Pernak-Pernik Cinta
(Pipiet Senja)
Desember, 2008;
Sesungguhnya demam itu mulai terasa sejak akhir pekan yang silam. Namun, seperti sudah menjadi kebiasaanku, segala macam rasa sakit yang merongrong tubuhku segera kutepis. Salah satu caranya adalah dengan menghipnotis otakku, dan berkata berulang-ulang dalam hatiku; “Aku sehat, sehat, sehaaat!”
Aku pun melanjutkan kegiatan rutin. Menulis sejak dinihari, beres-beres rumah, masak, lalu meninggalkan rumah untuk berbagai urusan. Macam-macam pula yang bernama urusan ini.
Mulai dari menjajakan naskah, nego dan fiksasi buku baru dengan penerbit, survey untuk bahan tulisan, mengompori penulis pemula yang membutuhkan nasihat atau sekadar menampung curhatan, memenuhi undangan seminar kepenulisan, promo roadshow buku terbaru de el el…Sampai jumpa penggemar dan lesehan dengan komunitas kepenulisan.
Ternyata demam itu masih menguntit ke mana pun kakiku melangkah. Seketika aku jadi teringat cucuku. Sepekan yang lalu anak itu kena demam tinggi dengan seluruh badan sakit-sakit. Aku putuskan untuk menginap di rumah kontrakan mereka di Kukusan.
Zein, cucuku yang belum lama bisa berjalan itu, menempel terus di dadaku. Setelah ortunya tepar semalaman, siang itu giliran neneknya ini yang mengurusnya.
“Kira-kira sakit apa nih anak, ya?” tanyaku berulang kali, sendirian wara-wiri di sekitar rumah yang tak berapa luas itu.
Sekujur tubuhnya meruapkan hawa panas luar biasa, aroma bawang merah dan minyak kayu putih serasa menyengat hidungku.
Besanku sudah datang kemarin sore, dan membaluri Zein dengan obat tradisional kesukaannya; bawang merah, kunyit, minyak kelapa, minyak kayu putih…Fheew!
“Halaaah! Tinggal digoreng aja tuh!” ledek Butet melalui pesan singkat, setelah kukabari tentang kondisi keponakan kesayangannya.
Aku tak berani membawanya ke dokter. Perempuan ini termasuk ibu yang sangat berhati-hati membawa anaknya (bersegera!) ke dokter. Dia selalu mengatakan bahwa kalau anak sering-sering dibawa ke dokter bisa berakibat buruk. Banyak malpraktek, banyak obat yang tak cocok, bahkan obat pun sesungguhnya racun, bla, bla…
Kebalikan dariku, terpengaruh oleh kondisi kesehatanku, pasien seumur hidup, selamanya bergantung dengan transfusi darah, notabene identik akrab dengan paramedis.
Jika anakku demam lebih dari satu hari saja aku pasti sudah panik, buru-buru melarikannya ke dokter.
Meskipun sudah diobati, jika dua hari kemudian belum juga reda demamnya, biasanya aku akan kembali ke dokter dengan kepanikan berlipat-lipat.
Demikian terus hingga mereka sudah besar sekali pun. Beruntunglah kedua anakku jarang sekali sakit. Menghadapi jalan pikiran menantuku mengenai fungsi dokter itu, acapkali membuatku frustasi dan kesal.
Sebagai seorang ibu mertua aku sudah memutuskan untuk pandai-pandai bersikap bijak bestari.
Aku pernah mengalami kekerasan, perbantahan dan konflik yang cukup mengerikan di masa lalu dengan sosok bernama ibu mertua. Sebuah traumatis jiwa yang takkan terlupakan dari memoriku.
Demi Tuhan, aku tak ingin mengulangi sejarah kelam itu!
“Gak baik, Ma, anak sering dikasih antibiotik. Nanti bisa berpengaruh buruk pada otaknya,” demikian kilah Haekal.
“Jadi… dikasih apa untuk mengurangi panasnya ini, Neng?”
“Ada obat anti panas…”
“Sok atuh sekarang dikasih lagi…”
“Jangan sering-sering juga ‘kaleee…”
“Ini sudah berapa lama sejak dikasih obat?”
“Tadi malam sekitar jam tujuhan…”
“Laaah?” seruku kaget sekali.
Pantaslah suhu badannya meninggi begini? Sudah lebih dari duabelas jam! “Sini kita kasih lagi obatnya, ya Neng,” pintaku tak tahan lagi melihat cucuku menanggung rasa sakitnya, dan demamnya yang tak wajar ini.
