Bab 6. Sakit
Pagi itu para warga berduyun-duyun untuk bertakziah ke rumah Pak Samsul. Tak ada yang menyangka lelaki itu akan pergi secepat ini. Beliau meninggal sekitar pukul empat subuh. Jatuh saat akan berwudhu.

   "Tadi sore masih ngajar ngaji lho Mbak!" 

   Dua orang wanita yang pulang melayat berbincang tentang Pak Samsul. 

   "Iya ya, yang namanya umur manusia, siapa juga yang tau, umur tak berbau, tak ada sakit tak ada demam, tiba-tiba meninggal," balasnya. 

   "Eh, Mbak. Dengar-dengar Pak Samsul itu malah tengah menunggu jawaban pinangan pada Azizah."

   "Hah dia melamar Azizah? Untuk anaknya?"

   "Bukan untuk anaknya, tapi buat dirinya sendirilah."

   "Jangan mengada-ada Bu, orang meninggal masih juga di omongin."

   "Eeh, kau tak percaya? Yana anakku, dia kerja di tempat Azizah. Tau semua yang terjadi di rumah itu."

   "Jadi Azizah mau?"

   "Mau lah, orang sudah perawan tua begitu. Siapa aja yang datang melamar pasti juga diterima, ibaratnya biar sebatang kayu yang datang, tetap pintu dibuka!" cemooh wanita itu menghinakan Azizah. 

   Dia tak sadar setiap omongan yang menghina bisa berbalik pada dirinya sendiri. Dia tak akan mati sebelum hinaan yang ditimpakan pada seseorang itu,  dialaminya juga. 

   "Sudahlah Bu, tak baik kita ngomongin orang," ucap Si Mbak.
Mbak Nani namanya. 

   Mereka berpisah di pengkolan jalan. Perbincangan barusan cukup jadi perhatian Mbak Nani. Dia jadi memikirkan sesuatu. 

   "Apa Azizah mau menikah dengan Bang Mansyur?" Dia bertanya dalam hati. 

   Kakak Mbak Nani seorang tukang tambal ban di desa sebelah. Para petani yang bolak balik pergi ke sawah dan mengangkut sayur-mayur sering menambal ban sepeda, atau sepeda motor. Penghasilannya lumayan. 

   Tapi sayang Mansyur seorang yang boros dan suka berjudi. Uangnya selalu habis dan kini malah punya banyak hutang. 

   "Jika dia menikah dengan Azizah, barangkali akhlaknya akan berubah. Berhenti berjudi dan hura-hura. Azizah wanita baik, dia akan pandai mendidik suaminya."

   "Ah, ini peluang bagus untuk Bang Mansyur, semoga dia berjodoh," bisiknya 

   Dia mempercepat langkahnya untuk segera sampai di rumah. Kemudian mengambil motor yang terparkir di pekarangan dan melaju menuju tempat tinggal Bang Mansyur. 

***

   Pak Makmur tercenung, lelaki itu sangat berduka. Dia baru saja kehilangan seorang sahabat yang juga calon mantu. 

   Harapan untuk segera menikahkan Azizah buyar begitu saja. Dua hari ini Pak Makmur jatuh sakit, mungkin karena kekecewaan yang mendalam. 

   Sementara Bu Makmur bisa bernafas lega. Bukan dia bersyukur atas kematian Pak Samsul, hanya saja dia kasian pada Azizah yang memaksakan diri untuk menerima pinangan itu. 

   Tak salah menerima pinangan lelaki tua. Jika memang saling suka dan ridha. Sedang ini? Si Ibu sering mengintip anaknya melamun dan kadang menyeka airmata. Apalagi yang membuat gadis itu menangis selain teringat pada lamaran Pak Samsul. Seorang Ibu akan selalu peka pada perasaan anaknya. 

    Azizah bersikap biasa saja. Dia hanya sedih melihat kekecewaan Bapaknya. Dia sudah rela berkorban agar orang tua itu tersenyum. Namun Allah punya takdir lain. 

   Melihat Ayahnya yang terbaring sakit, hatinya serasa tertusuk duri. Begitu dalam kesedihan Bapak dalam menerima takdir ini.
Azizah memohon semoga disegerakan jodohnya datang. Agar Bapak bisa sembuh dari sakit ini. 

    "Bu keadaan Bapak makin parah, lebih baik kita bawa saja ke rumah sakit," pinta Azizah. 

   "Kita coba panggil Pak Mantri saja dulu, semoga ini hanya demam biasa."

   Bu Makmur duduk di tepi pembaringan suaminya. Sesekali diusapnya dahi yang berkeringat itu. Hangat. 

    "Oalah Pak. Minum obatnya biar cepat sembuh," bujuk Bu Makmur. 

   Makin hari Bapak makin lemah, dia hanya mampu menelan sedikit makanan. Serasa ada yang mencekik di kerongkongan. Lelaki itu hanya tergeletak tanpa kata di pembaringan. 

   ***

    Sore hari Arman dan Iqbal tiba di kampung Pamannya, desa Pagar Bambu. Suasana di desa ini cukup sunyi. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup jarang. Namun kerukunan antar warga cukup terjaga. 

    Paman Kurdi segera keluar diikuti oleh istri dan seorang anak gadis. Humaira. 

   Mereka menyambut gembira kedua keponakan yang jarang sekali bertemu ini. 

   "Assalamualaikum, Paman, Bibi," sapa Arman. Iqbal hanya mengangguk. Dia memang pendiam. 

    Mereka serempak menjawab salam Arman. Setelah bersalaman dengan paman dan bibi, mereka disilakan untuk masuk. Sedang Humaira hanya tersenyum sambil sedikit membungkuk pada keduanya. 

    "Humaira, ayo siapkan minum, Nak. Abangmu pasti lelah," ucap Paman Kurdi. 

    Iqbal menatap wajah paman, dia melihat raut muka Bapaknya di sana. Diwajah ramah Paman. 

  "Paman, aku ingin ke makam Ayah dan Ibuku dulu," kata Iqbal tiba-tiba. Sejak tadi dia menahan rindu pada kedua orangtuanya itu. 

   "Ayo, Bang!" Arman juga berdiri. 

   "Gak diminum dulu airnya, Bang?" Terdengar suara Humaira menawarkan minum, ketika keduanya tengah sampai ke pintu. 

   "Terimakasih, Humaira. Kami hanya keluar sebentar," ucap Arman. 

   Makam Bapak dan Ibunya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah Paman Kurdi. Mereka berjalan kaki ke sana. 

   "Bang!"

   "Ya."

   "Humaira cantik lho, Bang. Juga baik," bisik Arman saat mereka melangkah.

  "Ohh, baiklah nanti Abang bicara sama Paman. Bahwa adikku ini ingin meminang putrinya," jawab Iqbal sambil menyibak rumput liar yang menghalangi jalannya.  Sesekali dia menepuk nyamuk yang mengerubungi punggung Arman. 

   "Bang!!! Masa gak ngerti, maksudku Humaira pantas untuk jadi istri Abang!" Tukas Arman. Mukanya memerah karena Abangnya memang tepat membaca isi hatinya.

***