Bab 3. Dilema
Azizah wanita biasa. Dia juga punya harapan dan impian dalam hidup. Harapan yang sebenarnya cukup sederhana. Ingin membina keluarga bahagia bersama suami dan anak-anak. 

   Yang dia bayangkan adalah seorang lelaki baik dan shaleh, tak perlu wajah yang tampan, cukuplah enak dipandang. Tak usah banyak berharta namun bisa tercukupi segala keperluan sandang pangan. Alhamdulillah jika berlebih, bisa bersedekah dan ada uang pegangan. 

   Dia berharap lelaki yang santun dan penuh pengertian. Tak perlu seorang suami yang royal dan menuruti semua keinginan. Cukuplah jika mau membimbing dan mengingatkan, jika dia jauh dari jalan Tuhan dengan penuh kasih sayang. 

   Namun sungguh dia tak siap jika harus menikah dengan lelaki tua. Lelaki yang seumuran dengan Ayahnya serta punya cucu tiga. Lelaki yang punggungnya sudah bongkok pula.

    Matanya sembab, airmatanya tak berhenti keluar. Entah kenapa. Berulang kali dia mencoba tabah. Tetap saja butiran bening itu menerobos di sudut mata. 

    Jarum penunjuk waktu sudah hampir di angka sepuluh. Azizah belum bisa tidur, dia pun akhirnya bangun. Berjalan menuju dapur. Untuk mengambil air wudhu, satu satunya jalan yang terbaik adalah shalat istikharah.
Minta pilihan pada Allah. Semoga diberi ketepatan di hati untuk memilih antara menolak atau menerima, dalam hal pinangan Pak Samsul. 

    Namun belum sampai ke ruang dapur. Dia mendengar suara gaduh perdebatan Bapak dan Ibunya. Gadis itu menghentikan langkah untuk mendengar apa yang mereka ributkan. 

   "Bu, kau masih betah mendengar ejekan orang pada Azizah?" tanya Pak Makmur meninggi. 

   "Pak, kau tak kasian pada putri kita itu? Kau tak malu punya mantu seumuran dirimu sendiri? Pak Samsul itu bahkan lebih tua dari aku. Calon Ibu mertuanya. 

  "Ohh, jadi nanti dia akan memanggilku Ibu, dan aku memanggil Pak Samsul dengan sebutan "Nak". Apa itu tak lucu?"

   Bu Makmur tertawa kecil. Kemudian dia berkomentar lagi. 

   "Aku lebih suka bersabar menunggu yang lebih pantas, daripada menerima Pak Samsul jadi menantu."

   Pak Makmur diam sejenak membiarkan sang istri meluapkan emosinya. Mengungkapkan apa kata hatinya. 

   "Bu aku tanya lagi padamu, apa yang kurang dari Pak Samsul?"

   "Ya Allah, Pak. Masih juga gak ngerti. Kasihan Azizah. Apa aku harus menerangkan dengan gamblang? 

  "Pak, saat kau masih muda, tenagamu apa sama dengan saat sekarang? Saat kau masih muda apa sama keperkasaanmu di ranjang dengan saat sekarang? Tentu jauh beda Pak. Itu akan mempengaruhi kebahagiaan rumah tangganya."

    Bu Makmur kesal sekali, suaminya begitu memaksa ingin menikahkan Azizah dengan lelaki yang sudah punya cucu tiga itu. 

   "Ahh, Ibu. Sampai ke sananya juga dipikirin. Yang penting Azizah nikah dulu. Kalau suaminya gak kuat tinggal beli obat kuat, gitu aja repot," sanggah Pak Makmur. 

   "Pokoknya aku gak setuju. Kau saja sana nikah sama Pak Samsul," ledek Bu Makmur. 

   "Ini ni perempuan, selalu debat kusir. Aku pula disuruh nikah sama Pak Samsul." Pak Makmur geleng kepala sambil menekur. 

   Tiba-tiba Azizah masuk, dia menatap Bapak dan Ibunya bergantian. 

   "Pak, Bu. Sudahlah jangan bertengkar. Tunggu Azizah shalat istikharah. Semoga Allah berikan petunjuk, agar Zizah menentukan pilihan yang benar, ketika harus menerima atau menolak," ucap Azizah. 

   Tanpa menunggu jawaban orang tuanya, wanita yang kecantikannya tak pernah dilihat oleh lelaki selain ayahnya itu, bergegas menuju kamar mandi. 

    Airmatanya luruh saat berwudhu. Sungguh pilihan yang berat. Satu sisi hatinya menolak. Sisi jiwanya yang lain ingin berbakti pada orang tua, dengan menerima lamaran Pak Samsul, tak akan ada lagi cemoohan orang pada Bapak dan Ibunya. Mungkin mereka akan tenang. Karena sudah melihat putri tuanya ini menikah. 

   Azizah kini terisak dilembar sajadahnya. Sungguh begitu berat jika harus menerima Pak Samsul. Meskipun beliau lelaki baik, namun Azizah juga menginginkan jodoh yang sepadan dalam hal usia. 

   "Ya Allah apakah keinginanku berlebihan? Apakah artinya aku telah mengedepankan hawa nafsu daripada menggapai keutamaan dari Mu? Ya Allah, lewat shalat istikharah ini, tunjukkan pilihan yang tepat untukku."

   Azizah menadahkan tangan memohon petunjuk atas masalah yang tengah dia hadapi. Dengan terisak dia mulai berdoa. 

   "Ya Allah hamba memohon agar  memilihkan mana yang baik menurut Engkau ya Allah. Dan hamba memohon Tuhan memberikan kepastian dengan ketentuan-Mu dan hamba memohon dengan kemurahan Tuhan yang Besar Agung. Karena sesungguhnya Tuhan yang berkuasa, sedang hamba tidak tahu dan Tuhanlah yang amat mengetahui segala sesuatu yang masih tersembunyi.

Ya Allah, jika Tuhan mengetahui bahwa persoalan ini baik bagi hamba, dalam agama hamba dan dalam penghidupan hamba, dan baik pula akibatnya bagi hamba, maka berikanlah perkara ini kepada hamba dan mudahkanlah ia bagi hamba, kemudian berilah keberkahan bagi hamba didalamnya.

Ya Allah, jika Tuhan mengetahui bahwa sesungguhnya hal ini tidak baik bagi hamba, bagi agama hamba dan penghidupan hamba, dan tidak baik akibatnya bagi hamba, maka jauhkanlah hal ini dari pada hamba, dan jauhkanlah hamba dari padanya. Dan berilah kebaikan dimana saja hamba berada, kemudian jadikanlah hamba orang yang rela atas anugerah-Mu."