Tapi, aku merasa aneh. Kenapa sekarang, tas ini berat, padahal tadi malam kulihat sendiri, tas ini kosong waktu dibawa Mas Yudi.
Penasaran dengan isinya, tanganku membuka resleting tas itu.
Astaghfirullah!
Dalam tas itu membuat mataku membeliak. Mulutku sampai nyebut! Isinya ...
Uang bergepok-gepok!
Duit dari mana ini?
Bersambung