Arman dan Iqbal dua kakak beradik yang rukun. Entah seperti apa cara orang tua mereka mendidiknya. Mereka merasa memiliki satu sama lain. Saling mendahulukan dan saling mengalah.
Hampir tak pernah mereka bertengkar. Iqbal selalu menyayangi Adiknya, sedang Arman sangat menghormati Abangnya.
Wajah Humaira bermain di pelupuk mata Arman. Makin dewasa gadis itu makin cantik. Lembut dan sopan. Hup.
Dulu saat kecil, Arman sering bermain dengan Humaira. Dia gadis yang cengeng dan tak cekatan. Mengerjakan apa pun selalu paling akhir selesai. Tapi hatinya lembut dan mudah iba.
Pernah Arman terlambat pulang dari main bola, sampai dia lupa mengaji. Ibu sudah menantinya di muka rumah, di tangannya tergenggam sebuah sandal jepit.
Sudah pasti sandal itu akan menimpuk pantatnya. Meskipun pukulan itu tidak berbekas di badan, tapi bagi Arman sangat memberi bekas pada hatinya. Wajah sedih sang Ibu saat memukulnya membuat Arman merasa iba.
Humaira menarik tangan bibinya, karena mengira pukulan itu sangat sakit. Padahal itu hanya sebuah pukulan ringan untuk mengingatkan Arman.
"Sudah Bi, jangan pukul Bang Arman," lirih gadis itu terisak.
Arman tersenyum mengingat masa kecil mereka.
Makam Bapak dan Ibu letaknya bersisian. Sudah ditakdirkan bahwa cinta mereka abadi sepanjang masa. Seminggu setelah kematian Bapak. Ibupun menyusul ke alam baka.
"Assalamualaikum, ya Ahlal qubuur," ucap mereka bersamaan.
Kini Arman dan Iqbal membungkuk di makam itu. Mencabuti rerumputan yang tumbuh di atasnya. Rumput itu tidak tebal, karena Iqbal selalu mengingatkan Paman untuk meminta seseorang membersihkan makam itu.
Setelahnya mereka membaca beberapa surah Al qur,an dan berdoa dengan khusyuk. Berharap Allah memberi tempat tinggal yang lapang untuk keduanya.
***
Malam hari mereka berembuk tentang rencana untuk menjual kebun karet. Paman setuju saja. Karena para tetangga kebun juga sudah menyetujui penjualan itu.
"Tak bisa juga kita menolak, kalau para pemilik lahan pada bagian kiri dan kanannya sudah memberikan tanda tangan persetujuan," ucap Paman akhirnya.
"Terserah bagaimana baiknya saja, Paman." Iqbal menyerahkan urusan itu pada Pamannya.
"Baiklah, kalau begitu, secepatnya Paman akan membereskan masalah ini."
Paman dan kedua ponakan itu terus saja berbincang. Berbagai cerita lama kini mengemuka. Tentang Bapak Iqbal, tentang Nenek dan segala yang indah untuk dikenang.
Setelah itu wajah Paman terlihat lebih serius. Beliau bercerita tentang Humaira. Lelaki lebih setengah abad itu menarik nafas panjang.
"Kalian tau bahwa Humaira itu sebatang kara bukan? Kami mengambilnya sebagai anak angkat saat usianya masih lima bulan, dia tak punya saudara. Seperti kalian, Bapak Ibunya juga telah tiada, ...."
Paman berhenti sejenak, dia menatap Arman dan Iqbal bergantian. Lelaki itu tampak menahan air mata yang menghangat.
"Kami menyayanginya, seperti anak sendiri," bisik Paman.
"Aku sudah bicara dengan bibimu. Kami ingin sekali menjodohkan Humaira dengan Iqbal, jika kau tak keberatan, Nak. Humaira gadis yang baik."
Paman kini terlihat lebih lega setelah mencurahkan maksud hatinya terkait Humaira.
Arman merasa dadanya sesak, dia telah lama menyukai Humaira, tapi dia hanya menyimpannya sendiri saja. Dia tak ingin berpacaran.
Arman sengaja mencarikan jodoh buat Abangnya, hingga jika Abang sudah menikah, dia akan segera meminang Humaira.
Tapi nyatanya? Paman justru menjodohkan gadis pilihannya itu dengan Bang Iqbal. Mata Arman terlihat sedikit merah. Dia tampak gelisah.
"Bagaimana menurutmu, Arman? Bukankah mereka terlihat cocok?" tanya Paman.
"Bang Iqbal sangat pantas untuk Humaira, Paman," jawab Arman menyembunyikan luka.
"Tolong pikirkan masalah ini, Iqbal. Usiamu itu sudah sangat pantas untuk menikah," lirih Paman lagi.
"Akan Iqbal pikirkan Paman, urusan jodoh bukan sepenuhnya di tangan manusia," balas Iqbal.
Dia berat menerima Humaira, karena hatinya sudah memilih Azizah yang kini telah jadi tunangan orang. Namun tak mungkin dia langsung menolak begitu saja. Iqbal tak ingin mengecewakan sang Paman.
***
"Azizah, satu-satunya obat untuk penyakit Bapakmu yaitu dengan menikahkanmu, Nak," bisik Pak Makmur. Sesekali dia terbatuk.
"Maafkan, Azizah Pak." Gadis itu minta maaf pada Bapaknya, meski pun tau, bahwa dia sama sekali tak bersalah.
"Sudah Azizah, pergilah tidur. Ini sudah jam sebelas malam," ucap Ibunya. Dia muak melihat kelakuan suaminya yang selalu saja memojokkan Azizah, seolah dia terlambat menikah karena kesalahan gadis itu.
Azizah segera pamit untuk pergi tidur. Dia menekur di kamarnya. Matanya nanap menatap langit kamar.
Bayangan Ayah yang jatuh sakit hanya karena dia gagal menikah sungguh menyedihkan. Tiba-tiba dia berjanji dalam hati. Siapa pun yang datang melamarnya, akan dia terima tanpa banyak pemikiran. Yang penting adalah Bapaknya bahagia melihat dia bersanding di pelaminan.
"Lagi pula, mana mungkin lelaki tak karuan yang datang padaku. Mana ada lelaki cinta dunia yang suka pada gadis bercadar. Itu tak mungkin."
Azizah tak mengerti, kadang orang datang bukan karena suka tapi karena ingin mengambil kesempatan. Sebagian lelaki datang hanya untuk memanfaatkan seorang wanita.
***