'Menikah atau tidak, itu adalah urusanku. Tak ada satu orang pun yang boleh memaksakan pilihannya kepadaku. Termasuk ibu kandungku. Entah kenapa ibu kandungku lebih kejam daripada ibu tiriku?'
'Memaksaku menerima lamaran menjadi istri kedua hanya karena bertambahnya usiaku? Yang benar saja?!'
Batin Hanin bergejolak tidak kalah hebatnya dengan laju kereta yang ia tumpangi saat ini.
Ia harus kembali ke kampung halamannya karena mendapat kabar bahwa ibu kandungnya sedang sakit.
'Semoga saja ini bukan akal-akalan untuk memaksaku menerima lamaran itu,' batin Hanin lagi.
*****
Seorang gadis mengenakan gamis dan jilbab segi empat berwarna dusty pink berjalan ke luar stasiun kereta kemudian menaiki sebuah taksi. Hanin, gadis dengan wajah oval dan bola mata bulat dihias bulu mata lentik alami. Bibirnya mungil, namun jarang sekali tersenyum. Bagi orang yang tidak mengenalnya dengan baik, wajar sekali jika melabelinya sebagai seorang gadis judes dan sulit didekati.
Hanin menghentikan taksi yang ia tumpangi di depan sebuah bangunan tua berdesain sederhana. Rumah yang tidak dilihatnya selama sepuluh tahun. Tidak ada masalah dengan rumah ini. Sejak dulu, Hanin mengakui bahwa masalah itu ada pada dirinya sendiri. Hingga ia bertaruh waktu habis-habisan meninggalkan Kota Yogyakarta, di mana keluarga besarnya tinggal, juga tempat ia dilahirkan.
Dari balik jendela, Hanin masih menatap rumah tua itu. Tangannya tetap berada di handle pintu bagian dalam taksi, rasa ragu menyelimuti seluruh tubuhnya.
“Alamatnya benar di sini, Mbak?” tanya sopir taksi dengan logat bahasa Jawa.
“Iya, Pak. Benar. Tunggu sebentar ya,” jawab Hanin datar.
Hanin menarik napas panjang, mengumpulkan seluruh kekuatan untuk melepas sabuk pengaman kemudian membuka pintu dan keluar dari taksi.
Setelah taksi pergi meninggalkannya, Hanin berdiri mematung satu langkah di depan pintu pagar. Menatap rumah yang terdiri dari dua bangunan berdampingan. Di matanya berkelebat enam orang anak berusia kecil hingga remaja, termasuk dirinya. Semuanya anak perempuan, mereka asyik bermain di teras dan juga halaman rumah yang luas. Mulai dari bermain bekel, lompat karet di bawah pohon mangga atau mencoret-coret tembok.
Hanin menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Tak bisa dipungkiri, ia merindukan kelima adik perempuannya. Khoiriah, Zalikha, Ilma, Khalila, dan Annisa. Keempat adik perempuannya telah meninggalkan rumah ini, membina rumah tangga bersama suami masing-masing. Kecuali keluarga Annisa, adik bungsu Hanin yang sedang hamil anak kedua.
Hanin membetulkan ujung jilbabnya yang menari karena terpaan angin. Walau begitu, ia tetap merasa butiran keringat mulai muncul di kening. Ia kembangkan senyuman lebar guna menepis semua keraguan untuk kembali ke dalam. Ini rumah ketiga orang tuanya. Jadi sudah jelas bahwa ini juga rumahnya.
Hanin memantapkan langkah menuju teras rumah. Sebelum ia memberi salam, Mashitoh yang mengenakan gamis dan hijab panjang berwarna hijau lumut berdiri di depan pintu. Hanin segera melepas sepatu dan berlari kemudian mencium tangan lalu memeluk wanita itu.
“Assalamualaikum, Ummiiii…” ucap Hanin penuh kerinduan.
Mashitoh menjawab sambil menyambut hangat pelukan Hanin. Air mata haru mewarnai kerinduan di antara mereka.
“Kamu sehat, Nak?” tanya Mashitoh.
Hanin mengangguk sambil tersenyum.
“Ayo masuk. Kamu pasti lelah. Jakarta-Yogyakarta itu bukan jarak yang dekat. Pergi sendirian ... Ya Allah, Hanin,” lanjut Mashitoh.
Hanin sadar, ada kalimat terputus dari lidah Mashitoh. Ia tahu itu karena ummi-nya adalah wanita lembut yang selalu menjaga perasaan orang lain.
“Abi sudah berangkat, Ummi?” tanya Hanin.
“Sudah. Pukul delapan tadi. Abi titip salam. Sebenarnya ingin menjemputmu di stasiun walau semalam kamu menolak saat di telepon, tapi tiba-tiba dapat kabar kalau ada tamu dari Jakarta ingin melihat konveksi dan butik. Akhirnya nggak jadi deh jemputnya,” jawab Mashitoh sambil tersenyum.
Mashitoh menggandeng Hanin saat mereka berjalan menuju ruang tengah dan berhenti di depan sebuah kamar.
“Bagaimana keadaannya, Ummi?” tanya Hanin sambil menatap ke arah kamar.
“Nggak seburuk yang kita pikirkan. Baru selesai sarapan.”
“Ummi, yakin?”
“Masuklah. Dia seperti ini karena merindukanmu, Hanin.”
“Temani Hanin, Ummi.”
Mashitoh tersenyum kemudian mengangguk dan kembali menggandeng Hanin.
Mashitoh membuka pintu kamar perlahan. Hanin berhenti di depan pintu kamar, memandang punggung Mashitoh yang terus berjalan menuju ranjang. Hanin mencoba menata perasaannya. Mengingat pertemuan terakhir sebelum ia meninggalkan rumah ini. Sebuah pertengkaran hebat terjadi antara Hanin dan seorang wanita yang sedang duduk bersandar di ranjang.