Apa Tidak Ada Yang Lain Selain Mantan?
“Assalamualaikum, Ummah,” ucap Hanin berhati-hati.

Mata Hanin menatap kedua wanita yang berada di depannya. Mereka tampak seperti saudara kandung. Mashitoh memegang bahu Afifah yang kini menatap ke arah Hanin dari atas ranjangnya. Mereka menjawab salam tetapi Hanin tahu jika Afifah mulai menghilangkan senyumnya saat melihat kedatangan Hanin.

“Masuklah, Hanin,” pinta Mashitoh.

Hanin melangkah dengan sedikit gugup. Afifah yang sakit adalah alasan pertama ia kembali. Hanin mencium tangan dan juga kedua pipi Afifah.

“Akhirnya kamu ingat juga untuk pulang,” ucap Afifah tanpa memandang ke arah Hanin.

“Maaf, Ummah. Hanin baru bisa datang. Alhamdulillaah, Ummah sudah pulang dari rumah sakit,” ucap Hanin.

“Mana suamimu?”

Hanin menunduk. Ia sempat melihat Mashitoh menekan pundak Afifah sebentar.

“Hanin baru saja sampai, Afifah. Ia sangat merindukanmu,” ucap Mashitoh mencoba menenangkan suasana.

Hanin paham benar sikap kedua wanita di depannya. Mashitoh selalu lembut dan tenang, wanita itu bisa memberikan keteduhan bagi siapa saja yang memandang wajahnya. Berbeda dengan Afifah, wanita yang melahirkannya itu lebih mudah meletup ketika emosi dan juga keras kepala. Sayangnya, dua sifat Afifah selaku ibu kandungnya itu menurun sempurna pada dirinya.

“Hanin belum menikah, Ummah. Pasti Ummah tahu kan? Hanin minta, Ummah jangan bosan mendoakan Hanin,” jawab Hanin.

“Baguslah. Kalau begitu kamu memang berjodoh dengan Khalif.”

Kening Hanin berkerut, ia mencoba menelaah ucapan Afifah yang baru saja ia dengar.

“Mbak Mashitoh, apa Mbak nggak ngasih tau lamaran itu ke Hanin?” tanya Afifah sambil menatap Mashitoh yang menggeleng pelan dan ekspresi wajah datar.

“Kita bisa membicarakannya nanti, Afifah. Sekarang biarlah Hanin istirahat. Begitu juga kamu. Jangan berpikir macam-macam dulu,” ucap Mashitoh.

Afifah menatap Hanin sesaat dan tajam dan berucap, “jangan coba-coba menolak lamaran itu, Hanin! Kesempatan nggak akan datang dua kali.”


Komentar

Login untuk melihat komentar!