“Nanti sajalah, Bu,” tolaknya tegas sekali. “Kita tunggu dulu perubahannya beberapa jam lagi!”
Dia sudah memutuskan, aku menggumam dalam hati, dialah yang paling berhak!
Beberapa jenak aku berdiri tertegun-tegun di depan kamar mereka sambil mendekap cucuku yang terus jua meringik meriang. Pasangan nikah dini usia 18-an, tujuh tahun yang silam itu, tampak ambruk kecapaian.
Haekal pulang lembur pukul sebelas malam, langsung sibuk menggantikan menjaga anak. Semoga dia tidak latah demam, doaku dalam hati.
“Hmm, hkkk, hiiik, hiiik…” erang Zein, dia menolak waktu kuberi minum susu.
Tangannya yang mungil mengapai-gapai, kadang meremas dan memukul lemah apapun yang terjangkau. Sepasang matanya mendelong, pipi-pipinya kelihatan tirus.
Wajahnya memerah bagaikan terbakar matahari. Dalam empat hari saja berat badannya tampak banyak berkurang.
“Makan ya, Nak, makan… Biar kuat, biar cepat sehat,” bujukku sambil memaksanya menelan bubur.
Setelah beberapa jam selalu menolak apapun yang kusodorkan, menjelang sore, dia mulai mau menelan bubur sesendok demi sesendok dengan susah payah.
“Sakit nelan, ya Nak… Duh, anak ganteng, anak soleh, kuat, ya, kuat… Harus kuat!” ceracauku sambil mengecupi keningnya dan menyuapinya setengah paksa.
“Hkk, hkkk…,” jawabnya dengan ringikan yang terdengar semakin memelas.
“Waaah… semangkok, hebat!” pujiku dan terus juga mengajaknya ngomong.
Tak peduli macam orang linglung atau dianggap sinting, pokoknya harus mengalihkan perhatian Zein dari rasa sakitnya.
Usai makan kuganti pakaiannya dan pampersnya. Kemudian kuayun-ambing dia tanpa peduli kondisiku sendiri. Sudah lewat tiga bulan, masanya ditransfusi, tapi aku masih mampu bertahan.
Menulis, menulis dan menulis. Sekarang, ditambah mengemong cucu. Inilah terapiku!
Di luar hujan turun sejak kemarin. Pakaian kotor berserakan di kamar mandi, sebagian sudah dibilas di mesin cuci, tapi belum bisa dijemur. Jemurannya sudah penuh dengan pakaian berhari-hari sebelumnya.
Sungguh, musim hujan yang mengerikan bagi penderita asma seperti diriku.
Dia mau tidur beberapa saat, hingga aku bisa mendirikan sholat ashar dengan tenang.
Pukul empat, kucermati kondisinya sama sekali tak berubah. Masih demam tinggi, kadang dia seperti tersentak-sentak.
“Aduuuuh, bagaimana kalau step, terus kejang-kejang?”
Hatiku pun semakin kalut, gundah-gulana tak menentu. Kakeknya ada beberapa kali menelepon, menanyakan keadaannya. Kubalas singkat dan memintanya untuk menengoknya.
“Taklah… aku tak sanggup melihatnya menderita…”
“Hooo?!” jengkel hatiku dibuatnya.
“Kasihan sekali Zein, suhu badannya semakin tinggi…. Tengok sini, ayok, tengoook!”
“Taklah, sungguh aku tak tega lihat anak itu menderita!” tolaknya pula tegas sekali.
“Ya sudah… kalau begitu, jangan tanya-tanya cucumu lagi!”
Diiih…. Kenapa jadi sewot begini, ya, gumamku seperti orang linglung.
Kembali kuayun ambing si mungil yang selama ini membuatku jatuh cinta dan semakin bersemangat hidup. Setiap kali dia mau menggerakkan tubuhnya, kontan menjerit kesakitan, sampai urat-urat di lehernya menonjol.
Aku belum pernah menghadapi situasi macam ini pada anak-anakku dulu. Duuuh, rasanya aku tak bisa menahan kepedihan.
Hanya bisa berdoa dalam hati; "Ya Allah, sembuhkanlah cucuku, angkatlah segala rasa sakitnya. Tidak mengapa alihkan saja sakitnya kepadaku, ya Tuhanku…"
Pukul lima sore cucuku tercinta akhirnya tertidur juga di pangkuanku. Air mataku berlinangan waktu keluar kamar mereka, mindik-mindik macam maling kesiangan, khawatir makhluk kecil itu bangun lagi... alamaaak!
