Arini terbelalak, dari mana Rijal tau hal itu.
"Sok tau!"
"Emang tau, bukan sok tau."
"Kamu memata-matai aku?"
"Ayah aja tau kok."
"Serius?" Ekspresi wajahnya berubah lagi.
"Tuh kan, berarti Mas Azam nggak bohong."
"Maksudnya?" selidik Arini.
"Mbak Arini nggak liat Ayah ada di sana? Wah, luar biasa. Kalau sudah jatuh cinta, dunia terasa milik berdua memang."
Duk! Arini menendang kaki Azam.
"Aw!" Rijal mengaduh lalu memasang wajah galak.
"Dek, tolong bicara yang benar!" pintanya.
"Ternyata Mbak banyak nggak tau. Jadi gini, Mas Azam bilang dia kirim pesan ke Ayah, kalau mau nemuin Mbak di Lesehan depan kampus."
"Dia tau nomor Ayah dari mana?"
"Katanya sih dia sendiri yang minta ke Ayah, waktu aku daftar ulang."
"Terus?"
"Ciye semangat banget," ejek Rijal.
Arini mengembuskan napas. "Ya udahlah, nggak usah diceritain, simpen aja."
"Udah terlanjur, aku nggak suka yang tangung," tukas Rijal.
"Dahlah." Arini berdiri meraih tongkat penyangganya.
Rijal memegang tangan Arini, memaksanya untuk kembali duduk.
"Jadi, Ayah datang ke sana. Melihat pertemuan kalian."
Arini mendelik. Sedang Rijal tersenyum jahat.
"Kamu nggak lagi mengada-ada kan?" selidiknya lagi. Sebab ia tau perangai adiknya yang suka menggoda.
"Ya ampun Mbak, sebenernya udah lama mau cerita. Tapi kayaknya nggak penting. Tapi sekarang kok jadi penting, ya. Aneh."
Arini mengernyit mencoba menelaah maksud Rijal.
"Apa maksudnya?"
"Nggak tau," jawab Rijal menaikkan kedua bahunya.
"Ayah juga kehujanan?"
"Enggak, hujan turun tepat saat Ayah masuk rumah. Hebat kan?"
"Apanya? Tapi kok Ayah nggak nyapa aku?"
"Iya lah, ntar Mbak malu, ketauan."
"Ish!" Arini menyunggingkan sebelah bibirnya, kesal. "Jadi Ayah, tau?"
Air mata Arini kini berlinang. Rijal mengangguk.
"Kok, nangis sih!"
"Abis kamu nyeritain Ayah ...."
"Hm, terus gimana? Kenapa Mbak nolak Mas Azam lagi? Padahal aku siap jadi wali."
Arini menyeringai menatap Rijal seraya mengusap pipinya yang basah.
"Azam itu ... udahlah, intinya Mbak nggak cocok buat dia."
"Kenapa? Apa yang buat Mbak mikir kayak gitu?"
"Dia masih muda, fisik bagus, otak juga lumayan cerdas. Kabarnya dia jadi idola di pesantren kan?"
"Hm. Jangan bilang Mbak insecure."
"Bisa jadi juga."
"Mas Azam itu suka sama Mbak pada pandangan pertama, dan sampai detik ini."
"Oh, iya. Aku lupa kalau adekku ini tau banyak," ucap Arini, kemudian meminum segelas air hangat.
"Mas Azam cerita semuanya perihal Mbak."
Arini menjitak jidat Rijal menggunakan kelingkingnya. Berhubung duduk mereka berhadapan, sangat mudah menjangkau kepala Rijal.
"Lain kali aku akan menjitakmu pake telunjuk," ancamnya.
Rijal diam nyengir kuda menahan sakit. 'Pakai kelingking saja sakit apalagi pakai telunjuk. ' batinnya.
Untuk menghabiskan rawon dan gado-gado, mereka membutuhkan waktu satu jam. Lepas itu mereka pulang ke kontrakan.
***
Dua hari Arini tidak datang ke Rumah Baca. Azam pun begitu, ia sibuk membantu pekerjaan di bengkel milik Abah. Sabtu dan minggu memang diliburkan. Anak-anak akan datang kalau pintu gerbang terlihat terbuka. Tapi hari ini mereka tiba di sana bersamaan. Arini bersama Sally dan Azam sendiri.
Azam menyapa Sally dan mengabaikan keberadaan Arini. Arini juga tidak ambil pusing, ia melewati Azam dan masuk ke perpustakaan mini untuk melanjutkan pekerjaannya dua hari yang lalu.
Azam juga ikut masuk, tapi ia menuju sofa lalu menghidupkan televisi berukuran besar yang biasa digunakan untuk menonton bersama anak-anak. Ia menghidupkan lagu-lagu islami dengan suara yang keras. Pagi ini masih sepi, karena masih jam sekolah.
Tiba-tiba Sally mendekati Azam seraya berkecak pinggang.
"Zam!"
Azam bergeming dan matanya fokus pada televisi.
"Azam!" pekik Sally.
"Hm."
"Lo kok nggak bantuin Arini, sih!"
Azam tidak menyahut, ia justru menggoyangkan kakinya.
"Zam! Kecilin dikit napa? Berisik tau!"
"Mbak ntar kalo udah punya anak, di rumah juga bakal berisik."
"Iya tapi nggak sekeras ini juga kali suaranya!"
"Biarin, biar nggak sepi."
Sally mendekat dan meraih dengan cepat remote televisi di atas meja. Ia menekan tombol merah lalu layar yang dilihat Azam seketika menghitam.
"Lo bantuin Arini, sana!"
"Lah, terus Mbak ngapain?"
"Gue mau nyiram bunga."
"Alasan."
"Bantuin Arini, Zam!" Nada Sally meninggi.
"Dia bisa sendiri, nggak butuh orang lain," jawab Azam ketus.
"Astaga. Ya udah, Lo siram bunga aja di luar!"
"Nggak, aku sedang malas."
"Allahu akbar, Azam!" Sally melempar remote televisi ke Azam yang masih duduk dengan posis semula, "Mentang-mentang Rumah Baca ini kamu yang bangun, lagaknya udah kayak bos aja." Sally bicara selalu ceplas ceplos dan tepat sasaran.
"Masa sih!" Azam tertawa kecil.
"Nyebelin!" Decak Sally makin kesal.
"Udahlah Sal!" Arini angkat bicara.
"Lo juga! Manusia itu butuh manusia lain. Pantes aja jadi jomlo karatan."
"Allah, apa hubungannya Sal?" Arini protes.
Azam tertawa geli. Sally meliriknya lantas pergi keluar.
Dua puluh menit kemudian, terdengar suara langkah mendekati Arini.
"Sal, kamu beliin pesenan aku nggak?"
"Pesen apa ke Sally?"
Arini menghentikan tangannya yang sejak tadi mengetik dan membolak balik buku. Sorot mata Azam yang lembut membuat hatinya seketika hangat.
"Pesen apa?" Ulang Azam dengan lembut.
"Donat," jawabnya pelan dan mengalihkan tatapannya pada Azam.
"Beli di mana? Biar aku belikan."
"Aku udah pesen Sally, sepertinya dia lupa karena marah-marah nggak jelas tadi."
Azam tertawa.