Bab 4. Keputusan
Arman menyembunyikan kekagetannya, begitu mendengar dari mulut Pak Makmur sendiri, bahwa kemaren Pak Samsul telah  meminang Azizah. 

    Hatinya ikut hancur begitu membayangkan kekecewaan untuk yang kedua kalinya di hati Abangnya. 

  Bang Iqbal sudah serius mau taaruf sama Azizah. Arman berencana minta izin Pak Makmur untuk membawa Abangnya itu ke mari, nanti malam. Dia sudah janji pada Bang Iqbal. 

   "Jadi Pak, apa Azizah setuju?" tanya Arman. 

   "Entahlah, Man. Dia belum memberi jawaban," jawab Pak Makmur kalem. 

   "Bapak sendiri bagaimana? Setuju apa tidak?" cecar Arman. 

   "Aku sih tak masalah, tapi Ibunya tak setuju. Macam-macam alasan istriku, begitulah wanita. Rumit," terang Pak Makmur. 
   
   "Kalau begitu terserah Azizah saja, Pak. Dia yang akan menjalaninya. Kasian juga kalau dia terpaksa," bujuk Arman. Berharap Pak Makmur yang kebelet mengawinkan anak ini, tak akan memaksa Azizah. 

   "Iya, memang, terserah dia saja. Tapi kalau dia menolak, itu artinya dia rela membuat aku tambah malu," lirih Pak Makmur. 

    "Kenapa harus malu Pak. Azizah itu tak salah apapun. Jodohnya belum sampai, mana bisa dipaksa." 

    Arman dan Pak Makmur memang biasa berbincang tentang apa saja. Tapi baru kali ini lelaki itu bicara tentang Azizah. Mungkin karena karyawannya yang seorang tak masuk kerja, hingga dia merasa bebas berbincang dengan Arman. 

   "Tentu salah Azizah jika nanti dia tak dapat jodoh. Orang sudah ada yang datang melamar kok di tolak?" Wajah Pak Makmur terlihat sengit. 

   "Oh ya Man. Kau pernah dengarkan, bahwa anak perawan itu adalah hak ayahnya?" tanya Pak Makmur kemudian. Wajahnya sangat serius. 

   "Maksudnya Pak?"

   "Seorang Ayah boleh menikahkan anak perawan, walau pun tanpa izinnya," ucap Pak Makmur. 

   "Memang begitu Pak. Tapi seorang gadis juga berhak untuk menolak, dimana hati seorang Ayah yang memaksa anaknya menikah dengan lelaki yang tak disukainya?" Arman tak menyangka Pak Makmur bisa terpikir hal seperti itu. 

   Walaupun itu boleh, tapi tetap harus dipikirkan akibat dari kawin paksa itu sendiri. 

    "Serahkan saja semua pada Allah, Pak. Urusan ini mutlak ada dalam genggamanNya," bujuk Arman kemudian. 

   Pak Makmur terdiam kemudian berjalan menuju mesin jahitnya. 

   Arman mengernyitkan dahi, dia membayangkan betapa gundahnya Azizah saat ini. Lelaki itu begitu menyesal kenapa dia harus terlambat mempertemukan Bang Iqbal dan Azizah. 

    Kenapa Arman baru menyadari bahwa diantara mereka berdua ada kesamaan sikap. Sama-sama menjaga kehormatan diri dan muru'ah, juga menyukai hal yang  sederhana.

  Pak Makmur kembali asik dengan pekerjaannya. Beliau menunduk di depan mesin jahit, untuk menyelesaikan sebuah kemeja.

   Begitu juga Arman. Pemuda itu tengah menyetrika beberapa kemeja yang telah selesai dibuat. 
Pikirannya terus saja teringat pada Bang Iqbal dan Azizah. 

     Tadi malam dia yakin sekali bahwa mereka berdua itu akan berjodoh. Namun rupanya hari ini dia mendengar berita yang sangat mengecewakan. 

   Bagaimana cara dia nanti mengabarkan hal ini pada Bang Iqbal? Abang yang tak tau wanita itu terlihat semangat dan berseri. Dia sudah bercukur dan merapikan cambang tebal yang menghiasi wajah gantengnya. 

   Bahkan Arman hampir tak mengenali wajah Abangnya. Bersih dan klimis. Hanya ada sederet kumis tipis dan cambang yang rapi.

   Arman menarik nafas panjang. Dia berusaha mengingat wanita lain lagi untuk Abangnya itu, sebelum dia patah hati, karena sering gagal.

***

    Pak Yanto gelagapan. Anak buah Bang Mandor datang ke rumah untuk menagih hutang. Sedang dia sama sekali tak memegang uang. Hasil kebunnya yang kemaren sudah dipakai buat beli perhiasan anak gadisnya. Baju baju model terbaru dan make up. 

   Pak Yanto berharap dengan mendandani anak gadisnya secantik mungkin, dia akan beroleh menantu tampan dan kaya. 

   Susi akan sangat pas jika bersanding dengan anak konglomerat. Para pengusaha yang punya duit tak terhitung. Tak apa meskipun hanya sebagai istri simpanan yang penting uang mengalir bak air keran. 

   "Begini saja Pak Yanto. Kami beri waktu satu minggu, jika Bapak belum bisa membayar, silakan bertemu sendiri dengan Pak Mandor. Mungkin dia bersedia mengambil Susi jadi istrinya, dan hutang dianggap lunas."

     Pak Yanto terasa dicekik, kerongkonganya terasa tercekat. Menelan air liurpun terasa sepat. 
Mendengar tawaran yang dirasa menjerat.

***

  Ini malam terakhir dari waktu yang dijanjikan pada Pak Samsul. Besok lelaki itu akan datang kemari untuk mendengar jawaban Azizah. 

    Gadis itu kembali dipanggil oleh Bapaknya. Pak Makmur ingin tau, apa putrinya itu sudah punya keputusan 

   Sejak satu jam yang lalu lelaki itu mondar mandir di ruang tengah. Pikirannya tak karuan sebelum mendengar persetujuan 
Azizah. 

   "Yah Bapak, tenang sedikit kenapa juga. Macam dia aja yang mau nikah," celoteh istrinya. 

    "Bu, kalau Azizah menolak, kapan lagi dia dapat suami? Sampai aku mati, tak kulihat dia bersanding!" 

   "Kau itu Pak, seperti orang yang tak percaya takdir saja. Kalau jodoh pasti mereka akan nikah, tapi kalau jodoh Azizah bukan Pak Samsul, pasti juga bakalan batal," kata Ibu yang kini tampak sudah mulai tenang. 

   Wanita itu begitu bangga pada Azizah yang begitu damai menghadapi masalah. Ibu tau betul perasaan anaknya. Gadis itu tentu tak suka dengan Pak Samsul. Tapi dia tak langsung menolak atau menghina orang. 

    Azizah kini duduk dengan wajah tertunduk. Dia sudah punya jawaban atas pinangan Pak Samsul.