"Yuri! Jangan teriak-teriak," tegur Ibu."Nanti tetangga terkejut."
"Itu artinya tadi aku ngobrol dan jalan sama hantu, Bu." Aku merapatkan tubuh pada Ibu, rasanya benar-benar tak percaya mengapa harus mengalami hal semerikan itu.
"Itu salah kamu, Bu. Lain kali jangan suruh dia ke luar saat magrib lagi," ujar Ayah yang berujung kata maaf dari Ibu padaku, tapi tentu saja semua takkan selesai dengan kata maaf aku sudah terlanjur melihat semuanya. Sekarang bagaimana cara melupakannya?
"Ibu minta maaf ya," bisik Ibu, tapi aku merasa itu bukan sekedar permintamaafan.
"Ibu tidur bersamaku ya," pintaku memohon.
"Ish bukankah ada adikmu? Lagi pula kejadian mengerikan tidak akan terjadi di dalam rumah kita, sayang. Kamu baca doa dan mengaji sana," perintah Ibu.
Setelah berpikir cukup lama aku menuruti permintaan Ibu, mumpung Ayah dan Ibu masih bangun ada baiknya aku berdoa dan mengaji setelah itu mencoba tidur.
Semoga saja tidak ada hal-hal aneh meskipun aku merasa diawasi sejak tadi, tapi mau bagaimana lagi jangan sampai aku kesurupan, terus disangka orang gila.
Aku melihat apa yang tidak seharusnya kulihat. Ukh, kalimat itu benar-benar menakutkan!
****
Tempat tidurku dan Naila dipisahkan meja rias di tengahnya, sofa tempat tidur masing-masing didekatkan ke dinding, biasanya kami selalu bicara menjelang tidur, tapi saat ini Naila entah kenapa sudah tidur duluan.
Hari esok mulai libur semester satu minggu, itu akhirnya aku tidak akan bertemu dengan Farid. Farid sebenarnya bukan temanku, kami sekelas hanya saja dia terlalu aneh untuk jadi seorang teman.
Entah kenapa aku jadi ingin menceritakan hal ini padanya, karena dari segelintir kabar yang kudengar Farid itu bisa melihat hal-hal.yang tidak seharusnya terlihat.
Naila baru kelas dua sekolah menengah, dia lebih muda satu tahun dariku, jarak kami dekat memang tapi kami sekolah di tempat yang berbeda, dia tidak mau satu sekolah karena alasan sepele.
"Mereka selalu bilang kalau aku kakaknya Kak Yuri." Itu alasannya ketika Ibu menanyakannya waktu itu, aku menggeleng mengingat kalimat lucu itu, kadang orang-orang memang aneh tapi bagaimana mereka memandang dengan cara masing-masing bukan? Meskipun menurutku Naila lebih cantik dariku.
Karena mata masih nyalang aku berpikir untuk menghubungi Rasi, dia cucunya almarhum Nek Imah. Kami lumayan dekat, dia pasti akan menceritakan bila ada suatu yang aneh terjadi.
"Yuri, uni sudah jam sebelas, ada apa menghubungiku?" Suara cempreng di sana masih bugar, apa hubungannya dengan aku menelepone jam sebelas?
"Kamu ngapain belum tidur?" tanyaku balik
"Aku mengalami kejadian aneh tadi, jadi gak bisa tidur."
Nah kan?
"Kejadian apa?"
Aku menyesal menanyakannya.
"Hmm begini, Yur. Aku merasa mendengar suara almarhum nenek baca salam tadi."
Deg!
"Terus?"
"Ya nggak adalah nenekkan sudah meninggal."
Aku semakin gemetaran saja. Apa aku ceritakan saja ya semua yang kualami tadi magrib ya?
Baru juga berencana lampu tiba-tiba mati. Dengan gemetar aku menyalakan senter ponsel. Ukh, terasa semakin menonton film. horor deh pakai lampu mati segala.
"Ras, kamu masih di sana?"
"Iya."
"Di sana mati lampu, gak?"
"Nggak?"
"Kok bisa? Bukannya lampu kita satu jalur ya?" Aku mulai merasa aneh.
"Rasi?"
Hening di seberang, tapi panggilan masih terhubung.
"Rasi, kamu masih di sana?"
"Tidur sana sudah malam, gadis perawan kok hobinya begadang."
Ponsel reflex kubanting, suara Nek Imah!
"Sayang, bola lampu kamar kalian putus, buka pintunya biar Ayah benarin."
Tapi aku tidak berniat membuka pintu karena merasa yakin kalau itu bukan Ayah, suara ngorok Ayah terdengar sayup dari kamarnya ke kamarku yang sunyi ini.
****
Aku bangun kesiangan, masih syukur sih aku tidak mati tadi malam, sampai nyaris ngompol di celana aku.
Ibu mengomel di dapur, kebiasaan kalau aku bangun terlambat. Aku ini anak perawan gak boleh bangun siang, ceramahnya panjang, kadang disertai ayat yang mendukung kalau bangun pagi itu sehat dan wajib.
Aku tidak menanggapi, Ayah yang sudah menunggu sarapan di meja makan melirikku dengan meneguk kopinya. Sementara aku duduk di meja makan dengan kondisi menggenaskan.
"Kakak seram banget sih?" celetuk Naila, dia tidak tahu saja apa yang kualami tadi malam.
"Rambut berantakan gitu, dan malam mimpi teriak-teriak terus kayak orang gila," lanjutnya menyiapkan piring di meja makan.
"Untung saja aku masih waras," gumamku merasa tidak bersemangat karena kurang tidur.
"Ada apa sih, Kak? Biasanya Kakak paling semangat bangun pagi bantuin Ibu buat sarapan."
Nanti akan kuceritakan pada Naila, biar dia ikut merasakan juga betapa mengerikannya malam tadi. Semoga saja malam nanti tidak aku sudah memutuskan untuk tidak akan ke mana-mana sore ataupun selepas magrib.
"Nanti saja kuceritakan, setelah sarapan kamu harus menemani Kakak ke satu tempat," putusku.
"Ke mana?* Ayah yang sedari tadi diam angkat bicara.
"Ke makam Nek Imah," jawabku enteng.
"Mau ngapain?" Suara Ibu tak kalah kaget.
"Minta pertanggung jawaban kenapa dia menggangguku semalaman. Ya pengen ziarah saja ke sana siapa tahu makamnya ada yang bolong dan aku harus menutupinya."
"Nggak boleh," tegas Ayah.
"Kenapa?"
"Bagaimana kalau kamu melihat lebih banyak, bukan Nek Imah saja?"
"Maksud, Ibu?"
"Sudah, pokoknya jangan ke sana," putus Ibu.
Aku menghela napas, bukannya tidak takut tapi malah semakin penasaran. Aku harus menyelesaikan masalah ini, aku tidak bisa merasa diawasi terus, aku bukan pencuri.
Tok tok tok
Ada yang mengetuk pintu, tapi yang lain malah sedang asyik menikmati sarapan padahal ketukan pintu semakin kencang saja.
"Mau ke mana, Kak?" tanya Naila ketika aku berdiri memutuskan untuk membukakan pintu.
"Membukakan pintu," jawabku melanjutkan langkah.
"Tidak ada yang mengetuk pintu," ujar Ayah membuat langkahku terhenti, sementara ketukan pintu semakin terdengar tak sabar.
"Apa?"
"Ayo lanjutkan sarapan." Ibu menarik tanganku ke meja makan dan mendudukkanku lagi.
"Apa pagi hari ini hantu juga berkeliaran?" desisku menutup telinga karena ketukan pintu semakin keras saja di telingaku.