Bab 5. Tamu diremang subuh
"Demi memenuhi pengharapan Bapak, Azizah bersedia menerima pinangan Pak Samsul," ucap gadis itu lirih. 

   "Azizah, apa yang kau katakan? Jangan Nak. Kasiani dirimu sendiri," ucap Ibunya dengan risau. 

   Pak Makmur menghela nafas lega. Jadi juga dia mengawinkan Azizah. Tak apa biarpun menantunya tua. Toh dia orang baik di dusun ini. 

   "Ibu, umur yang tua tak bisa dijadikan alasan untuk menolak lamaran seorang lelaki. Azizah teringat sebuah hadis Nabi yang berbunyi begini:

   "Bila orang yang agama dan akhlaknya kamu ridhai datang melamar anak gadismu, maka nikahkan dengannya. Sebab bila tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan banyak kerusakan."

    Pak Makmur merasa menang. Dia telah melaksanakan hadis yang dia sendiri baru mendengarnya sekarang. 

   "Tapi bukan berarti wanita tak boleh menolak lelaki yang tak disukainya, Azizah!" Ibu berbicara keras. 

   "Meskipun agamanya baik, Bu?" tanya Azizah kemudian. 

   "Ya, meskipun agamanya baik. Ibu bukan ahli agama, tapi ibu pernah mendengar bahwa orang saleh macam Abu Bakar, pernah di tolak lamarannya, begitu juga Umar bin Khattab. Apalagi Pak Samsul. Kau boleh menolak jika hatimu tak suka, Nak," terang Ibu yang merasa kasihan membayangkan gadis secantik Azizah harus menghabiskan masa mudanya bersama Pak Samsul. 

   ***

   "Jadi gimana Bang?" tanya Arman pada Iqbal. 

   "Kita harus berangkat malam ini juga Arman. Supaya besok sore sudah sampai di rumah Paman," ucap Iqbal. 

   Arman segera berbenah. Dia menyiapkan beberapa lembar pakaian. Begitu juga dengan Iqbal. Kakak beradik yang sudah yatim piatu itu harus pulang ke kampung pamannya.

   Paman Kurdi yang selama ini jadi pengganti ayahnya sendiri. Ingin bertemu dengan kedua keponakanya itu. Ada hal penting yang ingin dibicarakan. Terkait warisan peninggalan Ayah mereka. 

   Kebun karet yang luasnya puluhan hektar itu, ingin dibeli oleh sebuah perusahaan tambang. Karena mengandung emas hitam. Mereka akan berembuk untuk tetap mempertahankan lahan kebun itu atau dijual saja. 

    "Bang, menurut Abang sebaiknya gimana?" tanya Arman saat mereka dalam mobil. 

   "Kita dengar pendapat mereka di sana nanti. Lagi pula kebun itu tak juga terawat. Karet yang dihasilkan juga tak seberapa." 

   "Betul itu Bang." 

  Tiba-tiba Arman teringat sesuatu. 

   "Bang aku harus pamit pada Pak Makmur, karena beberapa hari ke depan tidak masuk kerja," ucap Arman pada Iqbal. 

   "Oh oke," jawab Iqbal. 

   Dadanya berdesir, teringat pada Azizah. Entah kenapa mendengar namanya saja Iqbal sudah suka. Dia tak peduli pada penampilan Azizah, bentuk badan atau wajahnya. 

   Arman terlanjur menceritakan kebaikan gadis yang jadi olokan tetangga itu. Hingga dia jatuh hati. Azizah wanita yang diidamkannya. Nama itu kini terpatri di hatinya. Hingga segala sesuatu yang berkaitan dengan Azizah akan membuatnya berdebar. 

   Iqbal menepikan mobil di depan rumah Pak Makmur. Dia menyilakan Arman untuk turun. 

   "Aku tunggu di mobil, ya."

   "Gak turun juga Bang, siapa tau kita bisa melihat Azizah," goda Arman. 

