Bab 7

Arini mengirim pesan, agar Rijal segera menjemput. Kepalanya sedikit pusing setelah air matanya jatuh mendengar cerita tentang laki-laki kedua yang ia suka.

[Dek, jemput Mbak sekarang.] 

Arini menginstruksikan kepada anak-anak agar berkemas sebab Rumah Baca akan ditutup. 

"O, ya lupa. Insyaallah besok siang Mbak akan tanya isi buku yang kalian baca hari ini, ya. Maaf, tadi Mbak ngobrol sama Kak Zaky lama."

"Siap Kak."

"Aku bawa pulang ya Mbak, bukunya."

"Oke, kalian catat di sana, seperti biasa ya."

Anak-anak bergegas bergantian mencatat nomor urut, hari/tanggal, nama peminjam, dan judul buku. Lalu mereka pulang bersamaan. Arini masih menunggu Rijal menjemput. Rijal datang cukup lama, ia mengunci gerbang lalu duduk di warung klontong milik warga di samping Rumah Baca. Lima menit ia menunggu, Rijal datang.

"Bude, Arini pamit ya. Makasih camilannya." 

"Nggeh Nduk ayu. Nggak mampir dulu cah ganteng?" Perempuan paruh baya itu menawarkan Rijal untuk mampir sejenak.

"Makasih Bude, ini kayaknya mau hujan. Mendungnya pekat."

"Ya udah, nggak usah ngebut, kalo kehujanan ya berteduh dulu."

"Siap Bude, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Rijal dan Arini menyusuri jalanan aspal dengan langit yang kian pekat. Siklus air pun terjadi. Setelah mengalami evaporasi dan transpirasi, awan menjadi berat dan terjadi kondensasi. Saat itulah rintik air mulai jatuh ke bumi. Membasahi apapun, termasuk dua beradik yang tengan berada di atas kendaraan.

"Ya Allah berikan kami mobil, biar kalau hujan nggak kehujaan," teriak Rijal dari balik helmnya.
"Aamiin," sahut Arini. Suara Rijal terdengar jelas, sebab ia berteriak. Bahkan pengemudi lain menoleh heran.

Sesampai di kontrakan Arini meminta Rijal untuk segera mandi.

"Mbak, adekmu yang ganteng ini makin besar. Tentu saja imunnya makin kuat. Udah sering kehujanan, jadi kebal."

"Mbak nggak mandi nih, kalo kamu nggak mandi duluan."

"E- iya deh."

"Gak pake lama."

"Iya, tuan putri ... nya Azam."

"Apa?" Arini meninggikan suaranya.

"Iya." Rijal berlari mengambil handuk.

Keduannya bergantian dan kini mereka duduk di balkon atas seraya memandangi padi, pepohonan dan atap rumah yang telah  basah. Kini hanya rintiknya setelah deras membuat mereka kuyup.

"Mbak, beli bakso Sidodadi, yuk!"

"Kejauhan. Yang keliling bawa gerobak itu aja."

"Iya itu maksudnya."

"Emang itu bakso dari Sidodadi?"

"Tulisan di gerobaknya gitu."

"Ehm, nah, itu lewat!" Arini girang. Rijal segera berlari turun ke bawah. Suara dentingan sendok dan mangkok cap ayam membuat warga tau akan kehadirannya. Saat cuaca seperti ini memang pas sekali makan yang hangat dan pedas. Beberapa orang sudah mendekati gerobak bakso. Rijal menjadi lama sebab harus mengantri. Arini melihat dari atas balkon.

"Hmm ... udah nggak sabar."

"Dih."

"Kamu beli tiga?"

"Iya. Kali aja Mbak kurang."

"Aku? Kamu kali."

"Haha." Rijal tertawa.

"Dek, kamu jadi doyan banget sama bakso ya, sekarang."

"Iya dong. Sejak hari itu."

"Hari bertemu si dia." Goda Arini.

"Iiih Mbak ini." 

"Heleh dasar!" Arini menjitak jidat Rijal menggunakan jari manis.

"Apa kabar dia?"

