Bab 4 - Ancaman Untuk Ibu

Jangan lupa subscribe dan follow akun yaa😘



LELAKI MIRIP SUAMIKU DI POLI KANDUNGAN


PART 4



"Aduh, bego banget sih aku. Jalan aja bisa nggak becus begini," rutukku dalam hati.


"Siapa itu?" pekik Mas Damar.


"Gawat, aku harus segera sembunyi nih."


 Aku berlari mencari tempat persembunyian dan kuputuskan bersembunyi di gudang.


Dari balik tumpukan rongsokan bisa kulihat Mas Damar celingukan. Matanya tertegun pada pot yang pecah berserakan.


"Ada siapa, Damar?" Ibu ke luar dan matanya pun ikut tertuju pada pot yang berserakan.


"Astaga, kok bisa begini? Ulah siapa sih? Aduh, mana bunga kesayangan Ibu lagi," Wanita paruh baya itu berjongkok dan mengambil bunga aglonema jenis ruby itu.


"Enggak tahu, Bu. Enggak ada siapa-siapa."


Kebetulan sekali ada seekor kucing kampung lewat di dekat kakiku. Bisa dijadikan kambing hitam nih.


Kulempar kucing tersebut ke arah Ibu yang membelakangiku.


Miaaawww.


"Eh, copot copot copot," pekik Ibu sampai melonjak kaget di tempatnya berdiri.


Spontan cepat aku menutup mulutku karena menahan tawa. Kalau tidak bisa repot urusannya. 


"Dasar kucing sia*an! Bikin kaget orang aja," gerutunya seraya mengelus dada.


"Ya udah, Bu. Kita masuk lagi yuk. Biar nanti Siti yang beresin ini. Aku mau pergi dulu."


"Kamu mau ke mana?"


"Aku mau lihat tanah di daerah B, Bu. Rencananya aku mau bangun salon dan di sebelahnya butik untuk Sarah."


Mataku membelalak mendengar perkataan Mas Damar. Di daerah B? Itu kan tanah milikku. Aku beli dari pemiliknya, yang saat itu terdesak membutuhkan uang.


"Emangnya aman? Itu kan tanah milik Icha."


"Tenang, Bu. Icha itu 100 persen percaya sama aku. Dia enggak pernah sama sekali menanyakan soal perusahaan. Paling sesekali dia menandatangani proposal aja atau rapat direksi. Itu pun nggak pernah dibacanya lebih dulu."


"Oh ya?"


"Hu'um. Masih ada zaman seperti ini wanita seperti itu ya, Bu. Sekolahnya jauh banget sampe ke Australia sana, tapi dibohongi suami kok mau."


Mereka tergelak bersama.


"Makanya, kamu buat dia terus semakin tergila-gila padamu. Buat dia semakin percaya dan terus menggilaimu.  Pasti dia akan segera mengalihkan semua harta bapaknya kepadamu."


Sebuah kejutan yang luar biasa. Ibu mertua yang selama ini lembut dan bijaksana di depanku, ternyata bisa memiliki pikiran sebusuk itu.


"Ibu tenang aja. Pokoknya beres deh," ucapnya sesumbar.


Mungkin kalau aku tidak berinisiatif seperti ini, tentu akan beres bagimu. Kalian akan terus berunding untuk menghancurkanku.


Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil Mas Damar menjauh. Itu artinya Mas Damar sudah pergi.


Kubuka daftar kontak di ponsel, mencari nama Pak Broto-pengacara keluarga. Aku harus bergerak cepat, sebelum Mas Damar berhasil menggunakan tanah milikku untuk gundiknya.


"Halo, Marissa. Apa kabar kamu?" Suara berat Pak Broto menyapa telingaku.


"Halo, Pak. Alhamdulillah kabar baik. Bapak sendiri gimana?"


"Sangat baik sekali. Oh ya, kebetulan sekali kamu telepon saya. Ada yang mau saya sampaikan."


Aku mengernyit. 


"Memangnya ada sesuatu yang penting, Pak?"


"Ya, soal tanah kamu yang di daerah B."


Hem, kebetulan sekali, batinku.


"Sebaiknya kita langsung bertemu saja. Biar lebih enak ngobrolnya," tambahnya lagi.


"Boleh juga, Pak. Jam berapa?"


"Em, bagaimana kalau sekitar dua jam lagi. Di Kafe Melati saya tunggu ya."


"Baiklah, saya ke sana dua jam lagi ya."


Sambungan telepon berakhir. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan. Masih banyak waktu aku untuk berpikir dan mencari jalan ke luar.


Eh, tunggu! Bagaimana ya kira-kira kalau aku pura-pura bertamu ke rumah Ibu, yang notabene ada menantu haramnya itu di sana.


