Sudah KLIK BERLANGGANAN? Kalau belum, buruan.
Aku tunggu! 😍
HATI YANG RETAK (2)
Kebohongan itu hanya masalah waktu. Karena sepandai apa pun seseorang menyimpan bangkai, bau busuknya pasti akan terendus juga
***
Aku masih terpaku pada piring yang berisi nasi goreng. Perutku mendadak kenyang setelah mendengar obrolan Emir dan adiknya. Hanya beberapa teguk jus jeruk yang kusesap, selebihnya aku hanya melamun sambil memainkan sendok di atas piring berwarna marun.
"Kamu kenapa lagi?" Suara Emir mengagetkanku.
Sedikit gelagapan aku membenarkan letak gelas yang berada di samping piring. Sedikit menggeleng dan kembali meneguk jus jeruk yang hampir habis.
"Kamu sering ngobrol sama Rayhan?" tanya Emir penuh selidik. Manik mata lelaki itu menatapku tajam. Jika sudah begitu nyaliku bisa menciut dibuatnya.
"Nggak, kok. Dia jarang ada di rumah."
"Kamu jangan bohong, sering curhat apa ke dia?" Emir masih menginterogasi.
"Kamu kenapa, sih, Mas? Sama adik sendiri kok segitunya? Kalau nggak percaya, tanya saja sama dia." Aku berusaha membela diri. Selama ini aku memang jarang berkomunikas dengan Rayhan. Lelaki berstatus sebagai adik iparku itu sepertinya terlalu sibuk di luar rumah. Begitu juga aku yang lebih sering menghabiskan waktu di kamar. Duduk di depan laptop berjam-jam untuk menyelesaikan tulisan. Sejak menjadi mahasiswa aku memang telah aktif menulis. Semakin ke sini bakat itu kian terasah. Dari menulis aku memiliki pendapatan sendiri. Meski diperistri oleh lelaki kaya, bukan berarti aku tidak bisa mandiri.
"Aku hanya mengingatkan. Kamu harus hati-hati dengan Rayhan. Dia suka iri sama aku."
"Iri? Kenapa?" Aku bertanya tak percaya. Apa iya Rayhan iri terhadap Emir? Kenapa begitu, bukankah Papa dan Mama telah berlaku sangat adil untuk mereka? Si sulung dan si bungsu itu mendapatkan bagian yang sama dalam segala hal teemasuk pekerjaan. Soal menikah, itu hak pribadi masing-masing. Jika Emir sudah menikah sementara Rayhan belum menemukan jodohnya apakah salah dan harus iri? Aneh!
"Kamu akan tau sendiri nanti, Sayang." Emir tersenyum. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya. Aku pun mengikuti seperti biasa. Mengantarkan lelaki itu hingga ke pintu depan dan melihat mobilnya menghilang di balik pintu pagar. Sebelum pergi tak lupa ia mengecup keningku. Aku pun menyalami Emir penuh takzim. Bukan sekadar melepaskan kepergiannya, akan tetapi selalu ada doa yang kusisipkan untuk dirinya. Memohon agar Tuhan menjaga dalam setiap gerak langkahnya.
Menikah dengan Emir adalah sebuah kebahagiaan. Aku merasa telah menjadi wanita paling beruntung. Mengenalnya dalam waktu singkat bukan masalah awalnya. Namun, setelah pernikahan berjalan hampir satu tahun, aku menghidu sesuatu yang tidak beres. Firasat itu semakin kuat saat tadi malam menemukan chat mesra di ponsel miliknya. Emir tidak menyimpan kontak perempuan itu, hanya nomor yang tertera dan sekarang nomor baru itu telah kusimpan di kontak gawaiku.
Aku bergegas menuju kamar dan membuka baju panjang serta jilbab yang tadi kukenakan. Menggantinya dengan selembar baju tidur dipenuhi gambar bunga mawar. Aku mengambil posisi di atas ranjang, membuka tombol kunci pada layar datar tersebut. Jemariku mencari nomor dengan nama yang telah kusimpan tadi malam. Ya, dapat. Namun, keraguan pun muncul. Apa sebaiknya aku menahan rasa ingin tahu ini? Lebih memilih percaya pada suami sendiri? Di lain hati, ada sebuah rasa yang terus mendorong agar aku menghubungi nomor tersebut. Ah! Kenapa aku tidak punya nyali begini?
Aku bergelut dengan pikiran sendiri. Membanting benda pipih berwarna silverl itu ke atas ranjang. Jantung berdegup lebih kencang dari biasanya. Kepala terasa panas dan telapak tangan menjadi dingin berkeringat. Sesekali rasa mual menyerang sehingga membuatku memejamkan mata. Ah, sesulit inikah?
