Part 4: PASWORD BERLAPIS di PONSEL
HATI YANG RETAK (4) 

Bersimpuh di hadapan Tuhan adalah satu-satunya jalan. Terlalu berharap kepada manusia hanya akan menimbulkan , sementara menyerahkan segala permasalahan kepada-NYA membuat pikiran menjadi tentram

***

Aku tersentak bangun dari tidur. Rasa pusing tiba-tiba melanda, padahal tadi aku masih baik-baik saja. Kulirik jam di dinding kamar, jarum pendek berada di angka dua, itu artinya aku baru tertidur selama satu jam. Pantas kepala terasa sedikit berat di tambah memikirkan cara untuk membuat Emir berkata jujur. Aku beranjak dari ranjang menuju kamar mandi. Semoga setelah berwudhu beban pikiran ini bisa sedikit berkurang.

Bersimpuh di hadapan Tuhan adalah satu-satunya jalan. Terlalu berharap kepada manusia hanya akan menimbulkan kekecewaan, sementara menyerahkan segala permasalahan kepada Tuhan membuat pikiran menjadi tentram. Mukena putih sudah menutupi seluruh tubuh dengan sempurna. Berdiri menghadap kiblat untuk bersujud merendahkan diri di hadapan-Nya. Memohon segala pinta agar aku kuat menjadi seorang istri untuk Emir.

Tak kuhiraukan air mata yang tak henti mengalir sejak sujud pertama. Kebahagiaan selama membina rumah tangga dengan Emir terlintas bagaikan slide di dalam pikiran. Satu persatu terus saja berputar. Senyum bahagia yang selalu tercipta di antara kami apakah hanya kamuflase belaka? 

Sujud ke dua telah kuselesaikan. Shalat malam kali ini kulewati sambil bersimbah air mata. Bukan seperti malam-malam sebelumnya yang kukerjakan dengan khusyu dan tenang. Tahajud kali ini pikiranku melayang-layang entah ke mana. Di saat berdoa aku sudah tidak bisa lagi menahan segala rasa. Jika saja Ibu masih ada, tentu akan menjadi tempat pelepas segala gulana. Bisa kupinjam bahunya sebentar untuk bersandar saat lelah pikiran melanda. Bisa kuajak ia bercerita sebagai pelepas lipur lara. Ah, Ibu, aku rindu. 

Bahuku berguncang menahan isak. Beban di dada terasa kian sesak. Istighfar kulantunkan untuk mengusir kegalauan. Aku tahu jika setan sedang bermain di perasaan. Setelah melangitkan doa untuk rumah tanggaku dan Emir, aku melipat mukena dan menggantungnya kembali di tempat biasa. Saat hendak kembali ke ranjang, aku melihat ponsel milik Emir menyala. Sebuah panggilan dari nomor kontak yang tidak biasa--Satpam Rumah Makan--ada perlu apa? Menelepon pemilik rumah makan dini hari begini? Ada yang terjadi? Mungkin ada kekacauan di salah satu rumah makan?

Mendadak aku bingung. Ingin menelepon ulang, tapi tidak bisa membuka ponsel milik Emir yang memakai pasword. Merasa panik aku segera membangunkan lelaki itu. Wajahnya terlihat tenang saat terlelap. Ada perasaan tidak tega membangunkannya, akan tetapi panggilan tadi kurasa lebih penting. Bagaimana jika sesuatu sedang terjadi dan berakibat buruk untuk ke depan. Mataku kembali melirik layar ponsel, ada tujuh lpanggilan tak terjawab. Jelas sudah kalau ini penting.

"Mas! Mas, bangun." Aku menggoyangkan tubuh Emir perlahan. Lelaki itu memang agak sulit untuk dibangunkan. Memerlukan waktu beberapa menit hingga ia benar-benar membuka matanya secara sempurna.

"Mas, bangun! Ada telepon penting ini, Mas!" Kudekatkan mulutku ke telinganya seraya menggoyangkan tubuh lelaki yang masih memejamkan mata tersebut.

Aduh, bagaiamana ini, Emir masih bergeming di atas tempat tidur. Selimut tebal berwarna krem muda menyelimuti tubuhnya hingga leher. Aku terus mencoba untuk membangunkan, hingga akhirnya beberapa saat kemudian lelaki itu membuka mata dengan sempurna.

"Apa, sih, sayang?" tanyanya sambil mengucek mata.

"Ada telepon di HPmu, Mas." 

"Siapa? Udah tidur juga masih ada yang gangguin." Kini tubuh Emir sudah menghadap ke arahku.

"Satpam rumah makan, Mas. Kali aja ada yang penting." Aku berujar sambil menyodorkan ponsel milik Emir.

"Hah? Satpam? Sini-sini. Kamu angkat jawab tadi panggilannya?" Emir menyingkirkan selimut buru-buru. Mangambil HP di tanganku dan mulai menekan-nekan di atas layar ponsel yang sekarang telah berpindah tangan.