Nah, keesokan harinya, begitu bangun, tubuhku terasa meriang.
Ops, tapi aku sudah ada janji dengan anak-anak FLP Ciputat!
Jadi tak bisa kuhindari, ini sebuah amanah, maka dengan hujan-hujanan kucari taksi tarif murah.
Sampai ashar aku memberikan semangat kepada para peserta LCD 4, lomba cerpen.
Sementara meriang itu terus jua menyerang tanpa ampun!
Setelah sholat isya aku pun ambruk.
Sepanjang malam meriang hebat, silih berganti panas dan dingin disertai rasa nyeri yang menyerang sekujur tubuhku. Otakku ngeblank…Tuhan!
Padahal banyak pekerjaan, dikejar detlenan nian nih…
“Ya Allah, mohon jangan biarkan hamba-Mu ini sakit, tidak sekarang, kumohooon,” aku meracau seorang diri.
Untuk meringankan beban, kuminta Butet tidur di kamar dan dia mematuhiku.
Sepanjang malam dia bolak-balik menuruti segala permintaanku; teh manis, bubur hangat, kompres, obat penurun panas, de el el…
“Mom tauk gak…”
“Hmm… itu kalimat gak beres,” masih sempat-sempatnya aku mengkritik pilihan kalimat yang tak jelas.
“Butet denger sih… Sudah banyak juga warga di kampung kita ini yang kena demam chikungunya,” cetus putriku pula di sela-sela kerepotannya mengurus ibunya ini.
“Demam apaan tuh?”
“Iiih, Mama gak baca koran apa?” omelnya sambil menyelimutiku yang meriang silih berganti, kadang panas, kadang menggigil. “Virus yang menyerang sendi-sendi tulang. Iya nih… jangan-jangan Mama kena demam chikungunya?”
“Begitu ya…” kusembunyikan kepalaku di balik bedcover. “Brrr…. Huhu, huhu… Seperti apa tuh kondisinya?” tanyaku ingin tahu.
“Yah… kabar-kabarinya sih, ada yang parah sampai lumpuh kaki-kakinya…”
“Apppaaa?” seruku kaget dan mulai terpengaruh omongannya.
“Iya, ada yang cuma seminggu, dibawa ke Puskesmas sehat lagi deh. Tapi ada juga yang sudah berbulan-bulan, gak berdaya di tempat tidur, guling-gulingan kesakitan… lumpuh deh!”
“Ya Tuhan… kejem amat sih dirimu, stooop, diamlaaah!” sergahku ngeri.
“Hihi… makanya, kalo jadi ortu tuh kudu nurut sama anak, yeh, yeeeh… Ini sih kerjaannya wara-wiri aja kayak gasing. Inget dong kondisi Mama, bukan anak muda lagi kaleeeus…”
Kubiarkan dia merepet terus sampai bosan dan ikut tergeletak di sampingku. Menjelang tengah malam, ketika aku mendusin, kurasai ada tangan yang memelukku erat-erat.
Oooh, tangan kasih sayang milik putriku, terima kasih…
Dinihari itu, kupaksakan bangun… Ops!
“Masya Allah, mengapa jadi begini? Kedua kakiku tak bisa digerakkan sama sekali! Bagaimana mungkin ini terjadi pada diriku… Oh, tidaaaakkk!”
Jiiiieeeh… gugatan ala sinetron bangeeettt!
Malu oleh Butet kalau mengeluh, aku berdiam diri saja untuk beberapa saat, berbaringan terus nyaris tanpa bergerak sedikit pun.
Hingga lamat-lamat terdengar gema azan subuh, Butet tersentak dan terheran-heran mendapati ibunya masih tiduran.
Biasanya aku sudah wara-wiri antara dapur, meja kerja dengan laptop menyala dan murrotal semayup.
“Naaah…Ini baru ketauaaaan! Sakit beneran kan, Mooom… Yo oloooh…Mo diapain nih, mo ke rumah sakit, ke dokter, ayoook… Bilang aja buruan, pliiis deh, minta dibawa ke mana?”
“Pssst… jangan bawel!” sergahku, geli bercampur lucu plus kesal juga. “Reaksimu itu loh, Jeng… kok kayak nenek-nenek latah saja!”
“Yeee… ini murni setulus hati anakmu, Mom. Atas nama cinta, seorang anak kepada bundanya tercinta yang sedang gering…”
“Baiklah, Nanda… Bunda terima bakti ananda dengan sangat bangga dan terharu nian…”
“Hihi, ngapain sih kita kok kayak main sinetron aja!”