   "Jangan lihat tunangan orang, dosa." Iqbal tertawa kecil. Berusaha membohongi perasaan sendiri. 

   Arman keluar, di iringi  pandangan mata Iqbal. Lelaki itu mengawasi pintu berharap Azizah yang akan membuka. 

   "Assalamualaikum!" 

  Tak lama pintu terkuak. Seorang wanita berpakaian coklat tua dengan kerudung lebar dan penutup wajah terlihat mundur, memberi ruang untuk tamunya masuk. 

   Iqbal menatap Azizah. Lewat mobil yang hanya sekitar tiga meter dari pintu itu, Iqbal melihat jemari putih Azizah. Ya, hanya jemarinya yang tampak. 

   Kemudian dia mengalihkan pandangan. Dia merasa Azizah juga melihat padanya dari balik penutup wajah. Muka itu seperti menghadap padanya. Tentu saja itu hanya sekejap. Azizah sudah tak berada di sana ketika Iqbal kembali menoleh. 

   "Jangan lama-lama ya Man. Kau dan harus datang ke acara nikahan Azizah," kata Pak Makmur saat Arman pamit. 

   "Wahh, kapan Pak?" tanya Arman menyembunyikan kekagetan. Kok cepat sekali. Pikirnya. 

   "Belum tahu Man, mencari hari dan tanggal yang baik dulu," ucap Pak Makmur yakin. 

   "Ya sudah, Pak. Pamit ya. Insya Allah kami gak lama pulangnya."

   Arman lebih banyak bermenung selama dalam perjalanan. Tak dia sangka Azizah berjodoh dengan Pak Samsul. Ah sudahlah, kalau itu maunya Allah, siapa yang bisa menghalangi?

   "Bang Iqbal juga sudah ikhlas," bisik hati Arman. 

***

    Malam itu Pak Makmur serasa tak bisa tidur. Dia ingin malam cepat berganti pagi. Tak sabar menunggu kedatangan Pak Samsul. 

   Sementara Azizah kembali luruh dalam rinai kesedihan. Dia mencoba menguatkan hati untuk bisa bersanding dengan lelaki yang tak dicintainya. Lelaki tua yang sudah bongkok punggungnya. 

   Azizah membayangkan bagaimana dia harus tinggal di rumah itu bersama kedua anak lelaki Pak Samsul yang juga sudah dewasa. Tentu susah baginya. Dia akan risih dipanggil ibu oleh mereka. Juga akan dipanggil Nenek oleh ketiga cucu Pak Samsul?

   Satu hal yang membuat Azizah makin merana, bisakah dia menyerahkan keperawanan pada lelaki itu? Kenapa ada rasa tak rela?

   "Apakah artinya aku memang tak bisa menerima lelaki itu," bisik Azizah lagi. 

   Dalam kekalutan, akhirnya dia tertidur. Saat terbangun jam empat pagi. Gadis itu segera mengambil wudhu untuk shalat tahajjud. Kemudian tilawah sambil menunggu saat shalat subuh tiba. 

   Mendadak dia mendengar sebuah ketukan di pintu rumah. Dia segera menutup mukanya dan menjenguk. Tampak seseorang berdiri di depan pintu. 

   "Seperti Pak Samsul? Untuk apa dia subuh subuh kemari?"

   Azizah segera membangunkan Ayahnya. Pak Makmur segera membuka pintu untuk melihat tamunya. Tak ada siapapun. Hanya gelap yang remang. 

   "Mungkin dia sudah pulang," bisik Pak Makmur menutup pintunya kembali. Sementara aroma melati yang kental menyengat hidung. 

   Saat lelaki itu bersiap untuk mandi dan shalat, dia mendengar sebuah pengumuman kematian dari pengeras suara mesjid. 

   "Bu! Tak salah dengarkah aku?" bisik Pak Makmur memucat. 

   "Iya Pak, Innalillah. Pak Samsul meninggal."

***