"Siapa?" tanya Rijal balik.

"Mbak nggak tau namanya. Temen sekelas kamu dulu."

"Kok, Mbak tau."

"Kan fotonya ada di kamar adek."

"Bukan cuma dia kali Mbak."

"Iya sih. Tapi kan ada dianya."

"Mbak, kenapa nggak diterima aja sih Mas Azam."

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan."

"Serius aku Mbak. Seenggaknya Mbak nerima Mas Azam karena kasihan."

"Itu tingkat paling tinggi untuk hubungan percintaan manusia."

"Baiknya kan gitu. Bukan karena Mas Azam ganteng kayak Oppa korea."

"Dan kamu, kayak oppa kebon."

Dua beradik itu terbahak, dan Arini menjadi tersedak. 

"Nah itu pasti Mbak lagi disebut sama Mas Azam dalam doanya."

"Halah ... sok tau. Dahlah. Bahas yang lain aja."

"Bahas apaan?"

"Cerita gimana kerjaanmu di kantor, orang-orangnya gimana?"

"Kerjaan ya begitulah. Orang-orangnya ya, biasa aja."

"Iih, nyebelin banget sih jawabnya." Arini menuangkan lagi sambal ke dalam mangkok bakso Rijal.

"Kalo ditambahin sambal gini berarti yang itu buat aku dong." Rijal menujuk sebungkus bakso yang masih belum tersentuh. Suasana hening sejenak setelah Arini memanyunkan bibirnya.

"Dek."

"Hm."

"Kerja apa ya biar cepet dapet duit."

"Nuyul."

"Hus!"

"Lagian, emang buat apaan sih kalo punya uang banyak."

"Mau beli lagi rumah kita."

Deg. Rijal menghentikan tangannya yang hendak menyuap bakso porsi kedua ke dalam mulut. Hatinya nyeri seketika. Arini terkekeh pilu.

"Nggak ada yang nggak mungkin, kan?"

"Insyaallah," jawab Rijal mantap.

Rijal menatap Arini yang sedang memandang bentangan luas sawah yang menguning. Rindu menelisik akan kehidupan penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya dulu. Genangan air di mata mulai merembas ke pipi. Rijal mendekat lalu mengelapnya. Arini terkesiap, tubuh dempal itu ikemudian ia rengkuh dengan erat, isaknya kian keras. 

"O, iya." Arini melepas pelukan, "Kemarin waktu mau bakar sampah, aku liat ada kertas tour yang diadakan oleh kantormu. Kenapa nggak ikut?"

"Oh, itu. Ehm ... kalau Mbak sudah menikah maka aku akan pergi ke manapun yang aku mau."

"Jadi maksudnya aku adalah penghalang kebahagiaanmu?"

"Iya. Makanya, menikahlah dengan Mas Azam." Rijal mendekatkan bibirnya ke telinga Arini.

Arini mau menjitak kepalanya lagi, namun tidak kena, sebab Rijal lebih gesit berlari masuk ke dalam.

"Ini kok nggak di bawa?" Arini meneriaki Rijal yang tidak membereskan bekas makan.

"Ntar!" pekik Rijal.

Tidak lama kemudian ia kembali.

"Kenapa, sakit perut?"

"Mbak sih, ngasih sambel nggak kira-kira."

"Masa langsung ngefek sih dek," sanggah Arini.

Tiba-tiba ponsel Rijal berdering. Panggilan masuk dari Sally.

"Tumben Mbak Sally video call."

"Angkat cepet!" perintah Arini.

Rijal menggeser tombol hijau ke samping.

"Rijal, ke mana Arini?" Rijal terkejut, suara Sally melengking, membuat gendang telinga berdengung.

"Ucap salam dulu Mbak." Protes Rijal.

"Oh, iya. Assalamu'alaikum ganteng."

"Waalaikumusalam, cantik." balas Rijal menggoda.

"Aaa ... so sweet." Sally bertepuk kegirangan dari seberang sana.

"Iiih, jijik deh!" seru Arini yang belum terlihat di layar video.

Rijal terbahak.