Sepatu Butut
            Aku buru-buru pergi kebelakang lewat pintu sebelah saat ustad Dodi beranjak menuju pintu, berpamitan pada ibu. Sayup-sayup terdengar suara ustad Dodi berkata, "saya pamit dulu ya, Bu, sampaikan salam sama Bapak." 

"Sudah aman, ustad sudah pergi, lebih baik aku mandi," gumamku ngeloyor menuju kamar mandi, namun langkahku terhenti oleh teriakan ibu.

"Enok! Hey ... sini kamu!" Ujar ibu dengan nada amarah.

"Duh, gawat ada apa ya?" Tanyaku dalam hati. Kemudian aku menghadap ke hadapan ibu.

"Kamu tuh ya! Pake ngadu-ngadu segala sama ustad habis nyuci pakaian," 

"Lha'kan memang bener Bu! Kok ngadu? Enok bicara sejujurnya," tukasku lugas.

"Duh, ni anak 'gak ngerti juga apa! Ibu malu tahu! Ustad tegur Ibu, karena dipikirnya Ibu nyuruh kamu nyuci baju!" Ketus Ibu sembari mencubit kencang lenganku. Belum sempat aku membela, fokua Ibu teralihkan pada sepatuku yang jebol, "Kenapa sepatumu? Sepatu sudah usang masih juga dipakai lari pagi! Ya jebolah! Duuhh ... kamu ini ada-ada saja, mana besok hari Senin kamu sekolah mau pake apa heh!" Ibu menjewer telingaku sambil berjalan menuju kamar mandi.

Ehem ... ehem ...
Tetiba langakah kami terhenti mendengar suara batuk seseorang di belakang kami. Sepertinya aku mengenal suara batuk itu, kakek iya itu suara kakek. Segera ibu melepaskan jewerannya dan aku berlari menuju kakek.

"Kakeekkk ...!" Teriakku kencang lalu memeluknya erat. 

"Hehehe ... Enok cucuku sayang, kenapa Nak?" Kamu bikin kesal lagi ibumu ya?" Tanya kakek penuh kehangatan dalam senyumannya.

Belum sempat aku menjawab, Kakek mendatangi Ibu dan berkata, "kamu ini! Kebiasaan cubit sana, cubit sini, jewer sana, jewer sini, pukul anak semaumu saja! Besok-besok kalau anakmu sakit siapa yang pusing harus bayar dokter? Kan kamu sendiri toh yang rugi!" Ucapan Kakek membuatku merasa bersalah melihat ibu dimarahinya.

"Enggak apa-apa kek, Enok memang salah, sepatu sekolah Enok pakai untuk lari ya jadinya jebol," ujarku menjelaskan pada Kakek.

"Sudah Cu! Tidak usah membela Ibumu, memang dia itu keterlaluan, terlalu ringan tangan sama anak," ujar Kakek sembari mengambil sepatu jebolku dan membuangnya ke tempat sampah.

"Ayo, Enok mandi dulu ya, setelah mandi kita cari sepatu baru yang Enok suka ya," ucap Kakek sambil membelai rambutku. Aku pun pergi menuju kamar mandi, sementara Kakek berbicara dan menasehati Ibu. 

                      ****************

"Ayo Kek! Enok sudah siap," sahutku. Kakek menghentikan nasehatnya pada Ibu lalu berkata, "Aku pergi dulu, cari sepatu untuk Enok, nanti kalau suamimu sudah pulang, bilang sama dia jangan keluar lagi, sepulang dari cari sepatu, aku mau bicara dengannya," ujar Kakek sembari menuntunku keluar rumah.

             Kakek memang andalanku di saat aku sedih, kakek selalu menghiburku. Kakek memanjakanku, apa pun yang aku mau pasti Kakek belikan. Aku selalu dinomor satukan oleh Kakek daripada cucu-cucunya yang lain. Padahal sepupuku banyak tapi yang paling Kakek sayang cuma aku. Aku juga tidak mengerti mengapa Kakek menaruh perhatian lebih padaku.

"Nok, gimana kalau kita coba sepatu yang ini ya," Kakek mengambil contoh sepatu di etalase dan memakaikannya pada kakiku.

"Nok suka 'gak? Ini bagus u tuk pergi sekolah," ujar Kakek. Aku hanya menggelengkan kepala, bukannya tidka suka sepatu pilihan Kakek. Namun aku menginginkan sepatu yang lain. Akhirnya Kakek membawaku ke toko sepatu yang lainnya.

"Cu, kalau yang ini mau 'gak?" Tanya Kakek sambil menunjukan sepatu olah raga berwarna hitam.

"Ya, Kek! Enok suka yang ini," seruku penuh semangat sembari merebut sepatu yang berada di genggamannya.

"Hehehe, Kakek tahu, Enok pasti sukanya sepatu yang seperti ini. Biar bisa dipakai berlari dan juga sekolahkan?" Tanya Kakek penuh kelembutan.

"Iya, Kakek tahu aja selera Enok, Kakek memang paling pintar," ujarku seraya mencium pipi Kakek. Kakek sangat memahami diriku, aku pikir Kakek selalu bisa membaca keinginanku, apa yang ada di pikiran dan hatiku. 

"Ya sudah, ayo, Kakek bayar dulu ya, setelah itu kita jalan-jalan sebentar makan es krim mau?"
Tanya Kakek penuh kasih sayang, dan aku bisa merasakannya, ketika berada dekatnya, Kakek selalu membuatku nyaman dan tentram.

"MaaΓΉu ... mau!" Sahutku kegirangan, dan kami pun pergi ke taman hiburan tempat anak-anak bermain. Aku bahagia sekali bisa bermain dengan leluasa tanpa memikirkan beban di rumah. Aku senang hari ini adalah hari terindah untukku, selain mendapat sepatu baru.
      
                      πŸ’πŸ’πŸ’πŸ’πŸ’πŸ’πŸ’

*Subscribe, like, comment & share

*Baca juga Novelku
 1. Melawan Cemas Berlebihan
 2. Kanker Cinta
 3. Persimpangan Cinta
 4. Dermaga Penantian

                      





Komentar

Login untuk melihat komentar!