Dia Datang Lagi
Aku merasa ada air mengalir menyentuh kakiku. Tapi anehnya, aku tidak bisa melihat kakiku sendiri. Untuk menolehkan wajah saja tidak bisa, apalagi menggerakkan badanku. Guru karateku pernah berkata, jika aku tidak bisa menggerakkan badanku sama sekali, panggillah Tuhanmu. Hanya Dia yang mampu menolongmu.  

"Ya, Tuhanku. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada-Mu hamba memohon...,"doaku sungguh-sungguh.

Begitu aku membuka mataku, sebuah cermin besar berada tepat di hadapanku. Tentu saja aku sangat terkejut. Wajahku sendiri terpampang di sana, begitu pula ekspresi terkejutku. Ini benar-benar sangat memalukan. Aku malu sendiri melihat wajahku yang aneh ini. Mengapa aku baru sadar kalau wajahku begitu jelek dan tak pantas dilihat orang. Aku menunduk dalam, sampai daguku menyentuh dada. 

"Dara...," panggil seseorang. Suaranya menggema-gema sehingga aku tidak bisa mengenali suaranya. 

"Dara...," suara itu kembali terdengar. Aku menyapu pandang sekelilingku yang serba putih. Tidak ada siapa pun di sini. 

Baru aku menyadari kalau aku tidak berada di sekolah. Tempat yang asing dengan latar serba putih. Tidak ada benda apa pun di sini. Hanya kabut putih dan cermin mulai terlihat dimana-mana. 

Lalu aku mencoba berkeliling tempat ini. Aku berpikir ada jalan keluar dibalik cermin-cermin itu. Saat aku menilik bagian belakang cermin, tampak sebuah gambar cermin. Di dalam gambar itu ada gambar seorang anak menggendong endong, wadah anak panah. Aku ingin tahu apa gambar itu sebuah ukiran atau hanya cap saja. Maka dari itu aku merabanya. 

Aku tidak tahu kalau dengan******gambar itu, akan mengeluarkan anak dalam gambar tadi. Anak itu benar-benar mirip denganku. Aku bisa melihat dari cermin yang ada di sekeliling kami. Kami seperti pantulan bayangan di cermin. Pakaiannya, gaya rambutnya, bahkan raut wajahnya. Hanya saja, dia menggendong endong sedangkan aku menggendong tas sekolah. 

"Maaf, aku memakai pakaian perempuan sepertimu," kata orang itu tersipu.

Aku sedikit kaget. Ternyata firasatku benar, dia laki-laki. Sudah jelas dari suara dan pengakuannya. Suaraku juga sedikit besar, hampir seperti anak laki-laki remaja. Jadi aku masih bisa menirukan suaranya. Tapi dia tidak bisa menirukan suaraku.

"Kamu siapa?" tanyaku bingung.

"Oh, maaf aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Zagar Anata," jawabnya ramah.

Namanya seperti nama keluargaku. Namaku Dara Anata, kakak perempuanku Nanda Anata, dan kakak laki-lakiku Raga Anata. Lalu ayahku Wira Anata, serta kakekku Hasta Anata. Siapa dia? Apa anak ini juga bagian dari keluargaku? 

"Kau tidak takut melihatku?" tanya laki-laki itu heran.

"Aah, aku tidak tahu. Biasa saja rasanya. Mengapa kamu temui aku lagi? Dan mengapa kemarin kamu ada di cermin? Berpura-pura menjadi bayananku pula?" tanyaku mulai sebal. Jujur aku tidak merasa takut sama sekali. Seolah-olah hal seperti ini biasa terjadi. Tapi aku menjadi bingung sendiri.

"Aku hanya mau meminta bantuanmu. Itu pun jika kau mau membantuku. Negeriku sedang terkena masalah. Dan aku tidak bisa kembali ke sana seorang diri. Aku harus membawa kawan supaya bisa saling membantu," terangnya lirih.

Wajahnya yang tertunduk sedih membuat dia semakin manis saja. Tapi dia terlalu manis untuk ukuran anak laki-laki. Apalagi pernyataan yang tidak sesuai dengan pertanyaanku. Itu sudah menandakan dia putus asa seperti perempuan. 

"Apa masalah itu?" tanyaku penasaran. Meski aku tidak yakin bisa membantu, tapi setidaknya hatinya menjadi lega setelah bercerita kepadaku. 

Aku pun tersadar kalau aku hanya bermimpi. Aku ingat kalau kemarin dia menemuiku di dalam mimpi. Pasti sekarang aku bermimpi lagi. Layar putih itu sama sekali tidak menghilang dari pandanganku, walau aku sudah tahu jika peristiwa ini hanya mimpi. Aku merasa sedikit betah berlama-lama di sini. Aku belum ingin bangun, hehe.

Komentar

Login untuk melihat komentar!