Aku tertawa. Butet terkikih. Masih ada tawa dan canda, meskipun lagi ketiban musibah. Alhamdulillah, gumamku, tak terasa ada butir-butir bening yang membasahi pipi-pipiku.
“Butet sholat dulu… Nanti, begitu Butet sudah siap berangkat, Mama juga harus sudah siap diangkut ke rumah sakit. Ocreeeh, Mom?”
“Huuusss… apaan tuh, sok ngatur segala!”
Sambil ngeloyor dia berteriak; “Sekali aja dalam hidup Mom, kudu nurut sama anakmu ini, pliiiiissss….”
Ini musim ujian semester, pikirku. Mana mungkin aku membiarkan Butet tidak ikut ujian? Butet harus meraih prestasi bagus. Ini bukan main-main, kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia adalah cita-citanya.
Agar bisa lulus cepat dengan IPK tinggi, dia memang harus berjuang ekstra keras. Termasuk jangan pernah meninggalkan ujian!
“Gimana… sudah siap kan?” Butet melongok lagi ke kamar.
Aku memang sudah siap, sudah melatih kakiku agar bisa bergerak perlahan, meskipun sambil menahan rasa sakit yang ajaib ini.
“Mama minta pengertianmu, ya Nanda sayang. Biarkan Mama pergi ke RSCM sendiri. Butet harus ujian, haruuus! Jangan biarkan Mama merasa bersalah karena sudah membuatmu tidak ujian hari ini, oke?”
Butet tercenung, memandangi wajahku lurus-lurus. Kulihat ada butiran bening menggantung di sudut-sudut matanya. Tentu dia pun harus berperang di dalam hatinya. Dia berdiri di antara kepentingan masa depannya dengan bakti terhadap ibu.
“Mmm… beneran nih Mama bisa jalan sendirian?”
“Insya Allah, Mama masih bisa jalan kok, insya Allah…”
“Kalau ada apa-apa…”
“Ada Allah Sang Maha Pengasih! Dialah yang akan menjaga ibumu ini, Nak. Pokoknya, hari ini Butet harus ikut ujian!” sahutku tak bisa ditolak lagi.
“Butet panggilkan taksi saja, ya Ma…”
“Baik, tapi yang tarif murah!”
“Gak apa-apa lageee… Taksi apapun yang penting nyaman buat Mama. Kan masih ada simpanan Butet. Pake aja, ya Ma.”
Dia menelepon taksi langganan. Kemudian menggandengku keluar rumah, menyusuri gang-gang becek dan kami menanti taksi di ujung jalan Raden Saleh.
Di atas taksi barulah teringat untuk memeriksa saldo di ATM BNI milikku. Bertambah satu juta dari saldo yang terakhir kucermati. Ada SMS masuk dari Mbak Nelly, memakai nama pena Puti Lenggo.
“Mbak Piet, sudah kutransfer satu juta untuk beli obatmu, ya. Mohon jangan diingat-ingat ataupun dikembalikan. Kita kan bersahabat, jadi sudah sepantasnya saling menolong…”
“Duh, tengkiyu so much Mbak Nel sayang… mmmhuuua!”
Dokter memberiku pil-pil antibiotik, entahlah apa saja namanya. Ada satu pil khusus untuk menangkal virus chikungunya; asam mefenamat 500 mg. Memang sungguh ajaib nian ini obat, baru sebutir-dua saja kutelan, kaki-kakiku sudah bisa digerakkan tanpa rasa sakit.
“Mau ditransfusi sekarang?” tanya dokter muda, kutaksir usianya sebaya putraku sekitar 26-an.
“Berapa tuh HB-nya, dok?” balik aku bertanya.
“Tujuh…”
“Kalau segitu sih masih bisa bertahan, dok… Terima kasih, tunggu sepekan-dua pekan lagilah,” ujarku memutuskan.
Dokter ber-tagname Helmy itu tertawa. “Ibu ini sudah hapal betul kondisinya, ya…”
Lah, iyalah, seingatku, sejak umur 10-an sudah ditransfusi. Bagaimana tidak hapal, bagaimana tidak kenal secara persis? Bahkan aku tahu betul, kapan tepatnya harus atau menolak untuk ditransfusi. Saat kutulis jurnal ini, demamku mulai turun, tapi nyeri yang menusuk-nusuk di sendi-sendiku masih nyuuut-nyuuut.