Sesulit Itukah Menunjukkan Bahwa Kau Sayang Padaku?
Mulut Hanin telah terbuka, ia siap menimpali ucapan Afifah. Namun hal itu urung ia lakukan karena melihat Masithoh yang mencegahnya dengan gelengan kepala.

“Kamu pasti belum minum obat pagi ini kan, Afifah?” ucap Mashitoh sambil mencari tempat obat yang telah ia berikan kepada Afifah sebelum keluar kamar tadi. Tak lama kemudian, ia berhasil menemukannya di bawah bantal. Tanpa menunggu lagi, Mashitoh memberikan obat sesuai dosis yang tertera kemudian memberikan air minum. Ia memandang Afifah. Memastikan agar obat itu terminum semua.

Afifah menurut. Telah lama Mashitoh tak ubahnya seperti kakak bagi Afifah. Usia mereka hanya terpaut dua tahun.

Dulu, Mashitoh mengajukan lamaran kepada Afifah untuk menjadi istri kedua Yazid yaitu suaminya sendiri. Karena hampir sepuluh tahun pernikahan, Mashitoh tak dapat memberikan keturunan.

Hanin hadir setelah satu tahun menjalani pernikahan Yazid. Semua merasa gembira. Disusul oleh Khoiriah dan Zalikha yang masing-masing berjarak satu tahun. Keadaan rumah berubah menjadi ramai. Masithoh tidak segan membantu Afifah mengurus putri-putrinya. 

Di antara putri mereka semua, Hanin adalah putri yang paling dekat dengan Mashitoh. Ia sering berlari ke rumah Mashitoh yang berdampingan di sebelah rumah yang ditempati oleh Afifah. Entah itu bermain, mandi, makan atau pun tidur bersama, baik di hari biasa atau saat hari di mana Yazid harus bermalam di rumah Afifah.

Dua tahun dari kelahiran Zalikha, Mashitoh mengandung. Ia memberikan dua orang putri untuk Yazid yaitu Ilma dan Khalila. Tapi hal itu tidak merusak hubungan di antara mereka semua dan saat Khalila berusia hampir enam tahun, Annisa hadir di antara mereka melalui rahim Afifah. Walau riak kecil kadang menerpa, mereka hanya menganggap sebagai bumbu rumah tangga.

Hanin masih berdiri di samping ranjang. Ia berusaha keras menahan lidahnya agar tidak berdebat dengan Afifah. Bagaimana pun, ia tidak ingin tekanan darah tinggi Afifah kembali menyerang.

“Annisa saja sudah hamil anak kedua. Sedangkan kamu? Lupa kalau usia kamu itu sudah 34 tahun?” ucap Afifah dengan mata mendelik ke arah Hanin.

“Pokoknya kamu nggak boleh menolak lamaran Khalif kali ini. Ummah nggak terima alesan apa pun!”

Kedua tangan Hanin mengepal, mencengkeram gamis yang ia pakai. Rahangnya mengatup rapat. Matanya kembali berkaca-kaca. Kenapa situasi ia dan ibu kandungnya menjadi sulit seperti ini? Bahkan saat ia belum puas memberikan peluk kerinduan seorang anak kepada Afifah.

Komentar

Login untuk melihat komentar!