5. Mereka Ada Di Mana-Mana


"Sudah magrib sebaiknya lekas pulang," tegas Nek Imah.

"Kamu kenapa?" Rasi menatapku was-was dia menatap ke arah Nek Imah.

"Apa ada orang lain di sini?" bisiknya.

Aku tertegun menatap Nek Imah yang tersenyum, seharusnya kalau tidak ingat dia sudah meninggal itu adalah senyuman ramah, tapi  saat ini di bibir itu bagai seringai mengerikan di mataku.

"Kamu tidak ..."

Nek Imah menggeleng cepat, ketika aku hendak bertanya pada Rasi. Dia tidak melihat Nek Imah juga? Bukankah dia cucu kandung Nek Imah?

"Kenapa?" desak Rasi tegang.

"Kita harus pergi sekarang."

Aku mengayuh sepeda rintik hujan mulai turun, angin kencang berembus perlahan, khas musim bulan Desembar.

"Sebenarnya ada apa sih, Yur. Dari gorengan yang penuh ulat sampai wajahmu itu yang selalu ketakutan." Rasi berusaha berada di sebelahku, beruntung jalanan lengang jadi tidak takut kalau tiba-tiba ada kendaraan lain yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan.

Aku mengabaikan Rasi yang bertanya, justru saat ini sedang mencoba fokus mengendarai sepeda. Bayangan hitam itu semakin banyak berjejer di pinggir jalan.

Ada yang bergelantungan di pohon, memanjat tiang listrik, tiduran di jalan dan ditabrak begitu saja oleh Rasi.

Jalanan terasa jauh dan panjang, rasanya sepedaku tidak bergerak sama sekali, keringat dingin bercampur dengan keringat, aku benar-benar ketakutan.

Seperti kata Ayah, aku berjuang untuk pura-pura tidak tahu, tidak melihat, bahkan berusaha tidak peduli ketika ada yang menghalangi sepeda Rasi, tapi ditabraknya begitu saja.

"Rasi, kamu tidak apa-apa?" Aku berhenti dengan napas terengah-engah.

"Tidak." Rasi baik-baik saja, sementara bayangan hitam yang tadinya dia tabrak sudah berdiri lagi dan menyeringai ke arahku.

Allahu Akbar!

Aku kembali menaiki sepeda dan mengayuhnya cepat, terdengar omelan Rasi mengikuti dari belakang.

Jarak rumahku dan rumah Rasi sekitar dua ratus meter, aku memintanya mampir ketika sampai di rumahku, dia menolak tapi menegaskan akan menghubungi nanti.

Di samping rumah ada pohon mangga yang tingginya sudah mencapai atap, dari kemaren-kemaren tidak masalah bahkan saat menatap pohon ini di malam hari, tapi kali ini aku melihat beberapa makhluk bergelantungan di sana.

Ya Allah pohon mangga itu adalah pandangan pertama yang terlihat dari jendela kamarku!

****

"Yuri!"

Ayah yang sudah lengkap dengan pecinya terkejut mendengar pintu yang kubuka dan tutup dengan keras.

"Apa mereka akan masuk rumah juga?" bisikku gemetar.

"Apa?"

"Mereka ada di mana-mana." Aku mengusap wajah menatap sekeliling dengan was-was.

"Siapa?" Ibu mengusap bahuku, lalu kutepis dengan kesal.

"Mereka, ini semua karena Ibu, kalau saja Ibu tidak menyuruhku membeli gorengan penglihatanku tidak akan sekacau ini." 

"Yuri ...."

"Mereka di mana-mana, Ayah, di sepanjang jalan, di pohon-pohon, bahkan di pohon mangga samping kamarku, mereka mengikutiku!" jeritku mengusap air mata, sungguh aku merasa sangat depresi.

"Apa yang bisa kulakukan sekarang?" Tangisku memecah ruangan, bersamaan dengan azan maghrib yang berkumandang dari masjid setempat.

"Mari kita shalat," bujuk Ayah.

Aku tidak menjawab, tapi harus kuakui aku harus shalat guna mengusir rasa takut. Segera melangkah masuk kamar dan membersihkan diri, memperhatikan setiap sudut kamar. Jantungku berdetak cepat melihat kain gorden jendela kamar belum ditutup.

"Nai!" teriakku dengan mata terkunci ke arah jendela itu.

"Naila!" 

"Ya, Kak." Naila datang dengan terburu, tetapi aku tak sempat melihat reaksi itu karena yang mendekati jendela kamar membuatku tak bisa mengalihkan pandangan.

"Tutup, cepat tutup tirai itu," ucapku terbata.

*****

"Itu bukan gorengan untuk manusia," bisikku ketika Rasi terus saja menelepone dengan rong-rongan pertanyaan yang sama.

"Maksudnya?"

Sudah kuduga pertanyaan demi pertanyaan akan berbuntut panjang, tapi bagaimana lagi aku tak punya alibi lain selain menjelaskan yang sebenarnya.

"Aku juga tidak tahu, hanya saja ketika kau mengatakan tak ada yang membeli gorengan itu, sebenarnya saat itu sedang ada antrian panjang pembeli."

"Seram amat sih," gerutu Rasi dari seberang.

"Ya."

Aku melirik ke arah Naila yang sudah mendengkur di meja belajarnya, padahal baru jam sepuluh, biasanya dia bisa bertahan membaca buku sampai jam dua belas.

"Kenapa kamu bisa melihat semuanya?"

"Aku tidak tahu."

"Kamu tidak takut?"

"Aku takut sekali."

"Apa rencanamu selanjutnya."

"Tidak ada, bahkan untuk membayangkan hidup besok saja tidak berani."

Krek!

Aku tersentak mendengar ranting pohon patah dari jendela, bulu kuduk langsung meremang. Sialnya aku meyakini kalau bulu kuduk meremang pertanda dia ada di sekitar.

"Yuri? Kamu masih di sana?"

"Hmm ya." Mataku menatap jendela kamar yang tertutup gorden.

"Kamu kenapa?"

Aku tidak menjawab demi mendengar ketukan pelan dari balik kaca jendela.

Tok tok tok 

"Yuri?" Rasi terus memanggil sementara aku kehilangan suara.

Ketukan itu semakin kencang, dan ....

"Ayaaah!"


*****

😣😣😣😣


Komentar

Login untuk melihat komentar!