Sebelumnya, makasih udah mampir dan baca. Jangan lupa subcribe, tekan love dan tinggalkan komen ya. Biar makin semangat nulisnya 😊
Arini, perempuan yang hampir selalu bisa untuk tidak menampakkan emosinya kepada orang lain saat memang dirasa perlu untuk dilakukan. Entah sedang marah, takut ataupun sedang mencintai seseorang, Arini hanya terlihat dingin dan menawan. Hal inilah yang justru membuat Azam semakin gigih mendapatkan hatinya. Bukankah memang perempuan selalu begitu, kalau sudah mendapatkan hatinya, ia siap memberikan segala, bahkan nyawa.
Wajar jika sosok Azam merasa nyaman saat bersamanya, sebab Arini selalu tampak tenang. Namun sikap itu juga yang membuatnya merasa gelisah. Ia tidak bisa menebak apa yang sedang dirasakan Arini.
"Mbak, pernah rindu?" tanya Azam tiba-tiba.
"Pernah," jawab Arini seraya mendata buku-buku yang baru saja tiba, sumbangan dari para donatur.
"Sama siapa?"
"Ibu dan Ayah. Mas Azam sedang merindukan mereka, ya?"
Azam menggeleng dengan kepala yang tertunduk.
"Saya sering merindukan Mbak, ingin tau apa saja yang sedang Mbak lakukan."
Arini mengerutkan dahinya. Namun tangan masih bergerak menekan keyboard laptop.
"Saya ingin menghalalkan rindu itu," lanjut Azam
Mendengar itu, Arini menghentikan aktifitasnya. Ia melirik Azam lalu mengulas senyum tipis.
"Saya pernah mengatakan sewaktu di Lesehan depan kampus, apa Mbak tidak mengerti maksud saya?" Azam masih saja terus bicara.
Arini menggeleng.
Sepertinya, Azam akan menguraikan dengan jelas kali ini.
"Ada perasaan lebih ke Mbak. Ada rasa ingin memiliki, membersamai, dan perasaan lain-lain yang tidak bisa diungkapkan dengan kata. Saya ingin menjadikan itu semua halal."
"Maaf, saya tidak bisa," sahut Arini.
"Kenapa?" tanya Azam dengan cepat, "Apa ada seseorang yang lebih dulu mengatakan ini?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Maaf Mas, sepertinya itu suara motor Rijal." Arini membereskan pekerjaannya tadi, "Saya pulang duluan. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumusalam," jawabnya dengan nada kecewa.
Azam tidak mengantarnya keluar, ia masih tidak percaya, ini kedua kali Arini menolak.
"Mbak, Mas Azam nggak di sini?" tanya Rijal.
"Ada," jawabnya seraya menata diri untuk duduk di belakang Rijal.
"Mana?"
"Di dalam."
"Bukannya Mbak Arini juga dari sana?"
"Iya, kenapa?"
"Nggak papa, nanya doang."
Arini tidak lagi merespon, ia langsung duduk begitu saja.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Rijal dalam perjalanan.
"Seperti?"
"Ungkapan perasaan."
"Macam-macam!" sentak Arini.
"Banyak berarti."
"Apa sih, dek?" Arini memukul helm Rijal.
"Lah, tadi katanya macam-macam."
"Maksudnya, kamu itu nggak usah banyak tanya."
"Iya deh, rahasia." Rijal tersenyum dari balik kaca helmnya.
Suasana menjadi hening, hanya ada suara deru kendaraan dan bel bersahutan.
"Mbak, kenapa sih nolak Mas Azam?"
"Nggak denger." Arini tidak terlalu mendengar suara Rijal.
"Loh, mau ngapain?" seru Arini saat Rijal membelokkan laju kendaraannya.
"Makan. Udah keburu lapar, ntar pas lagi nyetir pingsan gimana?"
"Hm."
Sesampai di sana, Arini langsung mencari tempat duduk.
"Mbak mau makan apa?" tanyanya setelah Arini duduk.
Arini melirik daftar menu yang terbentang lebar di dekat meja kasir.
"Oke tunggu saja ya, aku pesankan."