Beberapa menit setelah menenangkan diri, kembali kuraih ponsel yang teronggok pasrah di atas bed cover yang masih berantakan. Aku memang belum membereskan tempat tidur kami, semangatku menguap entah ke mana pergi. Layar yang telah terkunci kembali menyala. Sebuah ide muncul di kepala, kenapa aku tidak melihat foto profilnya saja, barangkali ada pencerahan di sana.
Debaran di dalam dada kian menggila, rasa takut pun muncul seakan-akan aku sedang melakukan sebuah kejahatan besar. Aku takut pada Emir. Bagaimana kalau nanti dia marah? Murka dengan kelancanganku yang kedua? Tapi, aku 'kan hanya melihat foto, kurasa tak masalah. Sekali klik muncullah gambar seorang perempuan di sana.
"Cantik." Aku bergumam.
Siapa dia? Ah! Bisa saja kan jika seseorang memasang foto apa saja di profil WA miliknya. Aku mencoba untuk berfikir positif. Tidak mungkin Emir tega menyakitiku. Dia selama ini selalu memanjakan dan perhatian. Pikiranku berkelana entah ke mana, bertanya lalu kemudian mencari pembenaran sendiri. Aku pun akhirnya memantapkan diri untuk menghubungi nomor tersebut, daripada larut dalam prasangka yang akhirnya membuat aku tersiksa.
Buru-buru kukenakan kembali baju terusan serta jilbab kaos yang tadi telah kusangkutkan. Aku berlari menuruni tangga menuju dapur. Mencari Mba Nini--wanita yang selama ini selalu membantu Mama di rumah.
"Mba, lagi sibuk?" tanyaku saat melihat dia sedang mengerjakan sesuatu.
"Nggak, Mba. Ada yang bisa saya bantu?" Mba Nini terlihat kaget dan segera menyambutku.
"Aku pinjam ponsel Mba sebentar, ya. Mau hubungi teman. Kebetulan HP-ku sedang error." Aku berbohong pada Mba Nini. Segera wanita yang masih seumuran denganku itu merogoh saku dan memberikan ponselnya padaku. Tak lagi berbasa-basi, aku membawa ponsel wanita bermata sendu itu ke kamar. Di sana aku akan lebih leluasa.
Sengaja aku meminjam gawai milik Mba Nini agar nomor pribadi milikku tidak terlacak. Aku wajib berhati-hati dan semuanya harus berjalan mulus dan sesuai rencana. Tak bisa gegabah apalagi sampai hilang arah. Dengan tangan sedikit gemetar aku mengetik ulang nomor tersebut di layar HP Mba Nini. Aku mondar-mandir di dekat ranjang, sesekali mengintip di jendela memastikan jika Emir tidak pulang mendadak.
Panggilan tidak terjawab. Aku kembali menghubungi, beberapa detik aku menunggu hingga seseorang membuka percakapan di seberang sana.
"Halo."
"Selamat Pagi. Saya dari PT. Ecoservice pelayanan servis AC. Ada yang bisa kami bantu?" Kubuat-buat suara agar mirip seperti customer service.
"Pagi. Maaf, saya nggak menghubungi pihak servis AC."
"Baik. Mohon maaf, dengan ibu siapa saya berbicara?"
"Saya dengan Andin."
"Baik, Bu Andin. Mohon maaf karena telah mengganggu waktu anda. Selamat pagi."
Aku segera mematikan sambungan telepon. Informasi sementara telah kukantongi. Perempuan tersebut ternyata bernama Andin. Apa mungkin Emir tidak mengenalnya? Meski ia telah menjelaskan semua, aku yakin ada kebohongan. Tidak mungkin jika tak mengenal tapi berani chattingan mesra. Aku saja sebagai istri sah sampai merinding membaca pembahasan mereka.
Kebohongan itu hanya masalah waktu, karena sepandai apa pun seseorang menyimpan bangkai, bau busuknya pasti akan terendus juga. Mungkin saja Emir telah lama membohongiku, aku tidak bisa melihat karena selama ini mataku tertutup oleh perhatian dan cinta bertubi yang ia berikan.
Allah, bantu aku untuk mengungkap semuanya. Aku tidak mau gelap mata dan mengambil keputusan terlalu cepat hanya karena masalah yang belum kuketahui kebenaran sepenuhnya. Aku telah menyusun rencana, agar tidak menimbulkan kecurigaan Emir sehingga semua berjalan sempurna.
Aku akan menunggu Emir pulang dan tetap bersikap seperti Hana sebelumnya. Seorang istri penurut dan lemah lembut.
***
Bersambung