"Sebentar, aku hubungi balik." Ia bangkit dari ranjang menuju sebuah kursi yang terletak di depan meja rias.

"Hubungi, kok, lama? Telepon aja!" seruku karena melihat jemari Emir hanya sibuk menyentuh layar. 

"Oh, iya iya. Aku telepon aja." Ponsel itu berpindah ke telinga. Aku mengikutinya dari belakang. Masih panik menebak-nebak apa yang sedang terjadi. Lelaki itu berhenti di dekat pintu kamar. Aku pun ikut berhenti di belakangnya. Menunggu kabar dari satpam yang tadi menelepon berulang kali. Emir melihat ke arahku. Kemudian memindahkan benda pipih yang tadi berada di telinga ke dalam genggaman.

"Kamu tidur aja. Semua baik-baik saja, Sayang."

"Kok Mas bisa tau semua masih baik-baik saja, sementara telepon belum diangkat? Buruan hubungi lagi." Aku berkata panik.

Lelaki itu merangkul bahuku. Ia membawaku ke sisi tempat tidur. Merebahkan kemudian menyelimuti tubuhku. Satu kecupan ia daratkan di kening sambil tersenyum manis seperti biasa. Namun, aku merasakan ada makna lain dari senyum yang ia berikan. Hatiku merasakan sesuatu yang lain. Firasat itu semakin kuat. Sesuatu yang tidak beres sedang menyapa malam kami. Mulai berani mengganggu waktu istirahatku dan Emir.

Kutatap mata lelaki itu lekat. Perlahan senyumnya memudar. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Kutarik pipi Emir perlahan agar pandangannya kembali tertuju padaku.

"Benarkah jika semuanya masih baik-baik saja?" tanyaku pelan. Mata kami masih saling terpaut. Kucoba untuk menyelami tatapannya. Menelisik setiap sudut mencari sisa-sisa kejujuran yang tersembunyi. Namun, semakin jauh aku mencari, justru kebohongan yang muncul kepermukaan. Kutepis kecurigaan yang muncul tanpa diminta. Tiba-tiba hati meringis menimbulkan gerimis yang siap meluncur kapan saja. Tidak! Aku harus kuat. Tidak boleh menangis di depan Emir.

"Sebentar, aku hubungi dulu, ya. Kamu tidur terus. Jangan ikuti Mas seperti barusan. Mas merasa kayak penjahat yang sedang dikawal polisi, lho. Untung polisinya cewek manis dan imut kayak kamu. Coba kalau brewokan, pasti Mas kaget tadi."

Candaan yang ia layangkan hanya angin lalu bagiku. Mataku tertuju ke arah ponsel yang dipegang Emir. Lampu layar kembali menyala. Ada pesan WA masuk, tapi tidak bisa******siapa pengirimnya.

"Kenapa HP di-silent-kan?" tanyaku pada Emir.

"Biar nggak mengganggu istirahat kita, Sayang."

"Jujur?"

"Kapan aku penah bohongin kamu, Hana?"

Mudah sekali dia menjawab seolah tanpa dosa. Kenapa di saat lelaki berbohong, tapi masih bisa setenang itu? Apakah dia tidak pernah menempatkan diri di posisi sang istri? Bagaiamana reaksi yang akan muncul jika ketahuan sang istri sedang berbohong? Terkadang lelaki sangat egois, serakah! Ada sebagaian lelaki meminta istrinya untuk sempurna paripurna, baik dari penampilan maupun tingkah laku, tapi kembali lagi kepada sang imam, sudahkah ia memberi materi yang berlebih sehingga para istri bisa membeli peralatan kecantikan? Atau sekadar membeli bumbu dapur saja masih harus menyisakan utang? Sang suami juga meminta istri bersikap lemah lembut dalam berujar dan memilik kesabaran di atas rata-rata. Lalu, sudahkah sang suami bercermin bagaimana perangainya? Hidup berumah tangga itu gampang-gampang susah. Oleh karena itu balasannya surga.

"Sebentar, Mas telepon dulu satpam tadi. Kamu tidur, ya."

Emir beranjak rurun dari atas ranjang. Ia berjalan ke arah pintu kamar. Sebelah tangannya memutar kunci, kemudian ia menarik handel pintu dan keluar. Pintu kembali ditutup dari luar. Aku memejamkan mata, meresapai semua yang telah terjadi. Menjalin hubungan dengan Emir bukanlah sehari dua hari. Banyak cerita telah kami lalui bersama. Curiga itu pasti, tapi aku akan mencari kebenarannya. Jika firasatku salah, aku telah sangat berdosa terhadap Emir.

Langkah pertama untuk mengungkap semuanya adalah membuntuti pergerakannya. Misi akan segera dilakukan. Aku pun menarik selimut dan berusaha untuk tidur sebentar sebelum waktu shubuh menjelang.

***

Bersambung

***

Tinggalkan jejak kalian, Gaesss!
Setia selalu sama cerbung ini, ya😊😊😉😉🙏🙏

Komentar

Login untuk melihat komentar!