Bibirku tersenyum miring. Aku ingin melihat reaksi Ibu dan dia akan mengenalkan wanita itu sebagai siapa padaku.


Dengan sedikit mengintip, untuk memastikan situasi aman, aku berjingkat masuk melalui pintu belakang. Tampak mereka tengah bersantai dengan secangkir kopi di meja. Enak bener mereka!


"Assalamu'alaikum, Bu," ucapku setengah berteriak. 


Wanita paruh baya berambut tebal itu, terlonjak kaget. Nyaris cangkir melompat dari tangannya. 


"Hei, Icha, kamu ini kalau masuk ndak usah pakai teriak bisa ndak sih?" omel Ibu kesal, karena kopi tadi tersiram sedikit ke bajunya. Cepat-cepat ia mengambil beberapa lembar tissue kemudian disapukan ke bagian dadanya.


"Habis dari tadi aku panggilin di depan, nggak ada yang nyahut sih," Aku melenggang masuk dengan cuek lalu meletakkan bokong ke kursi Jepara asli tersebut. Posisi kami saling berhadapan sekarang.


"Eh, kamu yang tadi aku tabrak di supermarket kan?" tanyaku berusaha sesantai mungkin. Padahal, rasanya ingin sekali aku melompat dan menarik rambut pirang wanita itu.


Sejenak wanita bernama Sarah itu menyipitkan mata, berusaha mengingatku.


"Oh iya iya, bener, Mbak. Nggak nyangka kita ketemu di sini ya. Ada keperluan apa Mbak ke sini? Mbak sudah kenal sebelumnya dengan keluarga Ibu?" Gaya bicaranya seakan-akan dialah tuan rumah di sini. 


Aku melirik Ibu. Wajahnya terlihat panik dan salah tingkah.


"Perkenalkan, Mbak, saya Marissa, istrinya Mas Damar. Dan otomatis menantunya Bu Siti dong," Kuulurkan tangan ke arah wanita itu. 


Seketika warna wajahnya berubah putih seperti mayat. Mungkin pula mendadak darah berhenti mengalir ke otaknya.


"Seharusnya saya yang bertanya Mbak iki sopo? Kok bisa berada di sini?" Sebisa mungkin kutahan emosi, meski darahku sudah menggelegak. Mungkin sebentar lagi akan segera mendidih.


Sarah tampak kebingungan menghadapi pertanyaanku. Sesekali mereka saling tatap lalu kembali menunduk ke lantai. Seakan jawaban dari pertanyaanku tadi berada di sana.


"Eng, anu, namanya Maysarah, Nak Icha. Nah, Nak Sarah ini, anu, eng, sepupunya Damar dari kampung," jawab Ibu terbata.


Aku menatap dalam mata Ibu, mencoba menelisik kebenaran di netra tuanya. Ia segera mengalihkan pandangan ke arah lain, untuk menghindari tatapanku. 


"Sepupu dari mana ya? Kok aku baru tahu."


"Eng, iya, anu, Sa-sarah ini sepupu jauh dari almarhum bapaknya. Memang selama ini ndak pernah ke Jakarta."


Mata mereka saling pandang selama beberapa detik. Lalu kembali membuang pandangan masing-masing.


"Suami kamu ke mana, Sarah? Masa istri hamil begini dibiarkan pergi sendiri sih."


"Eng, anu, suamiku …." Matanya berputar mencari alasan.


"Suaminya Nak Sarah merantau," sambar Ibu cepat. "Tapi, sampai sekarang ndak ada kabar, Nak Icha. Kasihan, makanya ibu suruh dia tinggal di sini."


"Oh, kirain anaknya Mas Damar."


Mereka terkejut dan saling pandang kembali.


"Ah, n-ndak kok. Damar itu sayang banget sama kamu, lho. Mana mungkin dia tega menduakan kamu."


Benar-benar pandai berkelit lidah. Dia pikir aku tidak tahu siapa perempuan ini.


"Bagus deh, Bu, kalau begitu. Ibu tahu sendiri dong, apa konsekuensinya kalau Mas Damar sampai berani menghianati saya?" tanyaku seraya menuangkan air putih kemudian meneguknya hingga tandas.


"Ma-maksud kamu, Nak Icha?"


Aku menghela napas dan sedikit merunduk tepat di telinga wanita berusia lima puluhan itu.


"Ibu, Mas Damar dan Ratna harus bersiap-siap untuk hidup miskin lagi. Karena jika Mas Damar berani bermain api di belakang saya, semua fasilitas, jatah bulanan dan kemewahan akan saya tarik. Ibu siap?" pungkasku dengan suara dibuat setengah berbisik, membuat wanita paruh baya itu meneguk ludah gugup.


*** 


Ayo, tinggalin jejak votingnya, Zheyenk. Tekan love❤, dan Review Bintang 5