Rijal hapal kesukaan Arini. Ia tidak akan menanyakan lagi jika sudah melihat daftar menu yang terpajang di pinggir meja kasir. Arini fokus pada benda yang dipegang, sampai tidak mengetahui Azam datang melewati sampingnya.
Azam ternyata juga memesan makanan dan dimakan di tempat, ia mengambil posisi di pojok, meletakkan tasnya di sana. Di mana Arini tidak akan menoleh ke belakang. Namun di sana ada Rijal, tentu saja keberadaannya diketahui.
"Mas," sapa Rijal.
"Loh! Ke sini juga?"
Mereka sama-sama sedang berdiri mengantri. Toko Amse ini memang dikenal pelanggan di suruh mengambil sendiri makanannya setelah siap. Mereka akan dipanggil berdasarkan nomor meja. Restauran yang cukup besar, memiliki jumlah pekerja yang lumayan banyak, namun pelanggan disuruh mengambil pesanannya sendiri.
"Iya nih, lapar, ntar nggak kuat nyetir." Rijal dan Azam tertawa.
Pesanan Rijal sudah siap.
"Mas, makan di sini juga kan?"
"Iya, udah lapar, ntar nggak kuat nyetir, nggak nyampe pesantren malah mampir ke RS." Azam menirukan perkataan Rijal barusan.
"Naudzubillah," ucap Rijal.
Ia dan Azam kembali terkekeh.
"Aku tunggu di sana!" bisik Rijal.
Azam menyipitkan matanya.
Setelah pesanan Azam siap, ia tidak membawanya mendekati Rijal dan perempuan yang baru saja menolaknya.
"Mas, sini aja, makan sama-sama."
"Tasnya di sana. Lagian ntar ada yang hilang selera makan, saya ikutan gabung di situ. Azam melirik Arini.
Rijal tersenyum melihat Azam memainkan matanya.
Arini masih bergeming, tetap fokus pada buku yang sedang ia baca. Setelah mendengar kalimat Azam, ia menutup buku, memasukkannya ke dalam tas. Dan mulai mencicipi kuah rawon yang legendaris.
"Ngasih tau dia?" tanya Arini di sela makan.
"Enggak kok. Qodarullah."
Arini meneruskan santapannya. Azam menyelesaikan makan lebih dulu. Ia mendekat ke meja Rijal.
"Jal, pulang duluan ya."
Tidak seperti biasa, kali ini Azam tidak menyapanya. Namun Arini justru lega, meski sedikit pedih.
'Aku yakin dia akan lelah dan menjauhiku,' bisiknya dalam hati.
"Mbak." Panggil Rijal setelah punggung Azam tak terlihat.
"Iya."
"Mbak, kenapa sih nolak Mas Azam lagi?"
"Kok tau? O, iya iya paham." Arini mengunyah daging kambing yang telah dipotong dadu. Kuah rawon yang begitu nikmat ia seruput perlahan. "Kamu dan dia kan saling curhat."
"Ya, nggak gitu juga kali."
"Hilangkan kebiasaanmu yang suka membicarakanku kepadanya. Oke?" ucap Arini tegas.
Rijal tidak menjawab, masih mengunyah gado-gado yang begitu lunak. Rasanya ia tidak mau berhenti.
"Denger, nggak?"
"Iya."
"Iya apa?"
"Iya nggak lagi."
"Nggak lagi apa?"
"Nggak lagi membicarakan Mbak ke Mas Azam."
Arini merasa puas. Rijal adalah tempat ia mengekspresikan rasa kesal. Ia bisa ngegas dan menampakkan kekesalannya dengan bebas.
Beberapa saat kemudian, Rijal bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Mbak, kenapa sih nolak Mas Azam? Padahal aku yakin, Mbak juga punya rasa yang sama."
"Nggak usah sok tau."
"Aku tau."
"Tau apa?"
"Waktu Ayah masih ada, Mbak pernah pulang kehujanan terus pingsan di pelukan Ibu. Itu habis ketemuan sama Mas Azam kan?"
Arini terbelalak, dari mana Rijal tau hal itu.